Kolom
Selasa, 12 September 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Kemanusiaan Keluarga Polk

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anindhita S. Thayf (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (6/9/2017). Esai ini karya Anindita S. Thayf, seorang novelis dan esais yang tinggal di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah bambu_merah@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO — Persekusi terhadap warga Rakhine etnis Rohingya di Myanmar tentu mengusik rasa kemanusiaan. Ribuan orang harus mengungsi ke berbagai negara untuk menyelamatkan diri. Ribuan keluarga terpisah-pisah tanpa mengetahui kabar beritanya.

Advertisement

Kejadian seperti yang terjadi pada etnis Rohingya memaksa kita bertanya: masih adakah rasa kemanusian itu? Pemimpin politik berpengaruh Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang pernah mendapatkan Nobel Perdamaian, terlihat gamang menghadapi tragedi kemanusian yang tengah terjadi di negaranya.

Bila humanisme berasal dari pemikiran filsuf Yunani, Protagoras, yang menempatkan manusia sebagai ukuran, maka yang terjadi terhadap etnis Rohingya dan kasus-kasus serupa, termasuk di negara kita, akan mengingatkan pada ukuran yang dibuat oleh keluarga Polk.

Dalam memandang kemanusiaan, keluarga ini memegang prinsip ”yang bukan keluarga Polk bukanlah manusia.” Dengan kata lain, selain keluarga mereka adalah liyan. Keluarga Polk adalah tokoh fiktif yang hadir dalam salah satu musim tayang film serial televisi American Horror Story.

Advertisement

Berabad-abad lamanya keluarga ini mendiami tanah pekarangan  milik seorang baron. Ketika sang baron meninggal dunia, keluarga Polk terus hidup dan berkembang biak tanpa pernah mengenal tetangga. Keluarga Polk menjalani kehidupan dengan prinsipnya sendiri dan mewariskan itu kepada keturunannya.

Prinsip keluarga Polk sebetulnya merupakan satire terhadap pandangan humanisme universal yang dihasilkan modernitas. Dalam pandangan modernitas, apa yang diyakini keluarga Polk disebut etnosentrisme. Pandangan tersebut berprinsip bahwa kemanusiaan berpatok pada kelompoknya sendiri (suku, klan, sekte), sementara yang ada di luar itu dianggap sesuatu yang asing, pantas pula diperlakukan berbeda.

Setelah renaisans mengguncang Eropa, yang ditandai oleh revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Prancis, pandangan etnosentrisme dianggap tidak cocok dengan lingkungan sosial pada masa itu. Dikembangankanlah paham humanisme universal yang menolak sekat-sekat suku, ras, agama, bangsa, hingga bahasa.

Selanjutnya adalah: Pandangan humanisme universal yang tampak ideal…

Advertisement

Humanisme Universal

Pandangan humanisme universal yang tampak sangat ideal inilah yang sebenarnya tengah diejek oleh keluarga Polk. Sebagai produk ciptaan Barat, konsep humanisme universal tidak jauh berbeda dengan politik etis.

Keduanya sama-sama menawarkan utopia sebab diciptakan oleh bangsa yang justru kali pertama kali menerapkan ”pengastaan” berdasarkan warna kulit, juga eksploitasi manusia secara besar-besaran dan berkesinambungan.

Advertisement

Selama ratusan tahun, bangsa Barat yang merasa dirinya modern menjajah wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Hingga hari ini pula bangsa kulit putih masih merasa lebih superior ketimbang bangsa kulit berwarna. Bila meminjam istilah keluarga Polk, kondisi ini menunjukkan yang bukan kulit putih bukanlah manusia.

Pramoedya Ananta Toer (1999) menyebut kemanusian ala keluarga Polk sebagai kemanusian limited. Ia mengumpamakan kemanusian semacam itu seperti rombongan semut yang terus berbaris tanpa peduli rombongan semut yang lain diinjak oleh sepatu orang.

Fakta-fakta yang tersebar di sekitar kita menunjukkan betapa kian hari makna kemanusiaan memang telah berubah menjadi kemanusian limited.

Praktik prinsip keluarga Polk cukup mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya pembakaran seseorang yang diduga mencuri amplifier masjid. Tindakan ini membenarkan prinsip keluarga Polk bahwa yang bukan bagian dari “kita” bukanlah manusia.

Advertisement

Alhasil, sekelompok masyarakat yang berprinsip demikian dengan enteng melenyapkan nyawa individu lain yang dianggap bukan bagian dari mereka. Prinsip ala keluarga Polk membuat para pelaku kebas dari rasa bersalah. Perikemanusiaan seakan tidak ada lagi.

Apa yang menyebabkan terjadinya banalitas kemanusian seperti yang saat ini sering terjadi? Jaring-jaring kapitalisme tidak hanya melahirkan oposisi biner kaya versus jelata, melainkan juga telah mendangkalkan kemanusiaan itu sendiri.

Ukuran kemanusiaan diperdagangkan sedemikian rupa, misalnya, dalam bentuk acara televisi yang mengeksploitasi orang miskin, corporate social responsibility, hingga produk sedekah paket-paketan.

Kapitalisme juga mematikan solidaritas sosial karena yang dikuatkan justru cara hidup individualistis. Semangat kebersamaan telah digantikan kepentingan-kepentingan individu. Alih-alih mengembangkan sikap kebersamaan, ukuran segala hal dipersempit pada satu titik, yaitu aku, sebagaimana semangat renaisans yang dengan gamblang disampaikan Descartes lewat postulatnya: Aku berpikir maka aku ada.

Aku sebagai ke-diri-an kemudian menempatkan dirinya di atas orang lain. Hal inilah yang menyuburkan sikap intoleran. Egoisme individu, kelompok, dan mayoritas tumbuh di atas anggapan bahwa segala ukuran harus disesuaikan dengan ke-aku-an mereka.

Tak mengherankan bahkan sebuah patung bisa menjadi sasaran persekusi karena dianggap tidak sesuai dengan ke-aku-an mayoritas sebagai pihak yang menentukan segala nilai, baik etika maupun estetika.

Advertisement

Kapitalisme juga pandai memanfaatkan konflik yang dilandasi prinsip keluarga Polk untuk kepentingan ekonomi mereka. Seperti yang terjadi di Papua, Myanmar, Iran, Suriah, negara-negara di Afrika, dan Amerika Latin, kapitalisme menunggangi konflik bernuansa agama dan etnis untuk menguasai sumber kekayaan alam daerah tersebut.

Selanjutnya adalah: Penduduk diadu domba untuk memuluskan upaya pemilik modal…

Diadu Domba

Penduduk diadu domba untuk memuluskan upaya pemilik modal mengeduk emas dan minyak bumi. Tak mengherankan bahwa prinsip keluarga Polk justru dipelihara oleh kapitalisme demi menguasai aset-aset ekonomi sebuah bangsa.

Kenyataan menguatnya prinsip keluarga Polk dalam kehidupan masyarakat rupanya dianggap menguntungkan oleh pihak tertentu. Selain para pemilik modal, mereka adalah aktor-aktor politik yang dengan sigap dan cerdik memanipulasi keadaan tersebut.

Semangat sektarian dan intoleran ditunggangi demi kepentingan politik, entah untuk memperbesar partai atau memenangkan calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang didukung dalam kontes demokrasi elektoral. Dalam sejumlah kasus, cara semacam ini memang mampu memberi hasil memuaskan. Suatu keberhasilan yang kemudian hendak diulang di lain tempat dan lain waktu dalam skala yang lebih luas.

Selain kuasa kapitalisme, bisa pula dikatakan bahwa partai politik merupakan pelanggeng utama prinsip keluarga Polk. Lewat jargon-jargon populisme, karakter ke-aku-an, baik dalam bentuk sentimen suku, ras, agama, hingga pendukung olahraga, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik guna menghasilkan modal politik untuk kepentingan jangka pendek dan jangka panjang.

Retorika aktor politik merupakan retorika abu-abu. Di mimbar mereka tampil laksana pejabat adil santun nan bijaksana yang melakukan semua tindakan dan keputusan demi kepentingan bangsa dan negara, persatuan dan kesatuan bersama, tapi yang terjadi seturun dari mimbar adalah sebaliknya.

Mereka menjelma jadi keluarga Polk yang tanpa sungkan mengorbankan sesamanya. Inilah alasan mengapa sikap sektarian dan intoleran sulit diatasi dan dihilangan karena sesungguhnya justru dipelihara.

Keluarga Polk lebih dikenal sebagai keluarga kanibal berkat prinsip hidup mereka. Setiap manusia yang mereka jumpai, selain anggota keluarganya sendiri, tampak sebagai mangsa alih-alih saudara. Inilah tantangan kita hari ini.

Seiring waktu, telah lahir keluarga-keluarga Polk baru dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Korban-korban pun berjatuhan.

Ketika kemanusiaan ala keluarga Polk menyebar secepat virus zombie pada film-film Hollywood maka kehancuran hanya tinggal menghitung detik saja. Ucapkan selamat tinggal pada ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Selamat datang para kanibal.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif