Kolom
Sabtu, 27 April 2013 - 09:31 WIB

GAGASAN : Citra Tubuh dan Politik Usia

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ridha al Qadri, Alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Dosen luar biasa di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

 

Ridha al Qadri, Alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Dosen luar biasa di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

Advertisement

Maraknya proram anti-aging (antipenuaan) akhir-akhir ini, dari kosmetik hingga klinik, menggambarkan meningkatnya kesadaran dan perilaku masyarakat kelas atas dan setengah baya di Indonesia dalam memperlambat penuaan tubuh. Banyak yang mengartikan fenomena tersebut sebagai upaya pencitraan diri kalangan tertentu agar tampak cantik dan memesona.

Apakah gejala ini hanyalah upaya kalangan setengah baya (middle age) untuk memperindah dan meremajakan tubuh? Ataukah bisa ditafsirkan lebih dari pencitraan diri agar tampak muda kembali melainkan sebuah persiapan agar tubuh tidak keluar dari kehidupan sosial ketika masuk usia pensiun?

Advertisement

Apakah gejala ini hanyalah upaya kalangan setengah baya (middle age) untuk memperindah dan meremajakan tubuh? Ataukah bisa ditafsirkan lebih dari pencitraan diri agar tampak muda kembali melainkan sebuah persiapan agar tubuh tidak keluar dari kehidupan sosial ketika masuk usia pensiun?

Sebuah upaya antipenuaan bagi kalangan setengah umur adalah persiapan sebelum masa pensiun. Caranya dengan mengembalikan fungsi tubuh, yakni menunda usia fisik yang mudah rusak, seperti menghilangkan kerutan kulit, mengencangkan otot, menguatkan tulang, hingga kesehatan otak. Di antara praktiknya dilakukan melalui terapi, suntik hormon, meditasi, yoga, diet, vegetarian, suplemen vitamin dan injeksi.

Selain mengembalikan fungsi fisik, citra penampilan menjadi hal yang paling populer dalam proyek antipenuaan, seperti kebutuhan para artis, politisi dan publik figur. Sebagai ilustrasi, Mike Featherstone dan Mike Hepworth, dalam artikel Images of Positive Aging (1995), memaparkan perubahan gambaran negatif tentang ”hari tua” menjadi citra produktif di Inggris pada 1970-an, terutama sejak munculnya majalah Retirement Choice yang mewacanakan usia pensiun menjadi lebih positif di kalangan artis, kelas atas hingga politisi.

Advertisement

Untuk menunjang persiapan prapensiun, seperti mengembalikan fungsi tubuh, citra penampilan dan agar tetap aktif dan produktif, usia fisik tubuh mesti direkonstruksi. Sedangkan usia kronologis dapat disamarkan. Maka, sifat historis tubuh menjadi rumit. Tubuh pun menjadi tanpa sejarah ketika ciri-ciri penuaan tubuh diperlambat. Tubuh kemudian diposisikan melampaui kategori pengalaman sosio-temporer.

 

Identitas

Advertisement

Lalu apakah implikasi dari masyarakat antipenuaan yang tak sekadar untuk mengubah penampilan, tapi juga agar bisa tetap aktif dan produktif di masa tua, melampaui kategori sosialnya (pensiun)? Persoalannya di masyarakat, hingga sekarang ini, orang lanjut usia dianggap tak lagi menguntungkan, baik dari segi ekonomis dan fungsional.

Orang tua membawa persoalan-persoalan sosial, seperti sakit, kejiwaan, perawatan dan tunjangan makan. Tak mengherankan bila kalangan usia menengah mulai menyiapkan berbagai cara untuk mengurangi risiko-risiko negatif, khususnya kesehatan, di masa pensiun nanti. Masalahnya memang bukan soal kesehatan tubuh. Kesehatan hal yang penting. Masalahnya pada perlakuan ekonomis yang menempatkan tubuh manusia ibarat barang dagangan.

Mirip modal dan investasi, tubuh dipelihara melalui berbagai cara untuk memperpanjang usia ekonomis dan fungsionalnya. Bukankah sebaliknya justru banyak pepatah mengatakan, jika orang makin tua berarti kebutuhan ketenangan jiwa lebih besar? Produktivitas tubuh di masa tua mungkin justru menambah tekanan psikis. Secara kontradiktif, bisakah meremajakan jiwa?

Advertisement

Masalah lainnya, definisi pensiun pun akan bergeser seiring produktivitas orang tua terus berlanjut hampir seperti di waktu muda. Ranah-ranah sosial, seperti konsumsi dan pekerjaan, sangat sulit menyisihkan orang tua dari area publik, mengingat masyarakat kelas atas dan setengah baya sudah bersiap-siap menghadapi pertarungan profesi, politik dan ekonomi hingga mereka tua.

Hal yang juga perlu diantisipasi adalah makin meningkatnya konflik antargenerasi, baik di wilayah keluarga maupun publik. Di sebuah keluarga, misalnya, sudah lazim dipahami konflik lintas usia, khususnya menantu dan mertua dalam mengelola rumah tangga. Orang tua sebagai simbol tertinggi dalam kuasa keluarga, yang merasa masih kuat secara fisik dan pikiran, kadang menyulitkan generasi penerusnya dalam mengartikulasikan kebutuhan dan operasionalisasi rumah tangga.

Kesehatan hal yang penting dan wajar. Tapi, politik usia dijalankan ketika faktor kesehatan hanyalah unsur lain dari aspek kepentingan akumulasi kuasa, baik kuasa kultural (artis), kuasa sosial (politisi), kuasa simbolik (keluarga). Melalui antipenuaan, tubuh usia menengah (mid-life) yang menuju usia tua (old age) justru disiapkan untuk mengakumulasi modal-modal politik.

Inilah sebuah perilaku politik identitas yang memanfaatkan usia sebagai posisi-posisi distingtif dan mengaburkan dengan usia yang lebih muda. Ada baiknya kita mengingat syair lagu Elpamaz berjudul Pak Tua. Konon lagu ini sejenis sindiran bagi Presiden ke-2 Republik Indonesia. Pak Tua istirahatlah, di luar banyak angin… / Pak Tua sudahlah, engkau sudah terlihat lelah… / Pak Tua sudahlah, kami mampu untuk bekerja. (ridhaalqadri@gmail.com)

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif