Kolom
Selasa, 22 Agustus 2023 - 20:59 WIB

Belajar dari Polusi Udara Jakarta

Astrid Prihatini Wd  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini WD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pada  Sabtu (12/8/2023), saudara saya dari Jakarta tiba di Kota Solo. ”Di sini udaranya masih segar, enak ya!” komentar pertama setelah dia menghirup udara Kota Solo.

Kemudian dia bercerita tentang betapa buruknya kualitas udara di Jakarta. Saking buruknya kualitas udara di Jakarta, dia harus menempatkan purifier atau penjernih udara di dalam rumah.

Advertisement

Alat itu berfungsi untuk membersihkan udara. Saat kualitas udara buruk, lampu indikator di alat tersebut berwarna merah. Setelah udara dibersihkan, biasanya lampu indikator di alat tersebut berubah menjadi biru pertanda kualitas udara telah membaik.

“Namun, akhir-akhir ini, lampu indikatornya tetap merah, tidak berubah biru,” tutur dia. Bukan hanya itu. Anak-anak juga mengalami batuk dan pilek yang tidak sembuh-sembuh.

Dia khawatir gejalanya mengarah ke infeksi saluran pernapasan. Sebagai orang yang tidak menetap di Jakarta, saya hanya bisa manggut-manggut sekaligus turut prihatin mendengar cerita tersebut.

Advertisement

Secara kasat mata sebenarnya kualitas udara bisa dilihat dari udara saat kita naik pesawat terbang.  Bagi yang sering bepergian naik pesawat pasti bisa melihat bagaimana perbedaan udara di bandara asal dibandingkan dengan bandara tujuan.

Misalnya, saat berangkat dari Kota Solo, kita melihat pemandangan langit jernih dan biru. Tapi, begitu pesawat masuk ke wilayah udara Jakarta, kita melihat langit berkabut dan berwarna abu-abu.

Di mata saya sebagai orang awam,  transportasi umum Jakarta sudah mengalami banyak kemajuan dibandingkan era 2000-an saat saya masih bekerja di ibu kota negeri kita itu. Pada masa-masa itu belum ada angkutan umum ramah lingkungan.

Semua angkutan umum, metromini sampai bus kota, masih menggunakan bahan bakar solar. Saking parahnya pencemaran udara waktu itu, setiap kali saya mencuci baju yang habis saya pakai kerja, air cucian berubah warna menjadi hitam!

Advertisement

Sekarang di Jakarta ada Transjakarta dengan bahan bakar gas, ada mass rapid transit atau MRT, dan ada pula light rail transit atau LRT. Semua sarana transportasi massal itu ramah lingkungan.

”Iya, sarana transportasi massal memang sudah ramah lingkungan, tapi nyatanya juga tidak mengurangi polusi udara! Apakah mungkin karena populasi kendaraan pribadi juga bertambah? Jakarta sekarang macetnya gila-gilaan,” kata saudara saya.

Kemacetan bisa jadi salah satu indikasi adanya peningkatan populasi kendaraan pribadi. Ingatan saya melayang kembali ke masa-masa saat saya masih bekerja di Jakarta.

Pada masa itu, kemacetan Jakarta juga parah banget. Sebagai gambaran, perusahaan tempat saya bekerja waktu itu berlokasi di Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Sedangkan tempat tinggal saya di wilayah Duren Sawit, Jakarta Timur.

Advertisement

Saya harus berangkat pukul 05.00 WIB dari rumah agar bisa sampai kantor pukul 08.00 WIB. Saat berangkat, saya biasanya kena macet sekitar satu jam hingga 1,5 jam di daerah Kalimalang dan Cawang. Pulang kerja juga kena macet lagi.

Pukul 17.00 WIB keluar dari kantor, pukul 21.00 WIB baru sampai rumah. Luar biasa perjuangan kena macet di Jakarta! Saya enggak tahu separah apa kemacetan di jalur yang dulu saya lewati itu.

Kembali ke polusi udara di Jakarta, berdasarkan data indeks standar pencemaran udara (ISPU) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak 2018 hingga 2023 menunjukkan rata-rata kualitas udara di Jakarta tidak sehat, terutama pertengahan tahun.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan menunjukkan  penyumbang utama pencemar udara utama di Indonesia adalah sektor transportasi dengan porsi 44% persen, disusul sektor industri 31%.

Advertisement

Dugaan sektor transportasi memberi andil yang cukup besar terhadap kualitas udara Jakarta juga terkonfirmasi dari pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) sektor transportasi di Jakarta yang tumbuh paling tinggi, mencapai 18,1% pada kuartal II-2023.

Transformasi

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut besarnya emisi karbon yang dihasilkan kendaraan berbasis fosil sudah semestinya menjadi momentum transformasi menuju ekosistem transportasi yang bersih.

Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menyebut dalam lima tahun terakhir populasi mobil penumpang di Jakarta meningkat hingga 15,5% menjadi 4,13 juta kendaraan. Populasi sepeda motor meningkat hingga 27,8% menjadi 19,22 juta kendaraan.

Artinya, dengan rata-rata konsumsi bahan bakar minyak di Jakarta untuk motor 0,92 liter per hari dan mobil 3,9 liter per hari maka total konsumsi bahan bakar minyak di Jakarta bisa mencapai 17,8 juta liter per hari untuk seluruh populasi motor dan 16,2 juta liter per hari untuk seluruh populasi mobil.

Dengan jumlah emisi karbon satu liter bahan bakar minyak setara dengan 2,4 kilogram CO2e, Abra menyatakan estimasi total emisi yang dihasilkan dari total populasi sepeda motor dan mobil penumpang di Jakarta mencapai 81,17 juta kilogram CO2e.

Menurut data WHO, setiap tahun paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan tujuh juta kematian dini dan kehilangan waktu sehat hingga jutaan tahun. Polusi udara juga mengganggu pertumbuhan anak-anak, merusak fungsi paru-paru, menginfeksi saluran pernapasan, dan memperburuk penyakit asma mereka.

Advertisement

Pada orang dewasa, penyakit jantung iskemik dan stroke menjadi penyebab kematian dini terbanyak yang disebabkan polusi udara di luar ruangan. Penelitian juga membuktikan polusi udara menimbulkan efek lain seperti diabetes dan kondisi neurodegeneratif.

Hal tersebut menempatkan polusi udara setara dengan risiko kesehatan global utama lainnya seperti pola makan yang tidak sehat dan merokok.

Kita semua harus belajar dari polusi udara di Jakarta.

Pencegahan polusi udara harus dilakukan secara komprehensif oleh pemerintah dan rakyat. Pemerintah harus tegas membatasi populasi kendaraan pribadi, memperbanyak ruang terbuka hijau, memaksa warga beralih ke sarana transportasi umum, menyediakan sarana transportasi umum ramah lingkungan, dan tata kelola ruang yang jelas.

Kita sebagai anggota masyarakat bisa ikut andil dengan mengubah gaya hidup, yaitu kurangi naik kendaraan pribadi dan beralih ke sarana transportasi umum, menanam pohon sebanyak mungkin, menghindari membakar sampah, hingga berdisiplin menguji emisi kendaraan pribadi.

Mencegah lebih baik daripada mengatasi. Karena itulah, kota-kota lain yang belum mengalami polusi udara separah Jakarta harus segera melakukan sejumlah langkah pencegahan. Mari belajar dari Jepang.

Meski dikenal sebagai produsen otomotif terbesar di dunia, nyatanya penduduk Jepang lebih memilih transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi. Tak mengherankan langit di Tokyo terlihat biru jernih. Sungguh berbeda dengan langit Jakarta yang terlihat berkabut dan abu-abu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Agustus 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif