Kolom
Senin, 25 September 2023 - 20:30 WIB

Bukan Salah Kamar

Ahmad Baihaqi  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Baihaqi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Seorang  calon anggota DPRD Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, menjadi perbincangan beberapa waktu lalu. Penyebabnya adalah calon anggota legislatif bernama Tri Wahyudi itu mempromosikan dirinya di aplikasi kencan Bumble.

Banyak yang menyebut Wahyudi kreatif karena melakukan hal yang berbeda dibandingkan dengan calon-calon wakil rakyat lainnya yang memilih media sosial ”standar” seperti Instagram dan Twitter.

Advertisement

Ada pula yang menyebut Wahyudi “salah kamar” karena Bumble adalah aplikasi kencan dan tidak cocok untuk berkampanye politik. Bumble adalah aplikasi yang digunakan pengguna untuk mencari teman kencan.

Tak banyak orang mengungkapkan gagasan di aplikasi ini. Platform media sosial lainnya memiliki ruang bagi pengguna untuk menyampaikan gagasan sehingga lebih cocok untuk mempromosikan diri atau berkampanye.

Advertisement

Tak banyak orang mengungkapkan gagasan di aplikasi ini. Platform media sosial lainnya memiliki ruang bagi pengguna untuk menyampaikan gagasan sehingga lebih cocok untuk mempromosikan diri atau berkampanye.

Meski masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dimulai pada 28 November 2023, sejumlah calon wakil rakyat dan calon presiden telah intensif mempromosikan dan memperkenalkan diri.

Salah seorang di antara mereka adalah Wahyudi yang memilih cara tak biasa dengan memanfaatkan aplikasi Bumble. Dalam konteks promosi, yang dilakukan Wahyudi tentu bukanlah hal yang salah.

Advertisement

Media sosial memang paltform yang digemari dalam berkampanye. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia terus tumbuh. Menurut data We Are Social, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 167 juta orang pada Januari 2023 atau setara dengan 60,4% dari populasi penduduk Indonesia.

Media sosial memungkinkan konten-konten promosi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam kontestasi pemilu tersalurkan dengan luas. Media sosial juga memungkinkan para kandidat pemimpin dan kandidat wakil rakyat menyampaikan pesan mereka secara lebih efektif.

Mereka dapat membuat konten politik yang ditargetkan kepada kelompok pemilih tertentu berdasarkan data demografis, minat, dan perilaku di media online. Konten yang menarik dapat dengan mudah menjadi viral di media sosial.

Advertisement

Konten yang menarik bisa diakses jutaan orang dalam hitungan jam, seperti yang dialami Wahyudi. Ini tentu menjadi kampanye dengan biaya yang relatif rendah, namun mendapat tanggapan yang luas.

Sayangnya, aturan mengenai kampanye pemilu di media sosial di Indonesia belum komprehensif. Sejauh ini hanya aturan mengenai jumlah akun media sosial peserta pemilu yang diatur.

Pada Pemilu 2019, jumlah akun media sosial maksimal 10 buah untuk setiap jenis aplikasi. Kini, pada Pemilu 2024, ditambah menjadi maksimal 20 akun untuk setiap jenis aplikasi.

Advertisement

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan kampanye politik di media sosial yang lebih komprehensif.

Media sosial bisa menjadi alat untuk kampanye hitam. Kita sering menemukan narasi-narasi yang menjatuhkan lawan politik di media sosial. Ini tentu bisa menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat.

Penetapan aturan jumlah akun resmi media sosial untuk kampanye belum cukup, apalagi pihak-pihak yang berkepentingan bisa saja membayar buzzer untuk mendukung kampanye politik mereka.

Belum lagi potensi penyebaran informasi palsu atau hoaks. Media sosial sering menjadi sarana yang mudah bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita palsu yang dapat memengaruhi opini publik.

Pemilih harus berhati-hati dalam memverifikasi informasi sebelum memercayai dan menghindari penyebarluasan informasi palsu. Keresahan-keresahan publik terhadap narasi negatif di media sosial seharusnya ditangkap oleh KPU untuk membuat aturan yang lebih ketat dan tegas.

KPU perlu menegaskan kepada partai politik atau kontestan pemilu untuk tidak menyebarkan disinformasi, hasutan kebencian, serta tidak memanipulasi opini publik sebagai strategi kampanye di media sosial.

Publik harus memiliki sikap kritis, melihat dari berbagai sudut pandang, dan mencari sumber informasi yang tepat selama periode kampanye politik di media sosial.

Dengan berhati-hati dan bijaksana, pemilih dapat memanfaatkan potensi positif media sosial sambil menghindari jebakan dan risiko penggunaan media sosial dalam konteks politik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 September 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif