Kolom
Sabtu, 4 Agustus 2012 - 08:04 WIB

AGAMA Populer Saat Ramadan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Purnawan Andra, Eksekutif Kajian Sosial Budaya, Andrasmara Solo

Purnawan Andra, Eksekutif Kajian Sosial Budaya, Andrasmara Solo

Momentum Ramadan menggerakkan pengelola media televisi untuk mengadakan perubahan signifikan terhadap program acara mereka. Program acara bernuansa keagamaan menggeser program lainnya dalam tayangan prime time. Program acara bernuansa agama itu berhasil meraih rating yang cukup tinggi.

Advertisement

Dalam era global saat ini televisi dengan segala cara memberlangsungkan kehidupannya. Bahkan agama dibuat bersentuhan dengan budaya pop (pop culture). Hasilnya adalah kemasan hiburan keagamaan (kini biasa disebut religiotainment). Kemasan ini mempertautkan dua ekspresi penting, yakni hiburan yang bernuansa keagamaan dan agama yang dikemas menjadi bagian dari hiburan.

Fenomena ini mudah dilihat terutama di media audio visual kita selama Ramadan ini. Berbagai bentuk religiotainment selalu menghiasi program tayangan sejumlah televisi. Mulai dari sinetron, kuis, hingga tayangan iklan.

Untuk kepentingan ini, momentum Ramadan bisa menjadi wahana subur bagi persentuhan agama dan budaya pop. Hal ini terjadi karena Ramadan mempunyai kekuatan untuk menggerakkan semua lapisan pemeluk agama Islam untuk menambah tingkat kedekatan mereka dengan agama.

Advertisement

Oleh karenanya Islam dijelaskan dalam tingkat kebutuhan praktis, mudah dicerna dan penuh kepastian. Hal ini dilakukan, salah satunya melalui religiotainment.

Tuntutan kebutuhan terhadap Islam yang praktis, mudah dicerna dan sarat kepastian itu menemukan dukungan dari keterlibatan para pegiat budaya pop yang terlibat dalam religiotainment.  Mereka adalah penyanyi, presenter, model iklan atau pemain film.

Para pegiat budaya pop ini bisa melakukan komodifikasi gaya hidup. Mereka bisa menarik dan membingkai tradisi Islam ke dalam suatu kemasan gaya hidup yang mereka perankan.

Dengan bertemunya dua kepentingan dari sisi budaya pop dan agama ini maka menguatnya religiotainment menjadi tidak bisa terelakkan. Pada konteks inilah, menarik kiranya untuk melihat ideologi televisi dalam mengomodifikasikan Ramadan di layar kaca.

Advertisement

Pengelola televisi menempatkan Ramadan sebagai belantara pasar bebas yang bisa menghasilkan keuntungan. Arti puasa bagi pengelola televisi tak ada bedanya dengan Piala Dunia, Olimpiade atau Indonesian Idol.

Tak heran bila semua televisi selalu menyiapkan dan mengiklankan acara-acara unggulan jauh hari sebelum datangnya Bulan Puasa. Begitu memasuki Syakban, penonton televisi telah dimanjakan berbagai acara sebagai “pemanasan menjelang Ramadan” semisal sinetron-sinetron, masak-memasak, desain-desain pakaian, musik, dagelan, kuis dan sebagainya yang diasosiasikan Islami, cocok sebagai bekal menyongsong dan menjalani puasa saat Ramadan.

Selama Ramadan, sinetron, kuis, komedi, hingga reality show dikemas dengan sangat ”alim” selama 24 jam, mulai saat menjelang sahur hingga tiba waktu sahur lagi. Artis-artis yang semula tampil dengan pakaian terbuka tiba-tiba berbondong-bondong memakai kerudung dan berbaju Islami. “Kesalehan instan” yang terasa begitu aneh dan dibuat seolah-olah nyata terjadi.

 

Advertisement

Teror Televisi

Tentu saja ada berbagai permasalahan dalam hal ini. Di sinilah teror televisi bekerja dengan mengeksploitasi semua keinginan masyarakat. Televisi menjadi ”pelayan yang mengilusi” dan tidak mempunyai daya untuk membangun masyarakat yang beradab.

Pragmatisme ekonomi dan logika komersial membuat berbagai program acara televisi menjadi sangat dangkal, defisit secara substansi. Melihat tayangan televisi selama Ramadan, kita serasa ada di tengah pasar malam, di mana semua stasiun televisi menayangkan kegemerlapan, pesona fisik, dan hal-hal lain yang superfisial.

Di balik kegemerlapan dan hal-hal superfisial itulah dipropagandakan keasyikan terhadap hal-hal yang berada di luar kesadaran diri. Muncul kekaguman dan kebahagiaan di luar batas dan kegandrungan untuk terus mengonsumsi, untuk terus hidup dalam gaya dan kemewahan.

Advertisement

Akibatnya, kepribadian yang kemudian menonjol adalah individualisme. Nilai-nilai moralitas, sosial-kemasyarakatan, mulai terpinggirkan oleh hal-hal yang superfisial, seperti kekayaan yang dicitrakan terus-menerus di dalam tayangan televisi.

Padahal, saat Ramadan inilah semangat meluruhkan watak individualisme untuk membebaskan masyarakat dari struktur penindasan harus dikobarkan dua kali lebih besar. Hakikat Ramadan adalah merasakan penderitaan sesama, memapah jiwa kita untuk turut menyelami penderitaan rakyat miskin ketika sedang menahan lapar. Puasalah yang akan menuntun laku dan pikir kita untuk peduli pada pemiskinan struktural di masyarakat.

Menurut Fajar Riza Ul Haq (2007), peran media televisi sebagai ikon budaya elektronik modern menjadi kekuatan yang mampu menggugah dan membangun syiar Islam adalah bagian dari harapan ideal pemirsa muslim. Namun, imajinasi televisi relatif mudah membius logika akal sehat pemirsa.

Pemakaian simbol-simbol agama oleh kalangan pemilik modal menempatkan televisi sebagai mesin komersialisasi publik yang ampuh. Televisi telah memanfaatkan simbol-simbol agama dalam rangka melipatgandakan keuntungan komersial.

Dengan demikian, simbol-simbol agama akan bisa kehilangan makna substansinya jika ternyata produk yang memanfaatkan simbol tersebut menimbulkan efek samping yang berbahaya.

Ketika media televisi menampilkan hiburan sebagai bagian yang dapat menarik keuntungan finansial sebesar-sebesarnya, yang terjadi adalah sebuah pertentangan melawan prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan agama.

Advertisement

Seharusnya, dalam spirit Ramadan, menjadi penting dan relevan untuk mempelajari dan bahkan untuk menggugat keberadaan pasar yang tak berpihak terhadap nilai-nilai kehidupan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Oleh karena itu, bila yang tampak sekarang Ramadan identik dengan ramainya pasar dan tingginya tingkat konsumsi masyarakat maka sesungguhnya hal itu tidak lepas dari spirit Ramadan yang dibelokkan oleh kekuatan pasar.

Puasa mempunyai dimensi sosial dan dimensi ketuhanan. Artinya puasa tidak hanya mengajarkan manusia untuk menyembah dan berbakti kepada Allah. Puasa juga membawa ajaran untuk mengembangkan perilaku-perilaku humanis yang bersifat horizontal.

Puasa juga membawa ajaran untuk mengembangkan nilai keseimbangan jiwa (simpati, empati) dan raga (menahan lapar dan haus). Dengan demikian, di antara hikmah penting dari ibadah puasa Ramadan adalah mendidik manusia untuk mempunyai irama kehidupan bersama yang damai, cerdas secara sosial, berkeseimbangan antara perilaku duniawi dan akhiratnya sehingga idealitas masyarakat yang baldatun toyyibatun warobbul ghafur dapat terwujud .

Advertisement
Kata Kunci : Agama Populer Ramadan
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif