Kolom
Senin, 31 Oktober 2022 - 21:19 WIB

Dukun dan Masyarakat Kita

Mariyana Ricky P.d.  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mariyana Ricky PD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Fenomena percaya pada kemampuan dukun telah mengiringi masyarakat Indonesia dalam setiap sendi kehidupan. Clifford Geertz dalam Agama Jawa: Agama, Santri, Priyayi dalam Kehidupan Jawa menyebut dukun telah menjadi aset bagi kehidupan masyarakat adat di Indonesia.

Mereka dipercaya memiliki kemampuan menolong,  mengobati, dan memberi bantuan dengan cara memberi jampi atau ramuan tertentu, bahkan dengan sedikit mantra yang diucapkan ketika proses menyembuhkan pasien.

Advertisement

Geertz membagi kerja dukun sesuai spesialisasi tertentu, antara lain, dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak (orang yang memiliki ilmu untuk mengkhitan), dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun jampi, dukun siwer, dan dukun tiban.

Geertz sedari awal menegaskan bahwa dukun merupakan fenomena besar di komunitas abangan, sedang komunitas santri dan priayi juga menggunakan idiom dukun meskipun dalam porsi yang tidak sebesar komunitas abangan.

Advertisement

Geertz sedari awal menegaskan bahwa dukun merupakan fenomena besar di komunitas abangan, sedang komunitas santri dan priayi juga menggunakan idiom dukun meskipun dalam porsi yang tidak sebesar komunitas abangan.

Di bagian inilah yang akhirnya memunculkan pandangan yang terus mengakar di masyarakat kita, bahwa penamaan dukun menjadi sangat kental dengan yang dimaksud dengan istilah restu dan mengobati penyakit yang berunsur mistis.

Nilai kemistisan yang ditampilkan dapat dengan mudah merujuk pada komunitas santri (kiai) yang memiliki kekuatan supranatural dengan bersumber Al-Qur’an dan komunitas abangan (dukun) yang juga memiliki kekuatan supranatural, sehingga muncul kerancuan dalam pola pikir masyarakat kita, siapa harus menyebut siapa.

Advertisement

Jampi menjadi mantra penenang yang sangat dipercaya. Demikian kesimpulan Geertz. Saya memiliki seorang teman yang usianya sudah mendekati 60-an tahun. Sepanjang hidupnya, setiap kali hendak melakukan sesuatu, selalu bertanya mengenai tindakannya itu kepada dukun.

Suatu kali, anaknya hendak ikut ujian penerimaan calon pegawia negeri sipil atau CPNS. Ia bertandang ke rumah dukun itu untuk meminta uba rampe. Sebotol kecil minyak dan selembar kertas berisi doa bertuliskan Arab pegon menjadi bekal dari sang dukun untuk anaknya itu.

Benda-benda tersebut memang tak dibawa saat anaknya masuk ke ruangan ujian. Minyak itu diusapkan ke beberapa bagian badan, sedangkan doanya dirapalkan sebelum dan sesudah mengikuti ujian. Harapannya, kedua benda itu bisa membawa sang anak lulus menjadi CPNS.

Advertisement

Seperti yang bisa diduga, sang anak tak berhasil. Meski nilainya bagus, saingan yang banyak membuatnya terlempar dari kursi kandidat. Apabila anak itu berhasil lolos ujian, bisa dipastikan kepercayaan teman saya itu makin menjadi-jadi kepada dukun.

Era Pengobatan Modern

Peneliti dari Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Irfan Ardani, dalam artikel berjudul Eksistensi Dukun dalam Era Dokter Spesialis (2013), menyebut dukun pengobat dan praktik pengobatan tradisional tetap eksis di tengah pengobatan modern.

Eksistensi mereka masih diakui oleh masyarakat sebagai penggunanya. Contoh eksistensi dukun dalam era pengobatan modern di Indonesia dapat dilihat dari Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 yang menunjukkan persentase yang tinggi dalam pemanfaatan dukun untuk menolong persalinan.

Advertisement

Lima provinsi dengan tingkat pemanfaatan tenaga dukun persalinan tertinggi di Indonesia adalah Maluku Utara yang menduduki posisi pertama, sebanyak 56,7% persalinan anak pertama dan 55,1% persalinan anak terakhir ditolong oleh dukun.

Dari riset tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dukun dalam menolong persalinan masih tinggi, terutama di daerah pedesaan. Hal ini juga menunjukkan keberadaan dukun dan fungsinya sebagai pengobat masih melekat dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Pengobatan tradisional oleh dukun merupakan tahapan-tahapan subjektif yang tidak dapat diukur. Proses tidak memiliki variabel yang jelas. Dengan demikian ahli kesehatan lain tidak dapat mengukur kebenaran maupun kesalahan metode yang digunakan.

Dukun pengobat memiliki wewenang karismatik, yaitu kemampuan atau wibawa yang khusus terdapat di dalam dirinya. Wibawa ini dimiliki tanpa dipelajari, tetapi ada dengan sendirinya. Sifat khas inilah yang menjadi modal sosial yang menarik keercayaan masyarakat untuk menggunakannya.

Eksistensi terkait erat dengan kesadaran manusia bahwa dalam hidup di dunia ini manusia terhubung dengan manusia lain, manusia saling tergantung dengan manusia lain. Eksistensi metode pengobatan tradisional dan eksistensi dukun sangat ditentukan oleh masyarakat sebagai penggunanya.

Dukun dan pengibatan tradisional ada ketika masyarakat masih memercayai dan menggunakannya. Dukun yang dominan bersifat irasional masih eksis di tengah masyarakat modern dengan pola pikir rasional.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Oktober 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif