Kolom
Senin, 26 September 2011 - 18:04 WIB

Bom bunuh diri & kesadaran naif

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Benni Setiawan, penulis, tinggal di Sukoharjo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Belum hilang dari ingatan kita peristiwa bom buku di Jakarta dan bom bunuh diri di Masjid Al-Dzikra Kompleks Mapolresta Cirebon. Kini, masyarakat dihebohkan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah. Hingga artikel ini ditulis, setidaknya ada 11 korban luka dan satu korban meninggal dunia.
Advertisement

Peristiwa bom bunuh diri di gereja merupakan hal baru di Indonesia. Walaupun peristiwa serupa telah terjadi sejak 2002. Terlepas dari sentimen politik dan siapa yang mendalangi bom bunuh diri ini, tulisan ini hanya akan mengulas sedikit mengenai kaitan antara bunuh diri dan kesadaran naif ala Paulo Freire.

Freire mengklasifikasikan kesadaran dalam tiga hal. Pertama, kesadaran magis (magical conciousness) yaitu kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan yang lainnya, dalam hal ini melihat faktor di luar manusia. Kedua, kesadaran naif (naival consciousness) yaitu manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis (critical conciousness) yaitu sistem dan struktur sebagai sumber masalah.

Advertisement

Freire mengklasifikasikan kesadaran dalam tiga hal. Pertama, kesadaran magis (magical conciousness) yaitu kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan yang lainnya, dalam hal ini melihat faktor di luar manusia. Kedua, kesadaran naif (naival consciousness) yaitu manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis (critical conciousness) yaitu sistem dan struktur sebagai sumber masalah.

Berdasarkan hal tersebut, pelaku bom bunuh diri dapat diklasifikasikan dalam kesadaran naif. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kemandirian untuk bertindak dan bergerak. Mereka hanya digerakkan oleh pemimpin dengan pemahaman yang menyesatkan. Mereka tidak mempunyai kemandirian dan kemerdekaan. Kemandirian dan kemerdekaan hanya milik sang pemimpin. Hal ini karena otoritas menafsir teks dan pemahaman kitab suci hanya dimiliki oleh seorang pemimpin yang diangkat dan dipatuhi.

Padahal dalam terma M Kaled Abou El Fadl sebagaimana tercantum dalam buku Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman, mengritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat Islam yang merasa “paling benar” dalam menafsirkan teks suci Alquran dan hadis. Mereka, seharusnya mengatakan bahwa penafsiran mereka hanya salah satu dari tafsir atas kitab suci selain ribuan tafsir yang berbeda di tengah umat Islam.

Advertisement

Jika otoritas menafsir masih dikuasai oleh orang-orang tertentu, hal ini akan menggerakkan seseorang untuk berbuat brutal. Seseorang tidak lagi mampu berpikir dengan jernih. Yang ada hanyalah kepatuhan kepada sang pemimpin.
Maka tidak aneh, jika seseorang yang berada dalam kategori kesadaran naif adalah manusia perusak bumi dan tata makrokosmos bumi. Bumi rusak akibat perbuatan tangan manusia. Manusia yang tidak mandiri dan tidak memiliki kemerdekaan serta terkungkung dalam kesadaran naif.

Pendidikan kritis
Diperlukan usaha bersama guna menyadarkan atau mengangkat manusia ke taraf insani, meminjam istilah Driyarkara. Salah satunya dengan pendidikan kritis. Pendidikan kritis adalah usaha sadar dan terencana mendidik, mengolah dan meningkatkan potensi yang telah diberikan Tuhan kepada setiap manusia.

Pendidikan kritis adalah pendidikan orang dewasa yang penuh dengan cinta kasih atau welas asih. Manusia diajak untuk berpikir dan sadar bahwa ia adalah bagian dari makrokosmos bumi. Bumi perlu diselamatkan dari kerusakan dan kepunahan.
Pendidikan kritis juga mengajarkan sebuah kenyataan tidak harus menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka tugas manusia untuk mengubahnya, agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Kenyataan tersebut sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia sejati adalah pelaku (subjek), bukan objek atau penderita. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu sering disebut dengan tujuan humanisasi Freire.

Advertisement

Freire juga menyebutkan pendidikan seharusnya berorientasi kepada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya sebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didukung oleh Lodge yang menyatakan life is education, education is life (Benni Setiawan: 2006).

Fitrah manusia
Pada dasarnya manusia adalah manusia merdeka dan memiliki kemandirian. Guna mengakhiri periode atau rentetan tindak kejahatan kemanusiaan (genosida), lembaga pendidikan harus mampu melakukan penyadaran akan arti penting “pendidikan” sebagai sarana membebaskan manusia dari keterkungkungan dogma dan pemahaman sesat seorang pemimpin.

Perilaku mengakhiri hidup dengan jalan bom bunuh diri dengan alasan apa pun adalah tindakan biadab. Bom bunuh diri atau penyerangan tempat-tempat umum dengan bom mengancam jiwa orang lain dan kehidupan orang lain. Padahal hak untuk hidup adalah pokok hak asasi manusia (HAM).

Advertisement

Pada akhirnya, melakukan proses pendidikan dan pencerahan kepada setiap manusia agar tidak terkungkung dalam kubangan kesadaran naif adalah tugas atau misi kemanusiaan yang mulia. Memerdekakan manusia dan menyelamatkan bumi dari kerusakan adalah fitrah manusia sebagai makhluk yang dibekali dengan hati untuk merasakan dan otak untuk berpikir.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif