Kolom
Kamis, 26 Mei 2016 - 05:00 WIB

GAGASAN : Jalan Satu Arah dan Lawan Arus

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muslich Hartadi Sutanto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (23/5/2016), ditulis Muslich Hartadi Sutanto. Penulis adalah anggota Dewan Pakar Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan.

Solopos.com, SOLO — Beberapa hari terakhir ini pemberitaan di media massa di Solo diwarnai topik pemberlakuan kebijakan sistem satu arah (SSA) dan contra flow (CF) atau lawan arus di tiga ruas Jalan di Solo, yakni Jl. dr. Radjiman, Jl. H. Agus Salim, dan Jl. Perintis Kemerdekaan.

Advertisement

Kebijakan yang diberlakukan di tiga ruas jalan ini melanjutkan tahapan sebelumnya yang telah diberlakukan di beberapa ruas jalan lain dan merupakan bagian dari sebuah paket kebijakan yang di antaranya untuk mengurai kemacetan, meningkatkan keselamatan, dan mendorong masyarakat untuk berpindah dari kendaraan pribadi lalu menggunakan angkutan umum.

Institusi pemerintah (tidak hanya di Indonesia) sering kali dianggap lambat dalam merespons perubahan dibandingkan dengan sektor swasta, namun Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dalam hal ini telah melangkah maju dengan mengantisipasi adanya perubahan yang di antaranya dengan membangun sistem transportasi publik melalui penyiapan 14 koridor Batik Solo Trans (BST).

Advertisement

Institusi pemerintah (tidak hanya di Indonesia) sering kali dianggap lambat dalam merespons perubahan dibandingkan dengan sektor swasta, namun Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dalam hal ini telah melangkah maju dengan mengantisipasi adanya perubahan yang di antaranya dengan membangun sistem transportasi publik melalui penyiapan 14 koridor Batik Solo Trans (BST).

Berbeda dengan pemberlakuan pada tahapan sebelumnya, kebijakan SSA-CF di ketiga ruas jalan itu ternyata menuai keberatan dari masyarakat seperti yang diberitakan di beberapa media massa ketika Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Soloraya membuka pos koordinasi (posko) masukan masyarakat di kawasan car free day atau kawasan bebas dari kendaraan bermotor beberapa hari setelah SSA-CF diberlakukan.

Hal ini wajar saja mengingat lalu lintas yang melalui ruas jalan tersebut relatif lebih padat dibanding dengan lalu lintas pada tahapan SSA-CF sebelumnya sehingga kepentingan dan masyarakat yang terdampak lebih banyak. Sesuai dengan yang menjadi perhatian kalangan masyarakat, saya mencoba mengulas arus lalu lintas menuju ke arah timur di Jl. dr. Radjiman yang kurang mendapat alternatif penyaluran dan kajian keselamatan contra flow terkait beberapa insiden kecelakaan di Jl. dr. Radjiman.

Advertisement

Masalah yang timbul adalah Jl. H. Samanhudi yang lebarnya lima meter hingga enam meter untuk dua arah, dengan mempertimbangkan kondisi jalan dan lingkungan sekitarnya, hanya mempunyai kapasitas untuk arus ke timur sekitar 800-an SMP/jam. Jl. Slamet Riyadi dua arah dari barat sampai simpang Gendengan berdasarkan data citra satelit yang diolah di Universitas Muhammadiyah Surakarta oleh Astuti (2015) sudah menunjukkan tingkat kemacetan tinggi.

Belum lagi kesulitan teknis untuk mengatur arus kendaraan 1.000-an SMP/jam dari selatan ke timur yang berkonflik dengan kendaraan dari timur ke barat di simpang tak bersinyal Purwosari. Solusi taktis yang diambil adalah menutup arus Purwosari dari selatan yang mengarah ke timur, namun risikonya adalah total arus Purwosari ke barat yang menyeberang rel menjadi tinggi yang bisa menimbulkan antrean panjang ketika menghadapi palang kereta api.

Kedua, mengenai kajian keselamatan. Belum adanya rambu permanen mengenai batas kecepatan, pita kejut, dan zebra cross sampai pekan pertama penerapan contra flow (CF) dan water barrier yang baru dipasang setelah kejadian kecelakaan mengindikasikan kajian keselamatan kurang diantisipasi dan masih perlu diperkuat.

Advertisement

Istilah contra flow pada rambu juga harus diganti menjadi bahasa Indonesia baku “lawan arus” agar mudah dimengerti masyarakat. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah potensi pelanggaran. Buwana (2013) yang mengkaji perilaku berlalu lintas masyarakat Solo menyebutkan 42% responden pernah melanggar rambu lalu lintas, menerobos lampu merah, melanggar markah, dan melawan arus.

Kajian tersebut juga mengidentifikasikan 35% responden mengaku merasa biasa saja setelah melakukan pelanggaran. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama untuk memperbaiki budaya tertib berlalu lintas masyarakat Solo. Khusus terkait contra flow, perilaku ini meskipun merupakan “penyakit” akibat pengendara yang tidak tertib, harus dipertimbangkan dengan matang agar tidak timbul korban dari masyarakat yang taat aturan tapi ditabrak.

Munculnya keberatan dari masyarakat terhadap pemberlakuan SSA-CF lebih disebabkan pengalaman yang mereka lihat dan rasakan secara factual dan aktual. Berbeda dengan zaman dahulu, karakter dan pola komunikasi masyarakat belakangan ini yang cenderung lebih kritis dalam menyikapi suatu kebijakan adalah wajar mengingat makin banyaknya masyarakat terdidik dan semakin mudahnya komunikasi serta memperoleh informasi.

Advertisement

Salah satu hal yang menyebabkan kebijakan atau program kurang efektif atau kurang sesuai dengan kondisi masyarakat adalah belum adanya mekanisme kontrol efektif dari rekan sejawat (peer review) yang memahami masalah teknis dan kondisi masyarakat untuk mengkritk rekomendasi dan kajian yang dibuat oleh konsultan yang menjadi rekanan pemangku kebijakan.

Ibarat obat, kebijakan SSA-CF harus diberikan dengan takaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat agar manjur serta tidak menimbulkan keracunan atau overdosis. Setidaknya ada tiga Universitas di Solo, yakni Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan Universitas Tunas Pembangunan (UTP) yang mempunyai sumber daya manusia bidang transportasi yang bisa dimintai opini pembanding untuk menguji dan bersikap kritis terhadap kajian SSA-CF (termasuk tahapan selanjutnya yang akan diberlakukan pada ruas jalan lainnya).

Tiga universitas ini sekaligus bias merekomendasikan langkah taktis dan jangka panjang untuk meminimalkan dampak bagi masyarakat. Untuk penganggaran bisa dibiayai melalui anggaran internal universitas maupun hibah dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari aktivitas pengabdian kepada masyarakat oleh perguruan tinggi. (Tulisan ini adalah opini pribadi penulis)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif