Kolom
Minggu, 18 Februari 2024 - 10:45 WIB

Banteng Menjadi Oposisi Lagi

Algooth Putranto  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Algooth Putranto (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah melewati tahapan penting, yakni pemungutan suara pada 14 Februari 2024, dengan hasil dramatis versi hitung cepat (quick count). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah juara pemilu anggota legislatif, namun kalah dalam pemilihan presiden-wakil presiden.

Di Jawa Tengah perolehan suara PDIP sebetulnya menyakitkan. Meski masih juara pemilihan anggota legislatif, tampak jelas konstituen mereka digerogoti partai-partai politik lain dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tampak jelas mendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Advertisement

Di Soloraya lebih mengejutkan: PDIP tumbang. Ini tanda bahaya menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada November 2024. Saya mengambil kesimpulan ini dengan membandingkan publikasi aneka versi hitung cepat sejumlah lembaga survei maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Benar bahwa hitung cepat bukanlah hasil akhir resmi (real count) Pemilu 2024. Penghitungan resmi oleh KPU akan dilakukan pada 20 Maret 2024. Meski demikian, memperhitungkan bahwa lembaga survei maupun KPU memiliki kewajiban moral terhadap eksistensi organisasi, bisa dipastikan metodologi maupun penghitungan suara secara cepat tersebut dilakukan dengan sejujur mungkin.

Hasil penghitungan cepat adalah sahih alias hanya beda tipis dengan real count. Melihat hasil quick count Pemilu 2024 yang luar biasa signifikan alias sulit untuk berubah meski berpotensi berubah karena adanya margin errorrandom error, dan sistematic error, wajar kemudian pasangan Prabowo-Gibran beserta partai-partai politik pendukung langsung mendeklarasikan kemenangan.

Advertisement

Pesta kemenangan yang ditanggapi berbeda oleh dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden lain,  yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. beserta partai-partai politik pendukung. Dua pasangan ini mengutarakan dua hal berbeda tak ubahnya memutar rekaman lima tahunan.

Pertama, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfid Md. berusaha membesarkan hati bahwa proses real count masih berjalan. Kedua, menarasikan ada kecurangan karena jajak pendapat dari pemilih setelah keluar dari tempat pemungutan suara atau TPS (exit poll) yang dilakukan internal partai pendukung memperoleh hal berbeda.

Saya yang pernah meliput pemilu sejak 2004 berpandangan sikap pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. adalah sikap umum para petaruh yang pasrah. Jika kemudian menggugat hasil pemilu, sejarah pemilu Indonesia sejak 2004 belum pernah memenangkan penggugat.

Justru yang saya tunggu adalah kebulatan tekad PDIP sebagai—calon—partai politik pemenang Pemilu 2024 (pemilihan anggota legislatif) untuk mempersiapkan diri sebagai kekuatan oposisi bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Advertisement

Ini hal yang pernah dilakukan secara konsisten oleh PDIP bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Harus diakui atau tidak, tantangan kritis atau masukan kritis dari PDIP senada dengan DNA partai ini yang selalu mengklaim sebagai partai wong cilik.

Kala itu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat beserta koalisi partai politik pendukung harus membuat program dan kebijakan yang baik untuk rakyat.

Dengan memosisikan diri sebagai partai oposisi, PDIP selama satu dekade menunjukkan konsistensi menolak kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan rakyat dan tidak nasionalis.

Kita bisa mengingat berbagai kebijakan yang kontroversial di mata publik, seperti penetapan Exxon Mobile sebagai lead operator Blok Cepu dan kenaikan harga bahan bakat minyak atau BBM yang menjadikan DPR begitu dinamis dan seru sehingga ketika keputusan diambil membuat masyarakat tidak terlalu kecewa.

Advertisement

Kere Munggah Bale

Sebagai partai oposisi, PDIP dan koalisi partai politik kecil lain berhasil memerankan diri sebagai kekuatan penyeimbang untuk mengontrol kebijakan pemerintah agar tetap memperhatikan kepentingan wong cilik dan kepentingan nasional.

Selama 10 tahun PDIP menjadi opisisi, harus saya akui Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum menempatkan diri sebagai pemimpin partai politik yang mampu menjadi kekuatan penyeimbang dan kontrol bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tentu  dengan risiko harus ”berpuasa”, tidak menikmati kekuasaan.

Yang pasti, beruntunglah peran oposisi yang dimainkan PDIP masih dalam batas-batas yang tidak mengganggu proses politik yang dapat memunculkan imobilitas politik atau political deadlock dalam relasi presiden dan DPR.

Sayangnya, orkestrasi indah demokrasi ini kemudian dilumpuhkan oleh PDIP sendiri ketika berhasil memenangi Pemilu 2014 dan menempatkan Joko Widodo sebagai presiden. Banteng Moncong Putih yang biasa menanduk ke sana kemari justru kebingungan dengan peran baru sebagai partai penguasa.

Advertisement

Saya meminjam peribahasa kna Kere munggah baleKere adalah orang miskin harta atau pendidikan atau status, sementara bale adalah tempat terhormat yang pada zaman sistem monarki dahulu hanyalah tempat bagi orang terhormat.

Bisa dibayangkan kala si kere, yang tuna dalam segala hal, diberi bale (panggung). Alhasil mabuk kepayang. Dengan kemiskinan pengetahuan, si kere  menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

Salah satu kekonyolan PDIP bahkan dimulai pada tahun pertama mereka sebagai partai penguasa dengan melabrak program Presiden Joko Widodo, yakni konsep tol laut yang tak lain sekadar contekan program dari visi konsep Pendulum Nusantara yang dilontarkan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) Richard Joost Lino.

Pendulum Nusantara adalah aksi korporasi Pelindo II beserta Pelindo I, III, dan IV sebagai bagian dari Sistem Logistik Nasional (Sislognas) dalam mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Sislognas yang terhubung dengan program jalan tol pemerintahan Presiden Joko Widodo diharapkan dapat menurunkan biaya logistik nasional yang masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain.

Entah apa yang merasuki PDIP, kriminalisasi dengan meminjam tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi pada R.J. Lino kurang dari setahun sejak Jokowi resmi menjadi presiden. Butuh lima tahun bagi KPK untuk membuat R.J. Lino akhirnya divonis dan dibui.

Advertisement

Sebuah drama yang sepertinya menjadi salah satu episode ana kere munggah bale dengan aktor PDIP karena setelah itu banyak hal yang mungkin memantik pemilih setia PDIP akhirnya justru berpaling kepada Jokowi yang juga pindah ke lain hati.

Catat saja bagaimana gejolak konstituen—terutama kelompok muda yang merupakan pemilih terbesar—ketika PDIP secara sadar menjinakkan KPK hingga pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang semuanya dilakukan pada 2019.

Dengan kekalahan PDIP pada pemilihan presiden-wakil presiden pada Pemilu 2024 ini, besar harapan saya dengan hilangnya mahkota bernama posisi presiden maka PDIP akan kembali memerankan posisi partai oposisi dalam sistem presidensial. Tidak lagi sibuk berkompromi lalu bertransaksi. Semoga saja.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Februari 2024. Penulis adalah doktor ilmu komunikasi dan pengajar di Universitas Pembangunan Jaya)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif