Kolom
Sabtu, 4 November 2023 - 20:30 WIB

Diplomasi Kuliner

Shoqib Angriawan  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Shoqib Angriawan (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sudah menjadi hal yang lumrah jika menjelang pemilu suhu politik nasional selalu memanas. Saling beradu argumen, menyindir, hingga melobi antartokoh politik jamak terjadi. Di tingkat akar rumput, ketegangan mulai bermunculan, antarpendukung tokoh politik yang satu dengan lainnya.

Ancaman persebaran hoaks dari buzzer politik semakin meluas menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024. Informasi-informasi hoaks digoreng kembali untuk memicu gesekan antarpendukung. Pada Senin, 30 Oktober 2023, Presiden Joko Widodo menjamu tiga calon presiden dalam sebuah acara makan siang.

Advertisement

Tiga calon presiden kontestan Pemilu 2024, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, makan siang bersama Presiden Joko Widodo. Dalam dunia politik pertemuan bisa ditafsirkan banyak arti, apalagi sambil makan siang. Bertemu sambil makan siang memang multitafsir.

Ada sebuah kutipan ”tidak ada makan siang yang gratis”. Kutipan itu mungkin masuk akal karena pertemuan antartokoh politik biasanya memiliki makna, tersirat maupun tersurat. Di balik semua itu, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan tiga calon presiden di satu meja diyakini mampu menurunkan suhu panas politik menjelang Pemilu 2024.

Advertisement

Ada sebuah kutipan ”tidak ada makan siang yang gratis”. Kutipan itu mungkin masuk akal karena pertemuan antartokoh politik biasanya memiliki makna, tersirat maupun tersurat. Di balik semua itu, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan tiga calon presiden di satu meja diyakini mampu menurunkan suhu panas politik menjelang Pemilu 2024.

Sebagai figur publik, aktivitas mereka yang penuh dengan keakraban tentu memengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat. Tidak ada sekat antarcalon presiden dalam acara santap siang tersebut. Sambil berbincang, kadang-kadang diselingi gurauan, mereka menyantap aneka hidangan yang tersaji di meja.

Agenda makan siang Presiden Joko Widodo bersama tiga calon presiden itu mengingatkan saya tentang kuliner sebagai mesin diplomasi. Diplomasi kuliner dimulai saat sesi makan bersama. Makanan dan masakan menjadi instrumen untuk meningkatkan interaksi dan kerja sama.

Advertisement

Saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo, ia menerapkan strategi serupa untuk merelokasi 900-an pedagang kaki lima di kawasan Monumen ’45 Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo, Semanggi, Pasar Kliwon, Kota Solo pada 2006.

Pendekatan membutuhkan proses dialog yang panjang, hingga 54 kali pertemuan selama kurang lebih tujuh bulan, sebelum para pedagang barang bekas bersedia direlokasi. Relokasi berjalan tanpa penolakan. Para pedagang dan pejabat pemerintah merayakan relokasi itu melalui kirab.

Pedagang mengenakan pakaian adat ala Solo sambil nyunggi tumpeng sebagai simbol kemakmuran. Dalam diplomasi kuliner, makanan yang dihidangkan umumnya merupakan menu khas daerah. Menu yang disuguhkan di meja makan telah melalui pertimbangan yang matang. Tak sekadar mengenalkan rasa, namun menyuguhkan kisah, tradisi, dan budaya.

Advertisement

Dalam buku Belajar dari Makanan Tradisional Jawa karya Dawud Achroni dijelaskan tentang beberapa jenis makanan yang memiliki makna sangat mendalam. Makanan-makanan tersebut menjadi simbol untuk menyampaikan nasihat-nasihat bijak.

Nasi tumpeng, misalnya, merupakan singkatan dari metu dalan kang lempeng, yang berarti hidup melalui jalan yang lurus. Nasi tumpeng merupakan makanan yang menyatu dalam kebudayaan masyarakat Indonesia.

Tumpeng umumnya disajikan saat ada upacara adat, seperti pernikahan, kelahiran, ulang tahun, peresmian rumah atau kantor, hingga merayakan keberhasilan. Sebagian orang mungkin menganggap nasi tumpeng dalam suatu acara sebagai takhayul. Nasi tumpeng memiliki makna dan pesan yang mendalam.

Advertisement

Nasi yang berbentuk kerucut melambangkan harapan agar kehidupan seseorang atau masyarakat selalu meningkat dari waktu ke waktu. Makna bentuk kerucut juga melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. Lauk-pauk dan sayuran yang disajikan bersama tumpeng melambangkan seluruh isi alam semesta.

Contoh makanan yang lain adalah lontong. Makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus dengan daun pisang ini menjadi bagian dari banyak hidangan, misalnya lontong opor, gado-gado, rujak cingur, satai ayam, dan soto. Lontong dikenal sebagai singkatan alane dadi kothong, artinya kejelekan sudah tidak ada lagi atau hilang.

Menu lontong erat kaitannya dengan perayaan Idulfitri, ketika kaum muslim di Indonesia saling bermaafan agar kembali suci atau kembali ke fitrah setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Sebagai makanan yang lunak, lontong juga melambangkan hati yang tidak keras akan mudah menerima nasihat orang lain.

Orang yang hatinya lunak juga mudah menolong orang lain. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari makanan-makanan khas Jawa, baik penamaan, bentuk, bahan, cara pembuatan, hingga penggunaannya. Jika diresapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, nasihat kebaikan di balik makanan tradisional Jawa bisa menjadikan hidup lebih baik.

Pada era modern kuliner tidak hanya mengenyangkan perut. Kuliner kini menjelma menjadi salah satu kekuatan industri pariwisata di daerah. Dengan berbasis kearifan lokal, kuliner kini menjadi salah satu daya tarik wisatawan di daerah.

Kuliner kini menjadi bagian dari tujuan wisatawan yang tidak bisa diabaikan karena kuliner menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia. Kuliner bisa menjadi daya tarik khusus ketika seseorang memutuskan mengunjungi daerah wisata. Makanan tradisional merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus kita jaga dan lestarikan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 November 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif