Kolom
Selasa, 31 Mei 2016 - 04:00 WIB

GAGASAN : Kota Islami Kita

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammad Milkhan (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (27/5/2016), ditulis Muhammad Milkhan. Penulis adalah alumnus International Visitor Leadership Program (IVLP) FY16 on Civil Society in Muslim Communities.

Solopos.com, SOLO — Dalam sebuah acara makan malam—saya diundang—yang difasilitasi salah satu keluarga Indonesia di Negara Bagian Minnesota, Amerika Serikat, beberapa hari lalu, saya mendengar ungkapan tuan rumah yang sempat membuat saya terkejut.

Advertisement

Pak Joko yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika Serikat dan bahkan sudah menjadi warga Negara Amerika itu berujar selama tinggal di Amerika Serikat dia jarang bertemu dengan orang Islam, tetapi begitu mudah menemukan kehidupan yang islami di Minnesota.

Pak Joko yang berprofesi sebagai dosen gamelan di beberapa universitas ternama di Minnesota itu begitu girang menceritakan tata kehidupan di lingkungannya. Di Minnesota hampir semua rumah tidak ada yang berpagar.

Rumah-rumah di sana memiliki halaman depan dan belakang yang bersih dan terawat serta mobil-mobil pribadi diparkir di sepanjang jalan tanpa rasa waswas akan tindak kejahatan. Rasa aman yang dirasakan Pak Joko menjadikan dia dan keluarganya nyaman tinggal di kota tersebut dan menganggap itu merupakan cerminan kehidupan yang islami.

Advertisement

Riset Indeks Kota Islami (IKI) yang digagas Maarif Institute juga mengungkapkan fakta kota-kota yang memiliki karakteristik islami ternyata bukan kota-kota yang selama ini memiliki regulasi (peraturan daerah) berbasis syariat Islam.

IKI membuat standardisasi indikator kota bercorak islami berdasarkan tiga hal mendasar yang paling dibutuhkan masyarakat, yaitu rasa aman, kesejahteraan, dan tingkat kebahagiaan penduduk kota itu (Solopos, 23 April 2016)

Marilah kita merenungkan nasib kota-kota di Indonesia. Perlukah kita membuat rangsangan dengan memberikan label kota islami agar para pemangku kebijakan mengejar target menjadikan kota-kota mereka agar menjadi kota idaman yang Islami seperti diwacanakan Maarif Institute melalui IKI?

Pak Joko mungkin orang beruntung yang mampu merasakan dua kota dengan atmosfer yang berbeda, Kota Solo (tanah kelahiran dan pendidikan) serta Minnesota (tanah karier dan kehidupan masa tua).

Advertisement

Dengan pembandingan tingkat keamanan, kesejahteraan, juga rasa bahagia yang ia alami, dengan singkat Pak Joko dapat menyimpulkan Minnesota ia anggap sebagai kota yang lebih islami dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia yang pernah ia kunjungi dan singgahi.

Tentu bukan karena kuantitas pemeluk agama Islam, bukan pula karena banyak agenda kegiatan bernapaskan Islam yang menjadi pertimbangan pribadi Pak Joko memberi lebel islami kepada sebuah kota, namun pengalaman pribadi yang ia rasakan, yang menggiring asumsi Pak Joko bahwa kota islami adalah kota yang memberi dampak langsung kepada kehidupan pribadinya tiap hari.

Apa yang dilakukan Maarif Institute tentu bukan hal yang sia-sia. Minimal dengan riset IKI yang dikelola Maarif Institute, kita semakin mengerti betapa kota-kota di Indonesia selama ini masih jauh dari harapan penghuninya.

Tempat singgah yang nyaman, rasa aman dalam bersosialisasi, kebahagiaan hidup yang sulit didapatkan, menjadi indikasi kita telah gagal mencipta kota idaman. Kemacetan, penggusuran, tingkat kriminalitas yang tinggi yang menjadi ciri khas kota di Indonesia semakin membuat kita miris merasai nasib kehidupan kota di Indonesia.

Advertisement

Masyarakat Indonesia yang terkenal agamais ternyata belum mampu berperan aktif dalam proses pembangunan ke arah yang lebih baik. Kota sebagai representasi kemajuan sebuah bangsa, terkesan masih jauh dari hasil yang patut kita banggakan kepada khalayak umum.

Seperti yang diungkapkan Soedjatmoko (1975), peranan agama di dalam usaha pembangunan memaksa kita untuk meneliti kehidupan beragama di Indonesia secara lebih saksama, mengingat kehidupan beragama merupakan ciri khas bangsa Indonesia pada umumnya.

Adanya bermacam-macam agama dan aliran kepercayaan di Indonesia membawa suatu problem yang khas, yang turut memengaruhi peranan agama itu masing-masing di dalam pembangunan bangsa. Tidak cukup, misalnya, hanya menyatakan agama saya pro pembangunan, pro keadilan sosial, dan pro demokrasi.

Tidak cukup pula jawaban bahwa agama yang bersangkutan anti kemiskinan dan anti keterbelakangan, tetapi penganut sebuah agama harus dapat menyatakan usaha mana yang harus didahulukan. Di sini masalahnya berkisar di sekitar berbagai imbangan-imbangan sosial antara berbagai faktor di dalam masyarakat yang perlu dimengerti dengan sungguh-sungguh.

Advertisement

Tidak cukup kiranya mengambil suatu sikap moral secara gampang-gampangan saja. Apa yang disampaikan Soedjatmoko tentu masih relevan hingga sekarang, apalagi mengingat agenda-agenda keagaamaan yang semakin tumbuh subur di tiap kota di Indonesia dewasa ini.

Agenda-agenda keagamaan yang dihadirkan hanya sebagai pelipur hati penduduk kota yang suntuk dengan segala hiruk-pikuk yang mereka alami setiap hari, namun tetap saja agenda keagamaan tersebut tak mampu mengubah wajah kota yang semakin bertambah murung menjadi terang benderang penuh kebahagiaan.

Persoalan sampah, tata kelola parkir yang buruk, dan sistem transportasi (publik) yang semrawut juga menambah daftar ciri khas kota kita. Kota terus mendapat imbuhan negatif dengan perilaku pemerintah dan penduduknya. Anehnya, kota masih memiliki daya tarik tersendiri untuk warga desa yang kian banyak yang berkeinginan mencicipi kehidupan kota yang kejam.

Mungkin kota islami atau tidak islami tak lagi penting untuk diperdebatkan. Selama ini kita salah persepsi dengan beranggapan kota yang islami adalah kota yang memiliki agenda keagamaan yang berlimpah, jumlah majelis taklim yang tumpah ruah, organisasi keagamaan yang terus tumbuh tanpa mampu dicegah.

Jika perilaku kita tetap saja tak mampu menciptakan kehidupan yang aman, tenteram, dan bahagia, semua itu akan terkesan sia-sia. Jumlah ulama yang terus diproduksi oleh majelis-majelis bernapaskan Islam, dengan agenda keagaamaan yang berbiaya puluhan bahkan ratusan juta rupiah, ternyata tidak manjur untuk menumbuhkan kesadaran warga dan pemerintah agar sesegera mungkin mencipta ruang kota yang aman, nyaman, dan tenteram. [Baca selanjutnya: Satire]Satire

Sering kali instruksi ilahiah yang difatwakan para pemuka agama kerap mengalami kegagalan dalam tatanan kehidupan jemaahnya. Corak pemikiran tentang hukum Islam di negeri ini pun masih banyak bersifat apologetic.

Advertisement

Coraknya hanya mampu mencanangkan suatu gambaran dunia terlalu ideal tempat hukum Islam ditandaskan dapat memberikan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi, dunia yang merupakan bagian dari kota Tuhan (civitas Dei) yang masih jauh dari jangkauan masa kini, dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan akutnya yang memerlukan penggarapan dan pemecahan segera.

Peranan hukum Islam hanya bersifat defensif, untuk mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekuler. Wajar jika kita melihat banyak tindakan yang mengatasnamakan agama terkesan begitu represif, melarang ini dan menentang itu.

Dengan kata-kata lain, sebagaimana diungkapkan sebagian pemikir Islam sendiri, hukum Islam baru berkarya menolak kemungkaran, kebatilan, dan kemaksiatan, dan belum mampu menjadi penganjur kebaikan dalam arti yang luas (Abdurrahman Wahid, Jombang, 14 juni 1975).

Kota-kota tetap saja dimaknai sebagai ruang pribadi masing-masing penghuni, bukan ruang milik bersama yang harus dijaga bersama-sama. Mereka menganggap ruang kota sebisa mungkin mampu menciptakan kenyamanan pribadi atau kelompoknya.

Selama tidak menguntungkan kehidupan pribadi masing-masing penduduknya, kota perlu disikapi secara emosional. Pantaslah kita sering menjumpai pelanggar lalu lintas, tindak pelanggaran moralitas, juga perilaku culas para pemuka kebijakan di wilayah kota.

IKI dan Pak Joko adalah sindiran sekaligus satire bagi penduduk kota di Indonesia. Penduduk kota yang semakin girang mencipta ruang-ruang keagamaan baru, tapi justru selalu gagal mencipta ruang kota yang agamais.

Setiap pekan atau bahkan setiap saat majelis-majelis keagamaan selalu dihadiri ribuan orang. Jemaah mayoritas hanya bisa mendengar dan mengucap ”amin” dalam tiap doa yang dipanjatkan, tapi dalam tindakan nyata mereka masih kebingungan harus berbuat apa demi terwujudnya kota yang aman, nyaman, dan tenteram.

Bersama pemuka agama, agenda keagamaan para pemangku kebijakan kota juga kerap kita jumpai, tetapi para pemangku kebijakan kota tak pernah tersadarkan untuk mencipta ruang kota idaman. Jika saya boleh berandai-andai, saya akan mengandaikan diri saya menjadi seorang ulama yang memiliki fatwa mujarab.

Saya akan memfatwakan tiap pekan para jemaah harus melakukan bersih kota bersama-sama. Bagi siapa saja yang melanggar aturan lalu lintas akan masuk neraka jahanam dan fatwa menggunakan transportasi umum adalah ibadah sunnah muakkad.

Kegandrungan warga kota mengikuti agenda keagamaan berbanding terbalik dengan bertambah buruknya nasib sebuah kota. Ini bukti konkret ada formulasi yang salah dalam mencipta ramuan agama untuk mengobati kesakitan kota yang semakin akut. Meskipun ribuan mulut penduduk kota telah melafalkan ayat-ayat suci, ribuan fatwa telah ditebar para pemuka agama di segala penjuru kota, tetap saja kota urung bergeser dari nasib yang semakin buruk.

Pemangku kebijakan (umara) dan pemuka agama (ulama) yang kerap hadir di tengah-tengah masyarakat kota seolah-olah hanya pertunjukan sirkus yang tak memiliki dampak apa-apa, selain sekadar pelipur duka sementara warga kota yang semakin sengsara lewat doa dan sambutan penuh wibawa.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif