Kolom
Selasa, 23 Januari 2024 - 11:55 WIB

Agama Fondasi Kekuatan Moral

Ahmad Ubaidillah  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Ubaidillah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Hari Agama Sedunia pada 16 Januari 2024 mengingatkan kita pada fenomena kerapuhan moral di negeri ini yang kian menggelegak dan mengkhawatirkan.

Media massa rasa-rasanya tak pernah absen mendedahkan berita tentang pejabat negara korupsi, yang merugikan keuangan negara,  atau masyarakat umum yang membunuh sesama manusia, sebagaimana tragedi carok di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, belum lama ini.

Advertisement

Kita menyaksikan agama sebagai sumber kekuatan dan pertahanan moral terlihat begitu ringkih. Kita melihat badai-badai nafsu rendah telah merenggut nilai-nilai agama sehingga keluar dari ruang keluhurannya.

Fungsi agama sebagai pembimbing dan pengarah tingkah laku manusia lenyap digulung oleh kerapuhan kesungguhan para penganutnya dalam menjalankan ajaran agama.

Dalam sejarah peradaban-peradaban dunia, baik peradaban Barat maupun Timur, kemunduran suatu paradaban sering kali dimulai dari kehancuran moral penghuni bangsa tersebut.

Advertisement

“Peradaban mati karena bunuh diri, bukan karena pembunuhan (civilizations die from suicide, not by murder),” demikian tulisan sejarawan Inggris, Arnold. J. Toynbee, dalam Civilization on Trial (1948).

Artinya, penguasa dan rakyat sudah tidak lagi mengindahkan persoalan batas antara baik-buruk dan benar-salah. Mereka menganggap perbuatan yang melanggar demarkasi moral sebagai bentuk kewajaran.

Melabrak moral yang sering kali mengganggu kepentingan masyarakat  luas  dianggap hal yang biasa dan lumrah. Berbicara moralitas pada hakikatnya adalah berbincang mengenai batas-batas, garis pemisah, dan demarkasi.

Batas tersebut membedakan antara baik/jahat, benar/salah, bagus/buruk, pantas/tidak pantas, dan seterusnya. Moralitas selalu berkaitan dengan sebuah  ruang yang di dalamnya ada daerah yang boleh dilalui dan ada daerah yang tidak boleh dilalui, ada tindakan yang boleh dilakukan dan ada tindakan yang tidak boleh dilakukan.

Advertisement

Moralitas selalu memberikan patokan jelas seseorang untuk berpikir dan bertindak. Hukum yang tadinya dibuat sebagai pencegah dan penjera mereka yang amoral sudah tidak berfungsi lagi.

Buktinya, masih saja ada penguasa atau individu warga negara yang melakukan kejahatan yang mencerminkan kerapuhan moral. Justru, yang terjadi adalah realitas hukum semakin dipermainkan oleh orang-orang yang bermodal besar, baik modal uang maupun modal kekuasaan.

Akibatnya, hukum hanya tajam  ke sisi bawah (rakyat jelata), namun tumpul ke sisi atas (penguasa). Ketika hukum manjadi bagian dari kehancuran moral manusia dan tidak lagi mampu menjadi pengawal kekuatan moral, maka menanamkan kembali nilai-nilai agama ke diri kita masing-masing perlu segera dilakukan.

Umat manusia perlu menghidupkan kembali ajaran-ajaran agama karena agama mampu membuat manusia berbuat baik dan mencegah  perbuatan-perbuatan tercela.

Advertisement

Hampir semua manusia Indonesia saat ini telah memeluk agama tertentu. Itu terlihat dari identitas yang dimiliki, misalnya kartu tanda penduduk (KTP), namun manusia tidak selamanya menjalankan secara sungguh-sungguh ajaran agama yang dianut, sebagaimana yang tertulis di kitab suci masing-masing.

Artinya, manusia sering kali tidak menjadi dirinya sendiri. Ia terkadang menjadi makhluk yang biasanya diidentikkan dengan simbol kejahatan (baca: setan). Godaan setan inilah yang siap menjerumuskan manusia ke lubang kehinaan yang paling mendalam.

Secara naluriah manusia sebenarnya berkencenderungan berbuat baik. Ketidaktenangan manusia setelah melakukan dosa dan kesalahan adalah bukti bahwa manusia sebetulnya menolak segala bentuk kejahatan.

Ia sadar bahwa kejahatan akan selalu menyengsarakan dirinya, sahabat, keluarga, masyarakat, atau bahkan negara. Ia paham bahwa setelah melakukan perbuatan-perbuatan buruk hatinya akan menyesal.

Advertisement

Godaan nafsu sesat dan sesaat sangat tangkas menodai kebeningan hati dan kejernihan akal manusia. Kita selalu membayangkan andai saja kaum agamawan mau menggali dan mengamalkan nilai-nilai luhur dalam ajaran agama masing-masing, barangkali kejahatan-kejahatan di dunia ini, terutama yang terjadi di Indonesia, tidak terjadi.

Menurut saya, tidak ada agama yang mengajarkan keburukan kepada umatnya. Semua ajaran agama mengajarkan kasih sayang, keadilan, kerukunan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Manusialah yang pongah, tidak mau menjalankan ajaran kebenaran, kebaikan, dan keindahan agama tersebut.

Kita sebagai manusia beragama selayaknya bertanya kepada diri kita masing-masing. Untuk apa beragama kalau kita masih suka berbuat korup, buat apa beragama kalau kita masih hobi menyuap untuk kelancaran keinginan kita, atau untuk apa beragama kalau kita masih senang membunuh sesama manusia demi kekuasaan yang fana.

Masih banyak pertanyaan lain yang perlu diajukan untuk menguji kualitas keberagaman kita. Apakah kita sudah benar-benar beragama atau hanya menjadikan agama sebagai simbol identitas belaka seperti yang tertera di KTP.

Orang-orang seperti Bertrand Russell atau Albert Einstein, misalnya, tidak merasa perlu memasuki agama-agama formal (Yahudi, Kristen, Islam Hindu, Khonghucu, atau Buddha), namun mereka memiliki kepercayaan dan keharusan berbuat baik.

Komitmen berbuat baik inilah yang mestinya diteladani oleh kita sebagai manusia beragama. Karena itulah, agama yang pada hakikatnya mengajarkan umat untuk selalu berbuat baik harus dijadikan senjata untuk melawan kejahatan-kejahatan.

Advertisement

Kita perlu mengajak diri kita sendiri untuk tidak “menelantarkan” ajaran-ajaran agama kita masing-masing. Kita harus senantiasa menghayati  nilai-nilai luhur religius untuk direalisasikan ke dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan bangsa.

Kita jangan sampai membiarkan tuntunan baik agama hanya tertulis di kertas tanpa pelaksanaan, sebagai bentuk tanggung jawab kita dalam beragama.  Kita harus ingat, meskipun agama memiliki kekuatan yang berpengaruh pada jiwa manusia, kekuatan ini bergantung pada tingkat komitmen penerimaan terhadap agama itu dan bukan sekadar formalitas.

Formalitas dalam beragama tanpa diikuti tindakan baik hanya mendatangkan bencana bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Internalisasi ajaran agama ke dalam jiwa akan memunculkan pemikiran eskatologis yang pada akhirnya mendorong manusia berpikir dan berbuat baik.

Filsuf Yunani, Socrates, sebelum meninggal dunia karena minum racun menyatakan kepada murid-muridnya yang tengah berkumpul di sekelilingnya bahwa di balik kehidupan dunia yang fana ini, ada kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Januari 2024. Penulis adalah dosen Ekonomi Syariah di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif