Kolom
Sabtu, 12 Januari 2013 - 09:30 WIB

GAGASAN: Intelektualisme Tanpa Budaya Humanistis

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo. (FOTO/Istimewa)

M Fauzi Sukri
Bergiat di Bale Sastra Kecapi
Solo. (FOTO/Istimewa)

Yang menakjubkan dari buku pelajaran sekolah atau buku kurikulum pendidikan–dalam biografi/otobiografi–hampir tidak ada seorang cendekiawan, intelektual, sastrawan, penulis, bahkan guru dan ilmuwan Indonesia yang menyatakan buku pelajaran sekolah adalah buku favorit mereka yang layak dikoleksi apalagi dianggap sebagai buku yang benar-benar berpengaruh dalam kehidupan (intelektualisme) mereka.

Advertisement

Tragis-ironis? Setiap tahun ajaran baru, hampir setiap orangtua murid harus mencari dan membelikan buku baru, meski terkadang cuma sedikit revisi atau sekadar ganti sampul. Ini adalah semacam perintah sekolah atau perintah lembaga pendidikan negara.

Seorang siswa akan sedih bahkan menangis jika tidak bisa mendapatkan atau memiliki buku pelajaran sekolah karena malu pada teman-temannya dan semacam melanggar tata tertib belajar.

Begitu juga banyak orangtua yang sedih jika tak bisa membelikan buku sekolah, termasuk buku lembar kerja siswa (LKS), meski pada akhirnya mereka nanti akan menjual buku-buku itu ke toko loakan atau pencari kertas/buku bekas.

Advertisement

Dalam sejarah pembudayaan literer bangsa Indonesia, barangkali baru pada tahun ajaran barulah banyak orangtua membelikan buku untuk anak-anak mereka. Tragisnya, itu adalah buku pelajaran yang akan dilupakan oleh anak-anak mereka. Buku pelajaran sekolah (juga buku LKS) hampir tak pernah mengajarkan kecintaan pada memiliki buku dan pembudayaan membaca buku.

Sejak awal, bagi siswa, buku sekolah adalah buku yang siap habis dipakai dan harus segera ditinggalkan dan tak perlu diingat dan dikutip dalam keilmuan atau kehidupan murid kecuali hanya untuk menjawab pertanyaan ujian. Buku pelajaran hampir-hampir tidak memperkenalkan buku sebagai sesuatu yang sangat layak untuk disimpan, dijadikan rujukan keilmuan kelak, atau benda yang sakral sebagaimana tradisi literer mengajarkan.

Dalam membaca buku pelajaran sekolah atau LKS, aktivitas membaca adalah sebuah perintah yang sering dianggap tak menyenangkan dan menyakitkan. Aktivitas membaca bukan sebagai kecintaan yang datang dari keingintahuan yang besar dan hasrat pada ilmu pengetahuan.

Di sekolah, hampir-hampir tak ada pelajaran tentang cara-cara membaca, katakanlah membaca secara reseptif, membaca kritis, membaca secara komparatif, membaca pada tahap otoritatif. Di rumah, sebagian orangtua akan menganggap anaknya tidak belajar jika membaca bukan buku pelajaran, apalagi buku sastra atau filsafat.

Advertisement

Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, ketika membaca dua buku terakhir ini oleh orangtua sering tidak dianggap sebagai belajar! Padahal, kita harus jujur, membaca adalah jalan ilmu pengetahuan yang paling dasar dan awal.

Sejak awal pembudayaan literer tidak berdasarkan pada perkembangan atau penambahan referensi yang semakin mengarah pada buku-buku otoritatif-referensial. Tapi, lebih pada buku-buku yang sudah sejak awal dipersepsikan (dan diajarkan) untuk segera ditinggalkan dan dilupakan.

Akibat yang tragis-ironis dari sistem pembudayaan literer ini, setiap cendekiawan, intelektual, atau pemikir bangsa ini harus memulai sendiri dari awal: membaca dari awal lagi buku-buku yang berdasarkan bidang keilmuan yang ingin ditekuninya, meski sudah sangat terlambat.

Pembelajaran dan pembacaan buku pelajaran di sekolah, bisa dikatakan tak memberikan dasar atau membimbing pada buku yang bersifat berjenjang, dari pengantar awal sampai membaca buku yang otoritatif dalam satu bidang keilmuan atau trans-keilmuan. Padahal, tanpa itu, Indonesia tak bisa mengembangkan dan melahirkan pemikir, intelektual, ilmuwan yang kuat.

Advertisement

Dan, itu artinya bangsa Indonesia susah menghasilkan inovasi pemikiran, teknologi atau terobosan keilmuan yang baik atau berkelas internasional. Ini disadari betul oleh mereka yang sudah sampai pada pendidikan tingkat doktoral, terutama yang belajar di universitas luar negeri yang bereputasi bagus secara ilmiah.

 

Mengherankan

Semua itu tidak mengherankan. Menurut sosiolog Ignas Kleden (dalam Idi Subandy Ibrahim, 2007: 318), persoalan membaca buku, perlakuan terhadap buku dan penggunaan buku dalam kehidupan sehari-hari adalah persoalan sosial budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar kehidupan masyarakat kita adalah kehidupan tanpa ada bimbingan, percakapan atau gurauan yang terkait-disandarkan pada buku.

Advertisement

Sebagian besar masyarakat hidup tanpa buku, berumah tanpa buku, melakukan pergaulan kemasyarakatan tanpa buku. Tak ada ruang bagi kehidupan berbuku. Dari awal sekolah dan dari rumah, kehidupan masyarakat tanpa tradisi penghormatan pada buku. Di sekolah atau di rumah tak ada pemupukan tradisi humanistis.

Menurut sejarawan Taufik Abdullah (1997), dalam merumuskan strategi mengembangkan pembudayaan membaca di kalangan masyarakat Indonesia, salah satu aspek yang tak bisa dilupakan adalah pemupukan tradisi humanistis.

Tradisi ini membentuk hasrat untuk memasuki dunia teks—wilayah the written words—bukan sebagai suatu keharusan kerja atau mengisi pertanyaan ujian, tetapi sebagai sebuah kenikmatan yang memperkaya wawasan intelektual dan kultural. Tradisi humanistis adalah undangan untuk melibatkan diri dalam wacana intelektual dan menjadikan perilaku membaca sebagai keharusan inspiratif, yang datang dari dalam, bukan dari luar diri.

Tapi, tradisi humanistis ini barangkali hanya dinikmati dan dialami oleh generasi pertama Indonesia yang masih mendapatkannya saat mereka bersekolah dalam naungan kolonialisme Belanda dan generasi awal kemerdekaan yang masih sangat berbau humaniora dalam pendidikan-pengajarannya.

Di Eropa dan Amerika Serikat (juga Jepang), sebagaimana kita tahu, pada awal perkembangan pendidikan-pengajaran kebudayaan mereka, tradisi humaniora menjadi fondasi pendidikan-pengajaran, yang melahirkan banyak penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi.

Tapi, sejak Soeharto berkuasa, perlahan tradisi humaniora dalam pendidikan mulai dihilangkan. Pengajaran berbasis verbalisme-literer yang menjadi fondasi tradisi humaniora digantikan dengan realisme (empirisme) yang hasilkan pemisahan ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial (IPS)–tentu saja IPS akhirnya direndahkan.

Advertisement

Peralihan ini, inginnnya, hendak menghasilkan ilmuwan (alam) yang terlatih observasional-lingkungan (alam), meski dalam praktik pengajaran-pendidikannya siswa hanya mendengarkan, bukan melakukan penelitian. Alasan politisnya sederhana: untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dan anutan ideologi pembangunanisme.

Soeharto harus menghasilkan teknolog-teknolog, ahli-ahli berbagai teknik (hal yang memasyhurkan Institut Teknologi Bandung atau ITB) atau manusia-manusia yang lebih cakap dalam teknik, bukan manusia yang memiliki daya imajinasi-kreatif, meski dalam hal teknologi.

Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan (1985-1993), dalam dunia pendidikan-pengajaran tradisi humaniora pernah menjadi wacana publik, tapi hanya sebagai selingan saja. Wacana itu tak mampu menggeser apalagi meruntuhkan bangunan struktural pengajaran-pendidikan yang sudah berakar.

Dan, beberapa waktu yang lalu, salah satu pendidik-pengajar terbaik Indonesia, Yohanes Surya, memperkenalkan kembali tradisi humaniora dengan menerbitkan novel sains-ilmiah (ingat novel ilmiah populer Stephen Hawking?). Tampaknya disadari bahwa membaca yang menjadi fondasi tradisi humaniora tidak mungkin dilepaskan untuk pengembangan sains-teknologi. Ah, betapa terlambatnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memulai semua itu dari sekolah dan rumah saat pengajaran, pengenalan dan perlakuan terhadap buku pertama seorang siswa sudah dipersepsi sebagai buku yang harus segera ditinggalkan, dijual-diloakkan dan dilupakan, tanpa ada penghormatan pada buku.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif