Kolom
Senin, 13 Mei 2013 - 09:25 WIB

GAGASAN : Dekonstruksi Siklus Konflik Solo

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe Mahasiswa Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM

Tanggal 14 Mei 1998, Kota Solo luluh lantak. Warga pontang-panting. Ada yang menyelamatkan diri dari amukan api. Penghuni kampung berjaga-jaga di mulut gang. Juga tidak sedikit yang keranjingan menjarah barang yang bukan miliknya. Pertokoan nonpribumi di pusat kota nyaris terbakar semua. Asap pun menyebar di keluasan langit dan membuat awan menghitam. Malam mencekam, seolah di langit tak satu pun bintang yang sudi tersenyum lantaran sedih mendapati begitu brutalnya orang-orang membakar kota tua itu.

Advertisement

Bermodal sikap kritis, Soedarmono SU mengendus “ada yang tak beres” dalam fenomena anarkistis di kota kelahirannya ini. Apalagi, kurang lebih 40 jam, kerusuhan meluas hampir di seluruh kota di eks Karesidenan Surakarta. Setahun kemudian, penelitian dilakukan untuk menjawab rasa penasaran dan bagian dari tanggung jawab seorang intelektual. Tanpa tedeng aling-aling, sejarawan rekonstruksionis ini mengatakan bahwa peristiwa kerusuhan tersebut memiliki ciri-ciri yang menyeramkan dan bersifat lokal. Antara lain, sifatnya massal, kolektif, muncul secara spontan dan sporadis, endemis, tempo kerusuhan yang singkat, mobilitas yang tinggi, cenderung menggunakan aksi kekerasan (violence), brutal, beringas, vandalistik dan destruktif.

Dalam buku tebal bertajuk “Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998 Surakarta” (1999), dijelaskan bahwa di balik aksi kekerasan yang kelihatan sadis, vandalistik dan destruktif itu tersirat adanya ungkapan pelampisan rasa ketidakpuasan, dendam, kejengkelan, kegelisahan dan frustrasi. Sumber data dibaca, dikritik sesuai kaidah heuristik dan digarap dengan metode sejarah yang ketat. Ragam peristiwa kerusuhan di Kota Bengawan yang sudah menjadi album kenangan dibeberkan kembali agar publik tahu rangkaian dan sebab-akibat konflik. Hasilnya mencengangkan banyak pihak: Solo pantas disebut kota konflik. Dan, konflik tersebut bersiklus 15 tahunan.

Advertisement

Dalam buku tebal bertajuk “Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998 Surakarta” (1999), dijelaskan bahwa di balik aksi kekerasan yang kelihatan sadis, vandalistik dan destruktif itu tersirat adanya ungkapan pelampisan rasa ketidakpuasan, dendam, kejengkelan, kegelisahan dan frustrasi. Sumber data dibaca, dikritik sesuai kaidah heuristik dan digarap dengan metode sejarah yang ketat. Ragam peristiwa kerusuhan di Kota Bengawan yang sudah menjadi album kenangan dibeberkan kembali agar publik tahu rangkaian dan sebab-akibat konflik. Hasilnya mencengangkan banyak pihak: Solo pantas disebut kota konflik. Dan, konflik tersebut bersiklus 15 tahunan.

Tesis “genit” Soedarmono yang acapkali diumumkan di panggung seminar ini bak kacang goreng, laris manis dikutip ilmuwan sosial dan rekan media. Bahkan, menjadi accepted history (kebenaran sejarah yang diterima) bagi kaum cerdik pandai yang menekuni sejarah kota bekas kerajaan itu. Untuk memperkuat argumentasi, dibentangkan riwayat konflik sosial etnis pribumi dan non-pribumi yang pecah di Laweyan tahun 1911. Periode 1945, konflik kedua meledak di kota yang dijuluki “tempat pulau Jawa berdetak” ini sebagai rentetan dari gejolak revolusi.

Ledakan besar antara kelompok masyarakat pribumi dan Tionghoa terulang selepas tragedi nasional G-30S/PKI. Kecurigaan menumpuk bahwa komunitas China bersimpati kepada PKI lewat organisasi massa Baperki, sejumlah massa melakukan penyerangan terhadap aset milik orang-orang China di daerah Tambak Segaran. Peristiwa berikutnya ialah perselisihan antara abang becak dengan orang keturunan Arab tahun 1972. Aksi dan reaksi sangat cepat berlangsung dalam tempo kurang satu hari pusat-pusat pertokoan dikepung warga arus bawah yang marah karena tidak menyelesaikan masalah perkelahian itu. Akibatnya dari sore sampai malam hari pusat pertokoan Pasar Pon dan Coyudan dibakar massa.

Advertisement

Mengingat

Memang, selama ini hampir tidak ada pihak yang berusaha (berani) menyangkal tesis yang dilontarkan Soedarmono itu, baik dalam ruang diskusi maupun lewat tulisan di media, justru banyak yang termanggut-manggut mengamini. Bila kita sadari, citra Solo merupakan “kota konflik” dan “konflik bersiklus 15 tahunan” adalah bentuk dari kekerasan epistemik (pengetahuan) yang sebisa mungkin dibuatkan wacana tandingan atau didekonstruksi. Sebab, tesis tersebut selain menakutkan dan seakan membenarkan tindakan warga kota karena sudah menjadi karakter suka ngobong (membakar) kota, juga menyakitkan bagi masyarakat Surakarta. Nilai-nilai luhur yang di-ugemi, keramahtamahan serta karakter halus yang tergambar dalam diri wong Solo, seolah langsung luruh dan pudar selepas tesis dan aneka peristiwa konflik itu disodorkan ke forum ilmiah.

Tanggal 14 Mei 2013, berarti genap 15 tahun tesis siklus konflik itu. Tesis tersebut memang tidak boleh dilupakan dan harus diuji terus-menerus. Sepahit dan “sejahat” apa pun harus diingat agar penduduk Solo dan sekitarnya tidak terjebak pada masalah yang sama, atau mengulang kejadian yang memalukan membakar kota. Kemudian, apakah sebaiknya masa lalu Kota Solo yang kelam ini dilupakan atau diingat? Friedrich Niezche menuturkan bahwa keduanya penting. Kita perlu mengingat masa silam agar bisa bertahan hidup dan bahkan dapat merancang masa depan dengan baik. Inilah sikap historis (geschichtlicht) yang mau tak mau harus dilakukan oleh masyarakat. Kita juga perlu memiliki kemampuan melupakan masa lampau agar luka-luka batin tersembuhkan. Terkadang memori itu mendukakan ketimbang membuat hati gembira. Ini adalah sikap ahistoris (ungeschichtlicht), yang mestinya disingkirkan demi mencapai mimpi kolektif, yaitu harmonisasi sesama warga kota dan mencegah kebenaran siklus konflik lima belas tahunan.

Advertisement

Bagi penghuni kota budaya ini, khususnya sahabat kita etnis China, berbagai insiden konflik yang terjadi pada masa silam jelas sekali meninggalkan luka-lukanya. Dan, luka-luka itu tidak sembuh sendiri, tanpa ada usaha untuk menyembuhkannya. “Ritual” penyembuhan luka tersebut mempunyai syarat yang sebenarnya mudah, yakni kita diminta memperingati atau mengingat masa lalu dalam bingkai kebersamaan atau lintas etnis yang terkait, agar supaya dengan aktif –meminjam istilah Budiawan– “meredakan masa lalu” dan mencegah konflik sosial tidak terulang di Solo.

Selain mengingat masa lalu nan pahit itu, pertemuan-pertemuan yang akrab di ruang sosial dan budaya nampaknya lebih mujarab untuk meruntuhkan citra Solo sebagai kota Konflik dan siklus konflik limabelas tahunanan yang terlanjur dimitoskan itu. Siapa lagi kalau bukan kita yang bertanggung jawab mendekonstruksi tesis itu?

 

Advertisement

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif