Kolom
Minggu, 14 Januari 2024 - 09:55 WIB

Basis Pendidikan yang Terlupakan

Halim H.d.  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Halim H.D. (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Dalam sejarah pendidikan modern kita ada sesuatu yang luput dari ingatan. Kian lama terlupakan. Banyak orang tak lagi bisa mengenal sebagai ssumber inspirasi dalam pembentukan karakter warga muda. Itulah proses pendidikan tradisi.

Dalam lintasan waktu setengah abad, kita telah memupus suatu peran penting yang pernah dipegang oleh keluarga tradisi dalam dunia pendidikan yang secara mendasar menjadi bagian pembentukan karakter dan identitas di lingkungan masyarakat.

Advertisement

Dalam sejarah kita ditunjukkan bukti nyata tentang peranan keluarga di dalam pendidikan. Contoh konkret yang sampai sekarang bertahan dan bahkan berkembang menjadi lembaga pendidikan dan posisi keluarga tetap menjadi inti dari perkembangan lembaga itu adalah pondok pesantren.

Selama ratusan tahun pesantren mewujudkan pembentukan karakter melalui pendidikan berpola keluarga. Sampai sekarang betapapun pondok pesantren banyak yang telah berkembang dan melampaui wilayah, karakter dan pola pendidikan keluarga tetap inti dari pembentukan watak siswa/santri.

Saya kira pola pendidikan keluarga memang menjadi cikal bakal dalam transfer ilmu pengetahuan, teknik, dan pembentukan watak. Karena itulah, keluarga menjadi inti dari semua proses menjadinya seseorang menuju kedewasan, bukan hanya secara usia, tapi juga kematangan mengarungi kehidupan.

Advertisement

Tokoh pendidikan dan pemikir kebudayaan di Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, dengan jelas menyatakan proses pendidikan yang utama dimulai di keluarga kemudian memasuki lembaga pendidikan resmi.

Di antara itu ada ruang sosial di masyarakat yang menjadi batu ujian bagi perkembangan seseorang. Di dalam masyarakat inilah ujian seseorang menjadi dirinya dengan seluruh kandungan watak melalui ungkapan, salah satunya, ilmu kuwi kelakone kanthi laku, proses ilmu pengetahuan terwujud dalam praktik.

Merenungi dan memikirkan kembali posisi keluarga tradisi, dan kita tarik ke dalam pembentukan lembaga pendidikan kesenian pada periode setelah proklamasi kemnerdekaan, kita mendapatkan suatu fakta yang sangat menarik.

Ketika Soekarno, presiden pertama, baru menjabat memasuki periode tahun 1950-an, suatu politik pendidikan yang tampaknya diilhami oleh yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara diterapkan melalui sintesis konsep pendidikan yang sangat menenarik.

Advertisement

Wujudnya pembentukan sekolah-sekolah menengah kesenian yang disebut konservatori atau konri di beberapa kota, seperti di Jogja, Solo, Bandung, Padang Panjang, Denpasar, lalu belakangan berkembang ke beberapa kota lainnya seperti Surabaya, Banyumas, Makassar.

Konri lalu dilanjutkan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Solo, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Jogja, Denpasar, Bandung, dan ASKI di Padang Panjang. Yang menarik, pembentukan lembaga pendidikan kesenian konri di tingkat sekolah menengah dan akademi didasarkan pada basis tradisi masing-masing daerah itu.

Lembaga itu hampir sepenuhnya dikelola keluarga tradisi yang diangkat menjadi pengajar dan sekaligus merancang kurikulum dan sistem pendidikan. Dalam situasi dan kondisi sebuah negeri yang baru bisa melangkah dan semua lembaga masih mencari bentuk dan wujud ideal pengelolaan dalam konteks uji coba itulah yang menjadi dasar pengembangan lembaga pendidikan tradisi secara modern.

Dalam konteks inilah tesis pemikiran Ki Hajar Dewantara memiliki dasar yang paling kuat, bahwa pembentukan watak melalui lembaga pendidikan dan khazanah tradisi ke arah pembentukan dan kesadaran identitas nasional.

Advertisement

Sebagai suatu bangsa yang sedang merangkak menuju alam dunia modern, kita disajikan fakta sejarah tentang kesadaran para pendiri republik ini pada tradisi sebagai basis nilai kebudayaan dalam kaitan dengan arah negara kebangsaan (nation state).

Membayangkan gagasan kaum republiken yang mengusung khazanah tradisi sebagai basis material dalam pengelolaan kebudayaan nasional dan mengaitkannya dengan lembaga pendidikan modern masa kini, kita menemukan sejenis lubang hitam yang tampak berkaitan dengan perubahan posisi tenaga pengajar yang kian diduduki oleh mereka yang memiliki sertifikasi melalui pendidikan tinggi.

Tentu kita tidak menolak proses peningkatan jenjang pendidikan tinggi bagi pengajar kesenian di kampus seni. Yang jadi masalah ketika kampus kesenian hanya menyandarkan pada sertifikasi yang seolah-olah melalui selembar ijazah itu bisa menggantikan kapasitas pengelolaan khazanah tradisi.

Sialnya, kondisi itu justru didukung birokrasi pendidikan yang mengandalkan ijazah tanpa memandang kapasitas pengelolaan khazanah tradisi yang dikandung oleh mereka yang datang dari keluarga tradisi, yang kini popular disebut kaum empu.

Advertisement

Sejak periode 1990-an, ketika sertifikasi untuk peningkatan jenjang melalui program S2 dan disusul S3 dalam kajian seni pertunjukan, misalnya, inilah titik kelam pendidikan seni pertunjukan.

Pada satu sisi lulusan S2 dan S3 terasa masuk ke dalam sejenis proses penghafalan dan pengutipan teori, yang bahkan jauh dari konteks kapasitas, pada sisi lainnya studi kajian itu sendiri tak melahirkan cara berpikir kritis.

Apa yang diungkapkan oleh Umar Kayam (almarhum) pada 1996 ada benarnya dan dengan jitu menyatakan bahwa program kajian S2 dan S3 hanya menghafal teori-teori tanpa tahu latar belakang kesejarahan teori itu.

Hal yang senada disampaikan mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Seno Gumira Adjidarma, bahwa studi kajian tak melahirkan pemikiran dalam konteks kritik.

Ironi dari semua masalah yang dihadapi justru terletak pada situasi dan kondisi birokratis kampus kesenian yang terasa begitu yakin dengan program tanpa mampu melihat, menilai, dan menimbang secara kritis kesejarahan antara lembaga pendidikan kesenian dengan keluarga tradisi.

Yang semula menjadi penjaga kehidupan tradisi melalui kapasitas, kini tersingkir oleh birokrasi yang dengan dingin menafikan makna dan kapasitas ketradisian yang tumbuh dari dan dalam kehidupan keluarga.

Advertisement

Tentu selalu ada apologi dari kaum birokrat kampus kesenian, bahwa mereka masih mengundang para empu. Menurut saya, hal itu hanya basa-basi ketika posisi kaum tradisi yang dilahirkan dan hidup dengan ketradisian hanya sekadar dijadikan pelengkap penderita dalam birokrasi.

Seperti juga apologi yang dikembangkan kalangan kampus, mereka menciptakan kaum “maestro” yang tak jelas kriterianya, seremonial untuk menutupi lubang hitam sejarah pendidikan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Januari 2024. Penulis adalah networker dan organizer kebudayaan)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif