Kolom
Rabu, 10 Agustus 2022 - 00:14 WIB

APG Bukan Hajatan Biasa

Agus Kristiyanto  /  Syifaul Arifin  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agus Kristiyanto (Solopos/Istimewa)

ASEAN Para Games (APG) XI dibuka oleh Wapres K.H. Ma’ruf Amin pada Sabtu (30/07/2022) malam dan tengah berlangsung. Digelar di Stadion Manahan Solo, acara pembukaan pesta olahraga disabilitas se-kawasan Asia Tenggara tersebut berlangsung sangat meriah. Stadion Manahan yang merupakan venuekebanggaan masyarakat Solo pada khususnya, dan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya, menjadi tempat yang bersejarah bagi penyampaian pesan humanis global melalui hajatan akbar olahraga berskala internasional. Stadion Manahan, bahkan serasa menjadi stadion milik seluruh bangsa-bangsa di Asia Tenggara.

Tahun ini, Solo menjadi tuan rumah APG untuk kali kedua, setelah mencatat kesuksesan penyelenggaraan yang pertama pada APG VI pada 2011. APG kali ini adalah APG yang pertama digelar setelah selama lima tahun vakum karena pandemi Covid-19 serta pesoalan-persoalan lain yang mengikutinya. Kesiapan Solo sebagai tuan rumah (apalagi dalam rentang waktu yang relatif pendek dengan penyelenggaraan yang pertama), tentu memiliki arti penting yang menyejarah dan bersejarah dalam penyelenggaraan APG.

Advertisement

Pekan olahraga yang diikuti kontingen dari 11 negara yang pembukaannya disaksikan secara luring kurang lebih 15.000 orang tersebut mengusung tema besar Striving for Equality, yakni Perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan. Di balik aksi gigih dan gagah para atlet disabilitas berkompetisi untuk menjadi yang terbaik (baca: juara) di 14 cabang olahraga yang digelar, terdapat berbagai nilai-nilai besar yang akan diresonansikan ke masyarakat lokal, nasional, regional, maupun global. Nilai-nilai humanis dan aneka pesan moral berenergi dengan paradigma development of sport, sekaligus development trough sport. Hal itulah yang menjadi alasan utama mengapa APG bukan sebuah hajatan biasa. Terdapat setidaknya 6 argumentasi APG XI bukan sebuah hajatan yang biasa.

 

Advertisement

 

Bukan Hajatan Biasa

Pertama,APG 2022 adalah fakta extraordinary karena diselenggarakan pada kurun masa endemi dunia, di mana masyarakat lokal, nasional, regional, dan global mutlak membutuhkan revitalisasi dengan membangun semangat baru untuk bangkit. Dengan kata lain APG menjadi sebuah mesin pemantik yang diharapkan“bergulir”untuk menumbuhkan resiliensi global melalui olahraga disabilitas. Semua perhelatan multi-event memang selalu diarahkan seperti itu, tetapi ada banyak yang secara khusus hanya bisa ditempuh dengan penyelenggaraan APG yang berhasil. Berhasil bukan sekadar dari sisi normatif penyelenggaraan, pencapaian prestasi terbaik, serta kesuksesan dalam menggerakkan sport tourism. Energi pemantik resiliensi sosial secara global adalah hal yang sangat urgen.

Advertisement

Ketiga,terselenggara pada era pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang  Keolahragaan. Amanah kuat keberpihakan untuk memberikan apresisasi yang berprinsip kesetaraan (equality) sudah sangat kuat diatur pada pasal-pasal baruuntuk diejawantahkan secara konkret. APG sungguh menjadi sebuah hajatan untuk memberikan bukti pengejawantahan tentang kesetaraan dalam olahraga. Tidak boleh ada lagi terminologi olahraga cacat: “Tuhan Yang Maha Sempurna tidak mungkin menciptakan manusia cacat”. Para atlet di APG adalah atlet yang memiliki kemampuan unik dan berbeda dibandingkan atlet yang nondisabilitas.

Keempat, APG menjadi sebuah “instrumen kolektif-spesifik” yang berkontribusi untuk program Sustainable Development Goals (SDG’s). Sebagai sebuah instrumen kolektif multi-dimensional, APG menjadi pilihan optimistikdalam mewujudkan capaian deklarasi global SDG’s. Keberlangsungan capaian SDG’s 2030 sempat dihantui oleh kekhawatiran dunia karena terkoreksi olehpandemi Covid-19. Diperlukan mesin pembangkit untuk menciptakan resiliensi (baca: bangkit dari keterpurukan). SDG’s memang dipersyarati oleh keberlangsungan dimensi lingkungan hidup yang lestari terjaga, ekonomi yang tumbuh, namun dimensi sosial juga menjadi bagian yang penting. APG 2022 tidak biasa, karena hadir untuk menyambut tantangan dan peluang tersebut, terutama pelajaran sosial tentangequalitydalam perspektif gender serta disabilitas-nondisabilitas.

Kelima, APG yang diselenggarakan efektif hanya sepekan (30 Juli – 6 Agustus 2022) memiliki arti penting sebagai pekan pemodelan tata akses lingkungan ramah disabilitas. Setidaknya ada 1.243 atlet disabilitas yang berlaga di 14 cabang olahraga selama sepekan. Kehadiran mereka di venue tentu saja akan memberikan nilai evaluasi tersendiri dalam hal kelayakan dan kesesuaian venue. Akses disabilitas di sebuah venue olahraga, acapkali dipenuhi secara tidak permanen. Kegiatan mereka di venue akan memolakan secara riil tentang kebutuhan akses permanen yang mestinya tersedia di sebuah venue tertentu. Pola kebutuhan akses mereka juga akan terbentuk ketika beraktivitas di ruang publik. Jejak akses mereka memberikan informasi penting untuk memaksimalkan nilai kecukupan dalam sebuah standar pelayanan minimal infrastruktur untuk sebuah tata kotaatau wilayah yang ramah disabilitas.

Advertisement

Keenam, APG menjadi sebuah “etalase besar” promosi budaya dan turisme. Fungsi etalase tersebut sudah mulai diberlakukan jauh-jauh sebelum acara pembukaan event. Saluran promosi akan terus berlangsung selama sepekan penyelenggaraan dan dampakanya akan terus berlangsung secara multiplier effect jangka panjang ke depan. Etalase promosi budaya dan turismemelalui sebuah multievent olahraga, memiliki daya magnetik yang kuat. Jika pusat perhatian publik berkorelasi dengan jumlah negara yang berpartisipasi dan keunikan multievent, maka APG yang “unik” tersebut tentu berpotensi besar sebagai saluran promosisport tourism and culture. Semakin kuat karena konten kegiatan APG bisa digandakan dalam jejak-jejak digital yg kini dapat diakses secara cepat, lengkap, dan luas melalui koneksi jaringan internet.

Hajatan besar APG tentu saja bukan sekadar sebuah pesta biasa,yang identik dengan suasana an sichsuka cita dalam keriuhan laga para atlet disabilitas. Lebih dari itu, para duta atlet tersebut sebenarnya sedang berproses menunjukkan perjuangan menggapai kemenangan dan kesetaraan (equality). Untuk sebuah kemenangan, mereka disamping harus “mengalahkan rival”, mereka juga harus sanggup “mengatasi” dirinya sendiri. Artinya, untuk berjuang menggapai kesetaraan, mereka semestinya tidak dibiarkan melakukannya sendiri.

Dibutuhkan mindset yang lurus dari masyarakat luas yang teredukasi secara baik dalam membanguniklim apresiasi. Para atlet disabilitas adalah para atlet luar biasa yang mengajarkan kepada semua orang tentang arti kegigihan dan perjuangan. Mereka adalah para atlet luar biasa yang berpeluang besar untuk menciptakan sebuab kebanggaan melalui prestasi terbaik yang bisa ditoreh. “Striving for Equality”semoga bukan sebatas slogan.
Artikel ini ditulis oleh Agus Kristiyanto, Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga  FKOR Universitas Sebelas Maret Solo, telah dimuat di Solopos edisi 4 Agustus 2022.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif