Kolom
Jumat, 22 Januari 2016 - 09:00 WIB

GAGASAN : Jangan Hanya Bertahan di Rumah Sendiri

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sayfa Aulia Achidsti (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (21/1/2016), ditulis Sayfa Auliya Achidsti. Penulis adalah alumnus Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM.

Solopos.com, SOLO — Pada 31 Desember lalu Indonesia memasuki pasar bebas regional, ASEAN Economic Community (AEC)/Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Regionalisme dalam bentuk MEA ini tepat untuk memperkecil ketimpangan (levelling) antarnegara ASEAN dalam menghadapi persaingan global.

Advertisement

Apakah Indonesia telah kompatibel menjadi pemain dalam pasar tunggal MEA mengingat Indonesia adalah salah satu pendukung MEA?

AEC Blueprint 2025 menargetkan capaian integrasi ekonomi, pengurangan kemiskinan, produktivitas sumber daya manusia, good governance, konektivitas anggota, ketahanan multisektor, dan penguatan posisi ASEAN. MEA sebagai ideal type memiliki dua implikasi.

Pertama, perluasan ekonomi ke luar (uotwards economic)dari ASEAN menuju global. ASEAN menghadirkan diri sebagai pasar tunggal bagi investor global. Kedua, kerja sama ekonomi ke dalam (inwards economic) dengan konektivitas antar negaranya.

Advertisement

Asumsinya, jika hambatan aturan (regulation barriers) dikurangi, biaya perdagangan anggota ASEAN dapat diperkecil. Selama ini Indonesia tertinggal dari Vietnam, Malaysia, dan Myanmar yang lebih dipilih produsen kelas dunia.

Kelebihan Indonesia hanya sebagai pasar terbesar. Ini menjadi kerugian buat Indonesia karena gempuran barang dan jasa dari luar. Vietnam mengimpor udang 500.000 ton per tahun dari Ekuador, bukan dari Indonesia.

Blueprint MEA memiliki kelemahan fundamental, yaitu cenderung menekankan ASEAN sebagai pasar tunggal tanpa perhatian membangun rantai basis produksi tunggal regional. Outwards economic MEA seharusnya menciptakan basis produksi ini.

Advertisement

Kondisi yang ada tidak jauh beda dari pasar global: yang bermodal lebih leluasa memanfaatkan MEA. Dalam daftar Top 100 ASEAN Companies (2014) hanya 10 perusahaan Indonesia yang masuk.

Enam di antaranya adalah badan usaha milik negara (BRI, Bank Mandiri, BNI, PT Telkom, PGN, dan Semen Indonesia) dan empat swasta (BCA, Gudang Garam, Kalbe Farma, dan Charoen Pokphand Indonesia).

Perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menjadi jawara dalam negeri. Kelompok BUMN—yang mengelola sektor strategis nasional—infrastrukturnya hanya mampu diandalkan di lingkup domestik.

Untuk ekspansi keluar masih butuh proses panjang, terutama dengan menyelesaikan “pekerjaan rumah” dalam negeri, konsolidasi modal, dan komitmen eksekutif-legislatifnya.

Hampir di seluruh aspek fokus MEA Indonesia masih lemah. IMD World Talent Report 2015 menunjukkan kondisi sumber daya manusia Indonesia anjlok dari ke peringkat ke-25 menjadi ke-41 (dari 61 negara), jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Kondisi infrastruktur belum memenuhi standar. Global Competitiveness Index 2014-2015 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-34 (dari 144 negara) dengan peningkatan yang lambat. [Baca selanjutnya: Belum Kompatibel]Belum Kompatibel

Pernyataan Presiden Joko Widodo akhir Desember lalu bahwa MEA adalah kesempatan dan tantangan buat Indonesia telah memperlihatkan komitmen kepala negara. Indonesia yang tidak melulu jadi target pasar hanya akan akan jadi angan-angan jika struktur Indonesia belum kompatibel dengan penerapan MEA.

Ada dua masalah utama. Pertama, mentalitas bertahan (defensif)setiap melakukan kerja sama multilateral. Sejak 2013, penghapusan tarif hingga 80% telah diterapkan.

Nyatanya kebijakan Indonesia bukan segera memperkuat komoditas andalan untuk dikirim keluar (ekspansif), melainkan hanya membuat produksi barang dan jasa dalam negeri bertahan.

Pemerintah Indonesia kurang sanggup memosisikan diri memaksimalkan peluang pasar bebas MEA. Rencana MEA sejak 2007 belum membuat Indonesia menyiapkan ancang-ancang.

Indonesia tetap mengimpor dari mayoritas negara ASEAN. Kecuali ke Filipina, Indonesia mampu mengekspor senilai US$3,8 miliar dan impor US$700 juta dolar. Tentu akan sia-sia adanya MEA jika peluang ekonomis yang dapat dikejar hanya dari sektor tenaga kerja Indonesia (TKI) yang pada praktiknya sudah dilakukan jauh sebelum MEA.

Kedua, buruknya komitmen pemerintah menerapkan kebijakan terintegrasi. Masalah klasiknya selalu soal hubungan antarlembaga negara. Masing-masing kementerian mengeluarkan kebijakan untuk prestasi kelembagaannya sendiri, bukan sebagai kebijakan integratif.

Penguatan nasional tidak bisa dirampungkan oleh kebijakan sektoral per kementerian. Perlu konsolidasi kebijakan. Memang ada beberapa kebijakan yang telah dilandasi prinsip integratif-konsolidatif. Salah satunya adalah program beasiswa untuk peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan tinggi dengan komitmen Kemenkeu, Kemendikbud, dan Kemenag.

Grand design kebijakan nasional penting dibuat dalam arah tertentu: apakah industrialisasi, pariwisata, agribisnis, UKM, atau membuka diri sebagai bagian dari sistem global supply chain. Mau tidak mau sebuah arah kebijakan harus dipilih sebagai prioritas.

Hal yang hampir mustahil bagi sebuah negara menguatkan semua sektor sekaligus. Jepang bangkit dengan memilih industri berat (pada 1950-an), India dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (sejak 1991), Thailand dengan agrobisnis dan wisata (pada 2000-an), Malaysia dengan industri bumiputera (1971).

Semoga integrasi antarlembaga dan komitmen eksekutif-legislatif segera terwujud. Pada akhirnya pilihan arah kebijakan nasional tergantung dari kesadaran elite pemerintahan. Jangan sampai pasar bebas sudah dibuka sementara Indonesia hanya bertahan dari gempuran saja, di rumah sendiri lagi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif