Kolom
Selasa, 2 April 2024 - 12:55 WIB

Bukan Memangku Kota

Tundjung W. Sutirto  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto

Solopos.com, SOLO — Hasil survei elektabilitas dan skenario pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 yang diberitakan Solopos edisi 27 Maret 2024 menempatkan dua sosok terkuat sebagai kandidat wali Kota Solo. Mereka adalah Wakil Wali Kota Solo Teguh Prakosa dan Pemimpin Praja Mangkunegaran K.G.P.A.A. Mangkunagoro X.

Mereka diberitakan sebagai dua tokoh terkuat serta memiliki elektabilitas tinggi. Hasil survei yang dirilis lembaga Solo Raya Polling tersebut menempatkan dua tokoh itu mendapat dukungan di atas 25% dari responden yang diambil dari daftar pemilih tetap (DPT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Advertisement

Hasil jajak pendapat lembaga Solo Raya Polling tersebut perlu dihargai sebagai salah satu metode mengukur elektabilitas siapa saja yang berpeluang besar tampil sebagai wali Kota Solo kelak. Teguh Prakosa maupun K.G.P.A.A Mangkunagoro X memang dikenal luas masyarakat.

Mereka memang sudah menjadi penguasa, yaitu penguasa eksekutif pemerintah daerah dan penguasa di entitas budaya Praja Mangkunegaran. Tidak ada yang salah ketika kita hanya melihat elektabilitas yang tinggi dari para tokoh- tokoh itu dalam dunia politik praktis kontemporer.

Dalam perspektif regulasi dan etika politik, siapa pun warga negara yang tidak kehilangan hak politik dapat dicalonkan dalam kontestasi pilkada Kota Solo.

Advertisement

Jika kita melihat dalam konteks yang lebih luas dan memahami dengan baik tentang visi keluhuran yang disandang Kota Solo sebagai The Spirit of Java, Kota Solo harus memiliki sosok yang jumeneng (bertakhta) mengayomi seluruh tata kehidupan yang terbebas dari segmentasi politik.

Posisi Susuhunan Paku Buwono XIII dan K.G.P.A.A. Mangkunagoro X adalah ”dwitunggal” sebagai pemangku kebudayaan yang harus tetap bertakhta di entitas budaya tanpa dikotori kepentingan politik praktis.

Warga Kota Solo harus berani mengambil pilihan sikap untuk tidak memilih tokoh yang telah menempati posisi tertinggi di tata pergaulan negara Indonesia, bahkan global, sebagaimana yang disandang oleh Susuhunan Paku Buwono XIII maupun K.G.P.A.A. Mangkunagoro X.

Saya berpandangan bahwa sosok penguasa tertinggi di dua entias bekas Praja Kejawen itu (Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran) adalah dua sosok yang telah mewujud sebagai roh jati diri Kota Solo dan Jawa yang derajat perwujudannya lebih tinggi daripada sekadar apabila kedua tokoh itu dijadikan sebagai wali kota.

Advertisement

Visi Solo The Spirit of Java memerlukan sosok yang berkuasa secara budaya yang kehadirannya dijunjung dan disanjung oleh semua masyarakat tanpa segmentasi politik praktis.

Susuhunan Paku Buwono XIII dan K.G.P.A.A. Mangkunagoro X harus diposisikan berada di mana-mana dan tidak ke mana-mana. Dua sosok itu adalah primus inter pares (satu di antara yang lain) sementara kalau wali kota banyak yang lain.

Secara tersurat dan tersirat, Mangkunagoro adalah nama jabatan yang luhur dan agung yang menjadi kutub bagi wilayah teritorial dan sekaligus wilayah budaya. Jabatan Mangkunagoro mengandung sisi lahiriah dan batiniah sehingga untuk memakai gelar itu harus terpilih secara genetik.

Tidak ada orang yang bukan darah dalem yang dapat menggunakan gelar Mangkunagoro. Ketika akan menyandang gelar Mangkunagoro ia harus bersumpah bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga bersumpah kepada para leluhur.

Advertisement

Ia mengemban tugas besar karena secara simbolik Mangkunagoro artinya harus mampu ”memangku negara”. Mangkunagoro bukanlah mangkukutha (memangku kota). Akan lebih mulia jika Mangkunagoro X tetap sebagai sosok yang denotatif memang memangku negara dan bukan menurun menjadi memangku kota.

Nama besar yang sinandi (tersembunyi) dalam asma (nama) tersebut tentu mengandung batas wilayah yang sangat luas yaitu batas budaya yang luasnya melampaui batas wilayah administrasi Kota Solo yang hanya terdiri dari lima kecamatan saja.

Sejauh ada dukungan masyarakat yang berorientasi pada Keraton Surakarta dan Praja Mangkunegaran itu berarti sejauh itu pula batas budayanya. Ambil contoh, di Malaysia ada komunitas yang menjadi kerabat atau keluarga besar Keraton Surakarta dan/atau Pura Mangkunegaran.

Artinya di Malaysia ada masyarakat yang mendukung Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Jadi, dapat dikatakan bahwa batas wilayah budaya yang menjadi ”tanggung jawab” Mangkunagoro X itu adalah masyarakat dunia atau global.

Advertisement

Dengan pemahaman tanggung jawab budaya yang harus diemban oleh Mangkunagoro X tersebut maka warga Kota Solo harus sadar sesadar-sadarnya untuk terus menjaga nama Mangkunagoro X tetap menjadi pengasuh bagi semua elemen masyarakat, termasuk elemen organisasi politik.

Kita tentu khawatir menarik-narik Mangkunagoro X ke arena pilkada jangan-jangan hanya untuk kepentingan partai politik saja. Lagi pula siapa yang menjamin Mangkunagoro X pasti akan terpilih jika dicalonkan dalam pilkada Kota Solo?

Berbeda dengan di Yogyakarta karena keistimewaannya. Seorang Adipati Paku Alam otomatis menjadi wakil gubernur. Itu tidak berlaku di Kota Solo, tidak otomatis bagi seorang Adipati Mangkunagoro di Kota Solo menjadi wali kota.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa untuk menunjang kelancaran pelaksanaan pemerintahan umum maka di setiap daerah dibentuk forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda).

Terkait forkopimda di Kota Solo, tentu akan lebih baik dan bijak jika untuk mengemban visi keluhuran Kota Solo menuju cita-cita bersama perlu dibentuk forkopimda plus. Susuhunan Paku Buwono XIII dan K.G.P.A.A. Mangkunagoro X sudah seharusnya menjadi unsur forkopimda plus tersebut.

Setiap hal yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan umum di Kota Solo secara langsung maupun tidak langsung akan menemukan sinergi dengan keikutsertaan Susuhunan Paku Buwono XIII dan K.G.P.A.A Mangkunagoro X dalam forkopimda plus.

Advertisement

Sebagaimana dahulu pada era Orde Baru ada musyawarah pimpinan daerah (muspida) yang mengakomodasi Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran dalam setiap koordinasi pemerintahan di Kota Solo.

Tanpa harus menjadi wali kota, K.G.P.A.A. Mangkunegoro X melalui forkopimda plus dapat ikut memikirkan dan mengarahkan jalannya pemerintahan di Kota Solo. Pasti K.G.P.A.A. Mangkunagoro X apabila ada dalam forkopimda plus itu akan merepresentasikan nilai yang diwarisi dari leluhurnya.

Terutama adalah tentang ajaran Tri Dharma yaitu rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani dalam membangun Kota Solo ke depan tanpa harus jadi wali kota.

Jangan menjadikan K.G.P.A.A. Mangkunagoro X malah tidak kajen (terhormat) ketika dipaksa menjadi wali kota. Jabatan politik wali kota itu adalah jabatan yang dipekerjakan, apalagi kalau sampai ada idiom “petugas partai”.

Apakah itu tidak malah mengurangi kewibawaan seorang adipati penguasa Pura Mangkunegaran yang esensinya bertugas memangku negara dan bukan (sekadar) memangku kota?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 April 2024. Penulis adalah dosen di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif