Kolom
Senin, 29 Februari 2016 - 09:00 WIB

GAGASAN : Kepemilikan Properti WNI Kawin Campur

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ike Farida (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (26/2/2016), ditulis Ike Farida. Penulis adalah ahli hukum, advokat, dan dosen.

Solopos.com, SOLO — Peraturan Pemerintah (PP) No. 103/2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia sejatinya ditujukan untuk mengatur kepemilikan rumah tinggal bagi warga negar asing (WNA).

Advertisement

Fakatnya PP ini justru dipandang sebagai ketidakpastian hukum bagi warga negara Indonesia (WNI) yang menikah (kawin) dengan WNA  atau biasa disebut WNI kawin campur untuk memiliki hak atas tanah.

Beleid itu dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada 22 Desember 2015 untuk menggantikan PP No. 41/1996. PP tersebut menetapkan jangka waktu kepemilikan (hak pakai) bagi orang asing lebih lama dari aturan sebelumnya yaitu 80 tahun (aturan lama 50 tahun).

Selain itu, dalam PP tersebut ada definisi tentang ”orang asing”, yakni orang asing yang bukan WNI yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia.

Advertisement

PP tersebut juga mengatur hak waris orang asing kepada ahli warisnya atau kepada orang lain yang memiliki eligibilitas untuk menggantikan posisinya. Selama ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagai ”orang asing” maka si pewaris berhak mewarisi.

Tambahan lainnya dari PP No. 103/2015 adalah mengenai definisi properti yang dalam PP sebelumnya tidak diatur definisi ”rumah tunggal” maupun ”rumah susun”.

PP No. 103/2015 mengatur ”rumah tunggal” atau ”rumah susun” yang dapat dimiliki orang asing harus unit baru, bukan bekas. Dengan pembatasan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa kemudahan tersebut tetap tidak akan mengancam azas nasionalitas yang dianut UUPA atau UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dilihat dari judulnya, PP No. 103/2015 ditujukan untuk orang asing, namun PP tersebut menyelipkan aturan bagi WNI kawin campur, yaitu Pasal 3 (1) yang mengatur WNI yang melaksanakan perkawinan dengan orang asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya.

Advertisement

Apakah Pasal tersebut merupakan bentuk penegasan bahwa pemerintah tidak membedakan hak WNI kawin campur dengan WNI lainnya untuk memiliki tanah, hak milik dan hak guna bangunan (HGB)? Jawabannya, ya.

Lalu bagaimana aturan sebelum lahirnya PP ini? Apakah WNI kawin campur haknya tidak sama? Bukankah sejak 55 tahun yang lalu UUPA telah mengatur bahwa hak semua WNI adalah sama?

Pasal 9 (2) UUPA berbunyi tiap-tiap WNI, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Kalau sejak dulu sudah diatur tentang persamaan hak tersebut, untuk apa diatur kembali dalam PP yang ditujukan untuk orang asing? Pasal 3 (2) berbunyi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.

Advertisement

Ayat (2) ini banyak menuai pertanyaan dan kebingungan masyarakat, khususnya WNI kawin campur. Pertama, apakah WNI kawin campur harus memiliki ”perjanjian pemisahan harta” dengan pasangan WNA-nya jika hendak membeli/menjual tanah?

Jika ya, bukankah itu berarti merupakan pembedaan perlakuan bagi WNI kawin campur, padahal ayat (1) tegas menyatakan sama haknya? Jika jawabannya tidak, apa tujuan dari pasal tersebut?

Kedua, apakah perjanjian pemisahan harta yang dibuat notaris tersebut harus dilakukan sebelum, pada saat, atau dalam periode perkawinan? Pasal 3 (2) PP No. 103/2015 tidak mengatur kapan perjanjian tersebut dibuat.

Ketiga,  apakah perjanjian di hadapan notaris tersebut dapat mengikat pihak ketiga, seperti bank dan pengembang? Apakah merupakan persyaratan ataukah hanya untuk keperluan pembuktian atas kepemilikan tanah? [Baca selanjutnya: Keadilan dan Persamaan]Keadilan dan Persamaan

Advertisement

Jika Pasal 3 (2) PP No. 103/2015 dimaksudkan sebagai pembuktian terhadap pihak ketiga, sudah jelas ketentuan tersebut bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1.340 yang intinya perjanjian hanya mengikat pihak yang membuatnya, tidak mengikat pihak ketiga.

Keempat, apakah perjanjian pemisahan harta sama dengan perjanjian perkawinan dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan? Jika ya, lalu mengapa tidak mencantumkan UU Perkawinan sebagai bahan rujukan dalam pembentukannya?

Mungkinkah perumus PP lalai memperhitungkan dampak berlakunya Pasal 3 yang menimbulkan kebingungan bagi masyarakat seperti notaris/pejabat pembuat akta tanah (PPAT), pengacara, pengembang, dan perbankan?

Faktanya, beberapa pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), notaris, pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum & HAM) masih punya jawaban versi masing-masing.

Perjanjian pemisahan harta dalam Pasal 3 (2) PP No. 103/2015 harus dijelaskan lebih terperinci, misal (dalam pejelasannya) dimaknai sebagai alat pembuktian di kemudian hari jika terjadi perceraian, pewarisan, atau ketika tanah akan dijual kepada pihak lain.

Dengan demikian jelas kepemilikan hak atas tanah tersebut bukan bagian dari harta bersama. Untuk itulah sebaiknya pemerintah segera memperbaiki dengan mencantumkan penjelasan atau mengeluarkan undang-undang pertanahan yang menjamin kepastian hukum.

Advertisement

Timbulnya pertanyaan terkait tujuan terbitnya PP tersebut tampaknya akan terus berlanjut karena ketidakkonsistenan antara PP dengan undang-undang di atasnya begitu tajam dan substansial.

Betapapun elegan, baik, atau ekonomisnya aturan jika merugikan masyarakat harus segera diganti atau dihapus. Mengutip John Rawls dalam A Theory of Justice, justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought.

A Theory however elegant and economical must be rejected or revised if it is untrue; like wise laws and institutions no matter how efficient and well-arranged must be reformed or abolished if they are unjust. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif