Kolom
Rabu, 20 September 2023 - 09:35 WIB

Aktualisasi Prosa Kesetaraan

Rudi Agus Hartanto  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rudi Agus Hartanto (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Diakui  atau tidak, musik bawah tanah identik mengangkat narasi masalah di sekitar kita. Itu tercermin secara gamblang pada karya mereka maupun orasi yang dikobarkan ketika di panggung.

Dengan begitu, apakah tepat apabila komunitas ini mendapatkan pandangan minor? Esai ini bermula dari repertoar di kamar kecil saya meskipun terbatas lalu didukung bayangan crowd dancing penuh ekspresi di tengah moshpit.

Advertisement

Semuanya bercampur aduk hingga memanas, sebagaimana susahnya seseorang menghafal lirik karena harus membuka lembaran rilisan fisik atau mesin pencari. ”Mesin metal” lawas Kota Solo, Down For Life, pernah mencuri perhatian saya satu bulan setelah berseragam SMA.

Tepat pada hari peringatan ulang tahun ke-68 kemerdekaan Republik Indonesia, mereka merilis singgel Prosa Kesetaraan. Satu dekade kemudian (baca: kiwari), pesan yang termaktub kian terasa selaras dengan kondisi zaman.

Sering kali apabila muncul pemberitaan mengenai kasus penolakan pembangunan rumah ibadah, rasisme, kekerasan seksual, atau kecongkakan kekuasaan, lagu ini segera berdengung di kepala.

Advertisement

Secara semantik keseluruhan lirik Prosa Kesetaraan dapat ditangkap secara langsung ketika pembacaan dilakukan tekstual—andaikata kesulitan mendengar growl sang vokalis Stephanus Adjie.

Jika ditarik ke makna kontekstual pun akan semakin luas peranan sosial seiring perkembangan kajian kesetaraan. Prosa Kesetaraan bukan hanya pesan yang menjadi angin lalu.

Setiap baris lirik adalah sebuah peringatan. Mengingat hari-hari pemilihan umum yang direncanakan pada 2024 semakin dekat, dan semakin terasanya distraksi arus politik, maka peringatan mengenai kesetaraan sangatlah penting karena menyangkut urusan kemanusiaan.

Momentum yang akan dirayakan segenap anak bangsa mendatang adalah waktu yang baik untuk menarasikan. Tentu saja yang tersaji pada pertunjukan Down For Life dalam Apokaliptika: A Journey of Rock In Solo pada akhir 2021 yang lalu sangatlah spesial.

Advertisement

Tanpa menanggalkan narasi perihal kondisi dunia saat itu tentang pandemi Covid-19 serta pernyataan kembalinya festival musik yang digelar kali pertama pada tahun 2004 tersebut, Rock In Solo, mereka berhasil berkolaborasi dengan berbagai seniman lintas seni di Kota Solo.

Kota Solo yang notabene sangat lekat dengan kesenian tradisi tiba-tiba semakin berwarna atas kehadiran kolaborasi tersebut. Dari akun media sosial Down For Life dapat diketahui bagaimana relasi yang terbentuk seusai pertunjukan: presentasi di berbagai panggung luar kota.

Sebuah catatan menarik yang terdengar seperti jargon ”Rock In Solo: Karena Sejarah Belum Selesai Ditulis!” Keberhasilan itu menandai bahwa kesetaraan, melalui produk kesenian, mampu direpresentasikan secara persuasif.

Nilai sosial dan budaya yang tersaji di panggung mampu memantik pelajaran penting. Bahwa nyatanya seiring perkembangan zaman kesenian tradisi mampu berkolaborasi dengan band metal. Hal yang sebelumnya terasa tidak mungkin ternyata mampu melahirkan peristiwa dan memunculkan nilai estetika tersendiri.

Advertisement

Keadaan demikian semestinya membenang dalam pertimbangan pemahaman apakah layak mereka yang mencintai kultur ini—pelaku dan penggemar—kemudian mendapatkan label sebagai orang-orang yang tidak berwawasan, mbeling, dan meresahkan.

Tidak hanya sekali dua kali saya mendengar sentimen semacam itu: kepada individu maupun komunitas. Penilaian negatif yang telanjur melekat memang bukanlah sesuatu yang mudah dihilangkan. Pemahaman yang begitu senyatanya berperan sebagai kekuatan dalam rangka membangun kebertahanan.

Pada Mei 2008 hingga pertengahan 2009, seribu kepiing rilisan fisik album pertama Down For Life Simponi Kebisingan Babi Neraka terjual habis di kota-kota besar di Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MLive: Edisi Khusus Rock In Solo, 2011).

Ini sebuah catatan prestasi band yang lahir pada 2000 tersebut, terlebih pada saat album itu dirilis media promosi belum semasif sekarang. Sementara itu, satu bulan setelah singgel Prosa Kesetaraan dirilis, Down For Life menelurkan album kedua dengan tajuk Himne Perang Akhir Pekan melalui Sepsis Records.

Advertisement

Di halaman tengah pada berkas rilisan fisik terpampang potret kebersamaan para personel yang menyerupai lukisan legendaris Leonardo Da Vinci: Perjamuan Terakhir. Terbaru, singgel hasil kolaborasi bersama Persis Solo, Sambernyawa (2023), semakin menegaskan kekuatan deru mesin Down For Life dalam menghadapi medan.

Di sisi lain juga terasa semakin istimewa mengingat Laskar Sambernyawa berusia satu abad pada tahun ini. Kolaborasi yang tepat momentum sekaligus terlihat epik.

Banyak orang yang mengingatkan untuk menjaga kewarasan berpikir. Berarti seseorang harus mengedepankan logika dan nalar sembari belajar mengelola perasaan. Terdapat bermacam alternatif agar mendapati titik tersebut, salah satunya melalui musik.

Terlebih sekarang para pendengar musik semakin mudah menentukan pilihan berkat kehadiran pelbagai platform digital. Jika dengan mudah ditemui ulasan musik populer, tulisan ini merupakan sebuah tawaran bahwa musik yang terdengar noise (ribut) rupanya dapat dijadikan sebagai pengantar untuk tetap waras.

Hal itu disebabkan produk yang diciptakan terasa dekat, nyata, dan disampaikan tanpa tedheng aling-aling. Musik metal yang bersifat random dan ekpresionis tidak memiliki batasan tertentu.

Melalui kebisingan dan ketiadaan harmonisasi antara nada dan ritme, musik metal mencoba menyajikan ketidaklaziman simbolis dari musik tradisional (Babcock, 1978). Artinya, karya yang lahir menawarkan bentuk-bentuk lain terhadap apa yang sudah ada dan menjadikannya sebagai pengantar seseorang memelajari diri atau komunal.

Advertisement

Ada adagium yang entah dicetuskan oleh entah siapa, namun santer di kalangan komunitas musik bawah tanah, bahwa yang memiliki peran penting mengapa orang yang terjun dalam skena ini mampu bertahan di tengah gempuran sesulit apa pun adalah ”membakar batas, membangun harapan.

Meski terdengar pragmatis, ungkapan itu merupakan siasat yang pantas dipakai di balik tekanan yang menyebalkan. Itulah kemudian yang mungkin memiliki peranan kepada para penikmat yang bisa dibilang loyal.

Eksistensi Down For Life, Rock In Solo, serta kembali menggeliatnya gigs yang diinisasi anak muda di Kota Solo dan sekitarnya seakan-akan mengatakan tentang keberadaan sekaligus kekuatan mereka. ”…Dirimu, diriku / Berdiri sejajar”. Demikian  kata Down For Life melalui Prosa Kesetaraan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 September 2023. Penulis adalah mahasiswa program Magister Ilmu Linguistik Universitas Sebelas Maret dan aktif di komunitas Kamar Kata Karanganyar)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif