SOLOPOS.COM - Gamaliel Septian Airlanda, Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Kristen Satya Wacana. (Istimewa)

?Sudah menjadi isu global bahwa dunia pendidikan kini berada pada ambang dilema besar. Kehadiran artificial intelligence (AI) mulai merubah mindset pendidikan hingga diprediksi mampu menggeser eksistensi guru.

Sebuah penelitian di Hongkong berjudul: “The AI Revolution in Education: Will AI Replace or Assist Teachers in Higher Education?” menemukan 8 indikator AI yang berpeluang menggantikan guru, meliputi: kemampuan mengajar, kemampuan interpretasi, pengembangan berpikir, kemampuan etik melalui kedisiplinan, dukungan personal, pembelajaran dalam komunitas, bimbingan karier, kemampuan fisik dan seni. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa satu hal yang tidak mampu digantikan dari seorang guru adalah komunikasi.

Hal ini berkaitan dengan pemahaman seorang manusia terhadap kebutuhan personal siswa disertai dengan solusi spesifik yang siswa perlukan (Sumber Chan & Tsi, 2023). Jadi sudah begitu gamblang jika kemampuan guru masa depan perlu diperkuat di bidang komunikasi personal.

Saat ini calon guru masa depan masih menjalankan proses pendidikan di kampus dengan kerja keras disertai dengan kelihaian untuk melakukan adaptasi terhadap proses perubahan global. Tahun 2023 meledak sebuah kasus tentang perdagangan online di salah satu platform media sosial TikTok.

Platform media ini telah lama digrandrungi oleh anak muda yang juga merupakan calon guru. Pada Agustus 2022,
menjelaskan bahwa Indonesia merupakan pengguna TikTok terbesar kedua di dunia.

Data ini masih relevan hingga April 2023, sebanyak 113 juta pengguna menempatkan Indonesia sebagai pengguna TikTok terbanyak kedua setelah Amerika. Dengan banyaknya pengguna aplikasi ini di Indonesia, tentu dapat diprediksi dampaknya bagi pola pikir perkembangan masyarakat. Setiap aplikasi media sosial membawa efek pendidikan perilaku yang signifikan. TikTok dengan fitur-fiturnya telah mampu menghadirkan sebuah tren For You Page (FYP).

Tren ini adalah cara media sosial melakukan treatment pada penggunanya untuk mendapatkan akses tayangan-tayangan yang disukai secara otomatis berdasarkan tingkat keseringan membuka sebuah genre video atau foto. Melalui FYP inilah TikTok mampu menghasilkan “pelet cinta” bagi penggunanya. Tingginya engagement pengguna akan menggiring seseorang pada pola perilaku komunikasi personal di dunia maya. Proses inilah yang didefinisikan sebagai pendidikan berbasis fenomena di masyarakat.

Pendidikan berbasis masyarakat adalah pendekatan untuk peningkatan kualitas diri dan kesejahteraan manusia melalui fenomena sosial yang berlangsung pada komunitas tertentu. Pola pendekatan ini akan terus mengkaji kondisi perubahan di lapangan kemudian dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran.

Jika melihat fenomena TikTok, penggunanya diberi sebuah kebebasan dalam pengisian identitas untuk membuat akun. Pengguna dapat melakukan create user name and password (membuat nama pengguna beserta kata sandi) secara mandiri tanpa batas.

Berdasarkan data pada TikTok Awards, sebagian besar pemenang yang tentunya memiliki jumlah pengikut sangat besar di dunia maya, menggunakan nama samaran atau alias. Banyak pengguna media sosial ini kemudian bersembunyi dalam identitas maya yang jauh berbeda dengan identitas di dunia nyata. Pengingkaran diri terhadap keaslian identitas dipengaruhi oleh berbagai faktor bahkan salah satu dalihnya adalah keamanan.

Keterbukaan Informasi

Bertolak belakang dengan hal tersebut, konsep pendidikan berbasis masyarakat memerlukan keterbukaan informasi terhadap sebuah identitas. Melalui keterbukaan identitas akan nampak karakter yang sesungguhnya. Fenomena ini menjadi dasar munculnya karakter yang sangat berbeda antara dunia maya dan nyata.

?Membahas masalah karakter, Kurikulum Merdeka di sekolah dunia nyata (khususnya Indonesia) terus menggalakkan Profil Pelajar Pancasila yang terdiri dari: keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan kebhinekaan global. Jika seorang siswa memiliki dua identitas di dunia maya dan nyata, maka bagaimana bisa pendidikan karakter masuk dan diimplementasikan secara utuh? Sebagai contoh, banyak akun TikTok menggunakan nama alias semakin berani melakukan virtual bullying dengan sangat kasar.

Namun, ketika diselidiki polisi dan ditangkap justru muncul sosok dengan karakter pemalu, pendiam dan jarang bersosialisasi di dunia nyata. Kasus seperti ini telah banyak muncul hingga dijadikan dasar kasus pidana. Semakin banyak masyarakat melihat kejadian semacam ini, justru semakin banyak yang meniru. Kondisi ini diperparah ketika permohonan maaf secara lisan dianggap cukup untuk menyelesaikan perbuatan yang tidak baik.

Sebuah penelitian pada Jurnal Bimbingan dan Konseling yang berjudul Cyberbullying pada Aplikasi Media Sosial Tiktok menjelaskan bahwa sebesar 35 juta akun di Indonesia memiliki kriteria data palsu yang berpeluang untuk melakukan tiga komponen cyberbullying, yaitu: Flaming (konflik dunia maya), harassment (gangguan dunia maya), dan denigration (pemalsuan data yang bisa mencemarkan citra baik).

Penelitian ini menyimpulkan bahwa cyberbullying menjadi gejolak psikis terhadap aktualisasi diri yang semu atau palsu akibat tekanan, depresi ataupun ketidaksesuaian hidup yang dirasakan dengan angan-angannya (Sumber Devasari, Diniati, & Istiqomah, 2022). Sudah nampak jelas bahwa terjadi kebuntuan komunikasi pada diri seseorang yang akhirnya diekspresikan melalui dunia maya.

Menurut teori komunikasi yang ditulis oleh Universitas Esa Unggul, seseorang yang memiliki konsistensi dalam gaya komunikasi tentunya tidak akan mengacaukan keseimbangan informasi (Sumber bahan ajar teori komunikasi Universitas Esa Unggul). Jika sengaja inkonsisten di salah satu kondisi, maka dapat dipastikan kondisi lainnya adalah sebuah manipulasi. Ketidaksinkronan ini menjadi catatan bagi dilema pendidikan Indonesia.

Pentingnya catatan ini karena Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah salah satu bagian pemerintah di dunia yang memfokuskan perkembangan pendidikan pada karakter sosial. Negara lain belum tentu memandang hal tersebut sebagai suatu fokus pendidikan. Secara gamblang American Academy di Singapura menyatakan bahwa fokus pendidikan ada pada bagian akademik yang diseimbangkan dengan kesenian, musik, dan olahraga untuk mengembangkan keterampilan individu setiap siswa. Prinsip yang sangat berbeda dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia dan seluruh perangkat pengembangannya.

Calon guru yang saat ini sedang mengenyam pendidikan tinggi dihadapkan dengan pilihan sulit. Mereka tentunya tertarik untuk menikmati fitur-fitur yang tersedia di TikTok termasuk dengan pemalsuan identitas dunia maya. Perilaku yang mereka tunjukkan di antara dunia nyata dan maya juga kemudian dipertanyakan kesesuaiannya. Apakah hal ini mencerminkan profesionalitas seorang guru? Memang tidak semua akun di TikTok merupakan pemalsuan identitas dan pengingkaran diri.

Terdapat akun edukasi yang juga dikelola dengan baik. Namun, akun seperti ini sangatlah sedikit dibandingkan dengan 113 juta pengguna di Indonesia. Kini pilihan ada di tangan calon guru yang punya pesaing kuat yaitu AI. Identitas diri sebagai gerbang aktualisasi komunikasi dunia nyata dan maya perlu dikelola dengan baik. Seluruh perilaku di dunia nyata dan maya bukanlah hal yang terpisahkan melainkan harus saling melengkapi. Majunya dunia pendidikan akan dipengaruhi oleh kekuatan guru masa depan yang mampu bersinergi dengan dua dunia.

Artikel ini ditulis oleh: Gamaliel Septian Airlanda, Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Kristen Satya Wacana

Rekomendasi
Berita Lainnya