Kolom
Kamis, 4 April 2024 - 12:55 WIB

Bahaya Laten Bullying di Sekolah

Adhitya Yoga Pratama  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Adhitya Yoga Pratama. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Bullying adalah bahaya laten. Sering terjadi di lingkungan sekolah. Salah satu jenis bullying yang paling umum adalah ejekan. Menurut laporan UNICEF, pada 2018 sekitar 41% pelajar Indonesia berusia 15 tahun pernah mengalami bullying, sebanyak 22% mengalami bullying berupa ejekan dari murid lain.

Ejekan sering kali meninggalkan trauma psikologis pada korban. Mereka mengalami ketidakpercayaan diri, kecemasan, depresi, dan kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat.

Advertisement

Bullying berupa ejekan dapat memengaruhi proses belajar pada diri korban. Rasa takut dan stress yang ditimbulkan ejekan dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi belajar sehingga memengaruhi prestasi akademik mereka.

Bullying semacam ini dapat memicu siklus kekerasan. Korban yang terus-menerus diejek cenderung merasa terisolasi dan putus asa sehingga mendorong mereka melakukan tindakan agresif sebagai balasan atau pemenuhan kebutuhan akan kontrol.

Laporan UNICEF yang menunjukkan laki-laki lebih banyak mengalami bullying ketimbang perempuan. Ini sesungguhnya menandakan pola perilaku sosial murid di sekolah perlu dipahami  lebih dalam lagi.

Advertisement

Terutama faktor-faktor perubahan nilai dan norma sosial, proses sosialisasi yang tidak sempurna, differential association, dan budaya sekolah yang memengaruhi prevalensi bullying harus segera dimengerti.

Dalam konteks ejekan, menurut saya, faktor differential association berperan besar meningkatkan prevalensi bullying di lingkungan sekolah. Jika pengaruh lingkungan sosial tempat murid berinteraksi menganggap ejekan sebagai candaan atau lelucon, siap-siap saja bullying menimpa siapa pun korbannya, dimana pun tempatnya, dan kapan pun waktunya.

Faktor differential association menjelaskan individu belajar perilaku kriminal melalui interaksi dengan orang-orang di sekitarnya. Teman sebaya di sekolah dapat menjadi agen differential association yang kuat.

Advertisement

Jika seorang murid berada di lingkungan tempat bullying dianggap norma atau budaya yang diterima, kemungkinan besar dia akan terpengaruh untuk ikut serta dalam perilaku tersebut.

Eksposur bullying melalui media sosial dan hiburan juga dapat memperkuat differential association. Ketika murid terpapar konten yang menampilkan bullying sebagai sesuatu yang lucu atau kuat, mereka mungkin mencoba meniru perilaku yang serupa.

Lingkungan keluarga juga memainkan peran penting dalam membentuk differential association terkait bullying. Jika seorang murid tinggal di lingkungan tempat perilaku agresif atau merendahkan orang lain dianggap sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik, dia mungkin lebih cenderung meniru perilaku tersebut di sekolah.

Faktor lain yang memengaruhi differential association adalah kekuatan dan frekuensi interaksi sosial. Semakin sering murid terpapar teman-teman yang terlibat bullying, semakin besar kemungkinan untuk mengadopsi perilaku tersebut.

Kurangnya pengawasan dan intervensi dari otoritas sekolah juga dapat memperkuat differential association tentang bullying. Jika murid merasa bahwa mereka bisa melakukan bullying tanpa konsekuensi yang nyata, mereka mungkin merasa lebih bebas untuk melanjutkan perilaku tersebut.

TPPK di Sekolah                           

Membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di sekolah merupakan langkah yang sangat konkret dalam memerangi dan mencegah bahaya laten bullying. TPPK bertugas memonitor, menangani, dan mencegah bullying serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif bagi semua murid.

Kebijakan sekolah yang berpotensi menimbulkan terjadinya bullying harus segera dihapuskan. Segala kebijakan tertulis maupun tidak tertulis yang mengakibatkan ejekan tidak boleh dianggap suatu hal wajar. TPPK berhak membatalkan kebijakan sekolah tersebut tanpa tedeng aling-aling.

Di sinilah, menurut saya, TPPK berfungsi melakukan pendekatan proaktif dalam membangun budaya sekolah yang tidak menoleransi bullying. Dengan mengadakan program-program pendidikan dan kesadaran yang terintegrasi ke dalam kurikulum, TPPK dapat membantu murid memahami dampak negatif bullying dan menginternalisasi nilai-nilai penghormatan, empati, dan toleransi.

Sedangkan tanggung jawab merancang dan mengimplementasikan kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas di sekolah bukan terletak pada guru bimbingan konseling (BK), melainkan TPPK yang melaksanakan program anti-bullying.

Hal ini termasuk pembuatan prosedur yang jelas untuk melaporkan kasus bullying serta sanksi yang sesuai bagi pelaku bullying. Memfasilitasi pelatihan dan pembinaan guru dan karyawan sekolah tentang cara mengidentifikasi, menangani, dan mencegah bullying juga merupakan tugas TPPK.

Dengan meningkatkan pemahaman dan keterampilan mereka dalam mengelola kasus bullying, guru dan karyawan dapat lebih efektif memberikan dukungan kepada korban dan mengintervensi pelaku.

TPPK yang anggotanya terdiri atas orang tua dan masyarakat sangat mudah menggalang dukungan dan partisipasi dalam mencegah bullying. Melibatkan orang tua dalam pemahaman tentang peran mereka mendorong perilaku yang positif dan mendukung anak-anak mereka dalam mengatasi bullying berkemungkinan besar meminimalkan kasus bullying di sekolah.

Kerja sama TPPK dengan lembaga dan organisasi lain, seperti pusat kesehatan mental atau lembaga perlindungan anak, untuk menyediakan sumber daya dan dukungan tambahan bagi korban bullying sangat penting dilakukan.

Hal ini untuk memastikan korban mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan untuk mengatasi dampak bullying secara fisik, emosional, dan psikologis. Dengan demikian bahaya laten bullying dapat diberantas ketika pemangku kepentingan mempunyai kemauan kuat membentuk dan mengoptimalkan TPPK di sekolah.

Dengan demikian, sekurang-kurangnya fungsi manifes sekolah menyelamatkan potensi, minat, bakat. dan keterampilan anak dengan sehormat-hormatnya bukan mimpi pada siang bolong. Mungkin begitu.

(Esai ini terbit di Harian solopos edisi 3 April 2024. Penulis adalah guru PPKn SMP IT Daarul Hidayah, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif