Kolom
Rabu, 21 Oktober 2015 - 06:00 WIB

GAGASAN : Generasi Internet, Bahasa, dan Sekolah

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ary Yulistiana (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (20/10/2015), ditulis Ary Yulistiana. Penulis adalah guru Bahasa Indonesia dan penulis novel.

Solopos.com, SOLO — Telah jamak diketahui bahwa penggunaan bahasa di kalangan remaja semakin mengalami distorsi. Muncul berbagai kosakata baru yang dianggap ”gaul”, yang kemudian menjadi perekat komunikasi generasi masa kini.

Advertisement

Tengok saja kata berbentuk baku ”sangat” kini memiliki bentuk tidak baku ”banget”, lalu muncul dalam bahasa gaul menjadi ”bingit”, dan kini muncul kata ”bingo” sebagai padanan kata.

Penggunaan bahasa turunan ciptaan kaum muda tersebut sangat mudah disebarkan penggunaannya dalam berkomunikasi. Dalam tempo sekejap, kosakata yang baru muncul direspons dengan antusias dan tidak perlu waktu lama untuk menjadi tren.

Mereka selalu ingin dianggap tampil kekinian, termasuk dalam hal berbahasa. Bandingkan dengan kosakata alternatif dari otoritas kebahasaan dinegeri ini yang direspons cukup lambat oleh masyarakat.

Advertisement

Sebut saja kata  ”gawai” yang masih harus bersusah payah untuk menggeser penggunaan kata ”gadget”, kata ”terjerahap” dan ”merisak” yang kurang familier di telinga, atau kata ”sangkil” dan ”mangkus” yang rupanya hingga saat ini belum juga menjadi pilihan untuk menggantikan kata ”efisien” dan ”efektif”.

Dian Budiargo dalam bukunya, Berkomunikasi ala Net Generation (2015), menyampaikan sebuah hasil penelitian bahwa 64% pengguna Internet di Indonesia adalah remaja. Kian banmyak remaja yang mengakses Internet melalui telepon seluler (ponsel). Mereka semakin lama menghabiskan waktu untuk berinternet.

Fenomena tersebut membentuk karakter generasi Internet menjadi pribadi yang ingin serbacepat, melek teknologi, melakukan beberapa hal dalam satu waktu (multitasking), namun dalam waktu yang bersamaan mereka terkadang menjadi pribadi yang egosentris, individualis, dan tidak sabaran.

Sebagai generasi Internet, sesungguhnya para remaja masa kini memiliki potensi besar dalam penggunaan bahasa. Mereka memiliki kekuatan dalam hal komunikasi dan sangat piawai membangun jaringan untuk menunjukkan eksistensi mereka.

Advertisement

Lihat saja tautan pertemanan mereka melalui beragam media sosial di dunia maya melalui Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan komunikasi daring sejenis. Seorang remaja bisa memiliki lebih dari satu akun media sosial dengan jumlah ”teman” yang tidak sedikit.

Mereka bersedia menjadi pengikut (follower) orang yang tidak mereka kenal, bahkan belum pernah dijumpai sebelumnya. Respons yang diberikan pun tergolong cepat untuk menanggapi informasi yang diterima.

Karakter kebahasaan mereka terbawa hingga ke dunia nyata karena terbiasa dengan media instan yang tidak menyertakan bentuk komunikasi nonverbal. [Baca: Pendampingan Bahasa]

 

Advertisement

Pendampingan Bahasa
Bahasa lisan yang digunakan cenderung langsung pada sasaran (to the point) dan terkadang abai terhadap etika. Bahasa tulis yang digunakan acap kali masih terpengaruh bahasa di ruang chatting dan berpotensi melanggar kaidah penulisan.

Remaja masa kini diterpa bahasa gaul ala media sosial. Terpaan ini cukup dahsyat. Mereka yang terseret arus bahasa gaul lama kelamaan akan mengalami sesat bahasa.

Dampak lainnya adalah kesulitan menulis dalam format resmi atau baku yang bermanfaat dalam dunia akademis maupun profesi. Di sinilah peran sekolah, salah satunya melalui guru bahasa Indonesia sebagai katalisator berbahasa, sangat dibutuhkan.

Guru bahasa Indonesia—khususnya pada tataran SMP dan SMA/SMK— memiliki peran strategis dalam pembinaan berbahasa bagi siswa yang notabene telah memasuki usia remaja. Guru bahasa Indonesia sebaiknya mengetahui perkembangan bahasa yang dipergunakan para siswanya.

Advertisement

Guru dapat  memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai penggunaan kosakata. Kapan dapat digunakan dan kapan tidak. Siswa dibiasakan memahami dan memanfaatkan bahasa sesuai dengan situasi komunikasi yang dihadapi.

Selain itu, guru juga mesti memberikan teladan kepada siswa-siswanya mengenai kesantunan dalam berbahasa. Maman S. Mahayana dalam buku Bahasa Indonesia Kreatif  (2015) menyatakan penguasaan bahasa Indonesia mutlak dan perlu, terutama terkait dengan keterampilan menulis dan mengarang.

Pada kenyataannya, para pengguna bahasa Indonesia sebagian besar masih gagap dan terseok-seok dalam menulis. Sekolah dapat berperan memberikan sarana pembinaan bahasa bagi warga sekolah. Pengadaan ekstrakurikuler penulisan karya ilmiah remaja, pengaktifan majalah dinding, koran dinding, buletin sekolah, bahkan majalah sekolah dapat menjadi alternatif untuk keperluan tersebut.

Pada masa remaja, yang oleh Sigmun Freud disebut sebagai masa turbulensi, pendampingan pihak lain sangat diperlukan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah pendampingan berbahasa.

Mendampingi generasi muda untuk berbahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan situasi komunikasinya sama artinya dengan terus menjaga fungsi bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Ini seperti yang diamanatkan Pasal 25 ayat (2) UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Peduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia oleh generasi muda berarti peduli terhadap kelestarian bahasa Indonesia di masa yang akan datang.

Advertisement

Senyampang bulan Oktober, bulan bahasa, momentum yang tepat untuk membangun kembali kesadaran berbahasa Indonesia bagi generasi muda. Oktober adalah bulan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia melalui peristiwa monumental Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Rangkaian kegiatan bulan bahasa semoga selalu mendapat tempat di agenda kegiatan sekolah-sekolah. Ini demi memberikan ruang istimewa bagi bahasa persatuan serta untuk menumbuhkan kebanggaan berbahasa Indonesia kepada generasi muda.

Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk penerus bangsa yang cakap dan santun dalam berbahasa. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa? Selamat merayakan bulan bahasa!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif