Kolom
Kamis, 9 Maret 2023 - 09:25 WIB

86 Jenderal, Anda Menjijikkan!

Abu Nadzib  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Tahun  2022 adalah wajah buram Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Dua kasus besar melibatkan dua jenderal polisi menjadi lembaran hitam bagi sejarah penegakan hukum sejak negara ini berdiri.

Pertama adalah kasus kejahatan (mantan) Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo yang menghabisi nyawa ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, untuk alasan yang masih sumir hingga akhir persidangan: sakit hati. Kejahatan itu terjadi saat Ferdy Sambo masih aktig sebagai jenderal polisi.

Advertisement

Tidak diketahui sakit hati apa yang membuat jenderal berbintang dua itu tega menghabisi nyawa bintara Polri yang selama dua tahun terakhir menjadi tameng bagi keselamatan dirinya. Alasan pelecehan seksual yang dikemukakan sejak awal kasus itu mencuat sudah dimentahkan oleh majelis hakim.

Kasus kedua yang tak kalah mengerikan adalah perdagangan sabu-sabu yang dikoordinasi jenderal bintang dua, Inspektur Jenderal Polisi Teddy Minahasa. Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Barat itu—kini telah dicipot dari jabatannya—menilap lima kilogram dari total 40 kilogram sabu-sabu yang disita jajarannya dalam sejumlah operasi.

Teddy Minahasa menjual lima kilogram barang haram itu, tapi baru  satu kilogram yang terjual ia keburu ditangkap oleh tim yang dipimpin koleganya, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran.

Advertisement

Persepsi masyarakat tentang kebobrokan moral (sebagian) petinggi Polri terkonfirmasi oleh kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa. Ngeri-ngeri sedap mengikuti persidangan mereka. Terlebih persidangan Teddy Minahasa yang saat ini sedang berlangsung dan disiarkan televisi nasional.

Publik jadi tahu jeroan Polri. Orang-orang yang dipercaya mengelola penegakan hukum ternyata menjadi pelanggar pertama hukum itu sendiri.  Muak, jijik. Itulah perasaan saya ketika mengikuti persidangan Teddy Minahasa. Sebobrok itukah polisi kita?

Saat kita tidur nyenyak di rumah, berharap hukum ditegakkan demi keadilan, ternyata polisi yang kita percaya malah sedang merekayasa hukum. Pengakuan seorang terdakwa, Linda Pujiastuti, tentang dirinya yang beberapa kali bersama Teddy Minahasa mencegat transaksi narkoba internasional hingga ke tengah Laut China Selatan membuat miris karena ujungnya untuk kepentingan bisnis narkoba mereka.

Entah berapa kali itu mereka lakukan. Fakta yang terungkap memang barulah yang kini disidangkan di Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan itu. Dari persidangan Teddy kita jadi tahu permainan yang dilakukan (oknum) petinggi Polri dalam bertransaksi narkoba.

Advertisement

Tak aneh Indonesia menjadi salah satu negara dengan peredaran narkoba tertinggi di dunia. Hukuman mati untuk sejumlah bandar besar tak membuat bandar-bandar lain takut. Mereka hanya tiarap sejenak lalu muncul lagi, bertransaksi lagi.

Polisi terlibat peredaran narkotika memang bukan hal baru. Sejak dulu kasus-kasus seperti ini bermunculan. Ketika koordinatornya seorang jenderal, baru kali ini terungkap. Ada pengamat kepolisian mengatakan ini balas dendam kubu Ferdy Sambo.

Petinggi Polri di kubu Ferdy Sambo sakit hati saat Teddy Minahasa, yang tak kalah busuk, dipercayai Kapolri mengggantikan Inspektur Jenderal Polisi Nico Afinta sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur. Ketika surat telegram pengangkatan Teddy Minahasa turun, buru-buru kubu Ferdy Sambo bergerak menyikat Teddy Minahasa.

Rahasia Umum

Sinyalemen ini tidak pernah terkonfirmasi, namun memang menjadi rahasia umum bahwa tiga jenderal, yaitu Ferdy Sambo, Fadil Imran, dan Nico Afinta merupakan kawan dekat. Saat kali pertama kasus Ferdy Sambo mencuat, Fadil Imran menjadi pembicaraan nasional setelah video dirinya dan Ferdy Sambo berpelukan erat beredar luas di media sosial.

Advertisement

Fakta di persidangan mengungkap upaya Teddy mengedarkan narkoba itu terjadi sejak pertengahan 2022.  Teddy memerintahkan bawahannya, eks Kepala Polres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar Polisi Dody Prawiranegara, agar menjual barang haram itu melalui teman dekat Teddy, Linda Pujiastuti.

Belakangan Linda yang mengaku sebagai cepu (informan) polisi itu mengaku sebagai istri siri Teddy dan kerap mendampinginya “mencari barang” hingga ke tengah Laut China Selatan. Fakta Teddy Minahasa—jenderal aktif—mengedarkan narkotika sangat memuakkan.

Selama ini peredaran narkoba oleh (oknum) anggota Polri hanya di kelas recehan, misalnya kasus di Toraja Utara, Sulawesi Selatan, yang kini sedang diusut Badan Reserse Kriminal Polri hanya dijalankan seorang bintara berpangkat brigadier polisi kepala.

Brigadir Polisi Kepala G muncul dari pengakuan pengedar narkoba yang tertangkap dan  mengaku selama ini dirinya dibekingi seorang anggota Polri.  Empat anggota Polres Metro Tangerang Kota yang dibekuk pada Oktober 2022 juga hanya berpangkat bintara.

Advertisement

Mereka adalah Brigadir Yerisha Manurung (anggota Polsek Sepatan), Brigadir Polisi Satu Adhytia (anggota Polsek Tangerang), Brigadir Polisi Kepala Andi Randika (anggota Polsek Benda), dan Brigadis Polisi Kepala Sahlani (anggota Polsek Ciledug).

Mereka terbukti mengedarkan narkoba dan dipecat dari Polri. Terungkapnya kasus peredaran ekstasi pada 18 Agustus 2022 menempatkan perwira level pertama, Ajun Komisaris Polisi Edi Nurdin Massa sebagai tersangka. Edi Nurdin dipecat karena terbukti mengedarkan 2.000 ekstasi.

Dibandingkan kehebohan publik atas ditangkapnya Kapolsek Astanaanyar Kota Bandung, Komisaris Polisi Yuni Purwanti Kusuma Dewi bersama 11 anak buahnya pada 16 Februari 2021 karena mengedarkan narkoba, kasus yang melibatkan Teddy Minahasa masih lebih menjijikkan. Sebagai jenderal dan menjabat kepala kepolisian daerah, pengaruh Teddy jelas sangat besar.

Ajun Komisaris Besar Polisi Dody Prawiranegara sangat takut kepada Teddy Minahasa. Dody yang sempat menolak perintah Teddy untuk mengganti lima kilogram sabu-sabu dengan tawas saat jumpa pers pengungkapan narkoba, kemudin mengikuti perintah atasannya itu.

Teddy layak mendapat hukuman maksimal untuk memastikan hukum di negeri ini tidak tumpul ke atas. Vonis mati untuk Ferdy Sambo menjadi preseden baik buat penegakan hukum terhadap aparat yang melanggar hukum.

Lazimnya peradilan hukum selama ini, pengedar sabu-sabu hingga lima kilogram dihukum mati. Kira-kira seperti itulah harapan publik untuk Teddy Minahasa.  Tindakan Teddy Minahasa jika nanti terbukti bersalah, tak bisa diterima nalar sehat.

Advertisement

Ia mengelak dan membuat apologi janggal selama persidangan. Tidak ada alasan yang meringankan Teddy. Persis seperti vonis hakim terhadap Ferdy Sambo, tidak ada satupun hal yang meringankan.

Vonis berat untuk Sambo dan Teddy Minahasa menjadi syarat mutlak Polri berbenah diri jika masih ingin dipercayai masyarakat. Cukup Sambo dan Teddy yang berperilaku menjijikkan. Polisi-polisi lain jangan! …86 Jenderal, Anda menjijikkan!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Maret 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif