Kolom
Jumat, 27 Mei 2016 - 05:00 WIB

GAGASAN : Kota-Kota Beraksara

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mohamad Fauzi Sukri (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (24/5/2016), ditulis peneliti di Bilik Literasi Solos Mohamad Fauzi Sukri.

Solopos.com, SOLO — Buku tak hanya merekam gerak kota, namun juga berkembang dalam kultur kota. Kita ingat kota tertua di dunia adalah Kota Jbail di Libanon. Kota ini mempunyai nama lain yang sangat khas Byblos yang dalam bahasa Yunani berarti buku.

Advertisement

Pada masa kejayaan kebudayaan (filsafat) Yunani, Byblos menjadi kota tua yang sesekali memunculkan buku-buku lawas antik berharga tinggi. Tentu saja sekarang Byblos bukan lagi kota penuh buku.

Kota berbuku terus bergerak dari satu pusat kota budaya ke kota budaya lainnya. Pada zaman naskah tulis tangan (pra-Gutenberg), kita mengenal kota-kota yang dihuni mayoritas umat Islam di Timur Tengah sampai ke daratan Eropa di Spanyol. Sayang, Indonesia tidak menangi masa kejayaan naskah itu.

Saat Gutenberg menciptakan alat pencetakan alfabet pada 1455 di Jerman yang sungguh begitu terhormat dan begitu berpengaruh, gerak kota berbuku perlahan-lahan dan dramatis pindah ke Eropa.

Advertisement

Perkembangan kampus yang disemarakkan oleh sains (ilmu alam empirisme), filsafat (ekonomi dan politik),  dan sastra; pertumbuhan kota-kota urban Eropa (juga Amerika Serikat kemudian) yang digerakkan juga oleh kolonialisme; bangkit pesatnya surat kabar di Eropa dan Amerika Serikat; perseteruan agama Kristen dan Katolik di Eropa dan persebarannya ke seluruh dunia; dan tentu saja melek alfabet yang hampir merata di Eropa menjadikan pusat-pusat kota Eropa sebagai kota berbuku.

Revolusi industri dengan mesin uap (khususnya sejak 1811) merevolusi sistem produksi massal percetakan. Kota pelabuhan Banten pada abad ke-17 boleh sedikit berbangga sebagai kota yang dinamis dan kosmopolitan dengan 150.000 penduduk.

Prancis pada masa yang sama hanya kota kecil (Dorléans, 2016: xxxvii), apalagi New York yang baru kedatangan para imigran dari Eropa. Urusan kota beraksara, teknologi cetak alfabet yang dikembangkan dari kesederhanaan alat Gutenberg tidak serta-merta diapresiasi dengan gempita, bergemuruh, dan massal di Nusantara.

Siapa yang berkehendak mencerdaskan masyarakat dengan perniagaan buku cetak hasil teknologi pada zaman naskah manuskrip di Nusantara itu? Naluri niaga untuk barang cetak memang tidak seperti penemu sistem satu huruf untuk satu bunyi, yakni orang Fenisia.

Advertisement

Kaum Fenisia banyak tinggal di kota pelabuhan Tirus dan Sidon yang ramai. Mereka kebanyakan menjadi saudagar yang sukses. Mereka menyebar di berbagai kota sehingga membutuhkan sistem berhuruf yang ringkas, efisien, dan memudahkan mencatat perdagangan dan mengirim surat kepada sanak saudara di rantau dan di rumah.

Bersama perniagaan ke berbagai kota penting dunia, tersebarlah sistem beraksara kaum Fenisia. Sistem berhuruf mereka diadopsi di seluruh dunia (Gombrich, 2016: 37).  Untuk membumikan mesin cetak dengan sistem satu huruf untuk satu bunyi di Nusantara tidak cukup mulus.

Isa Zubaidah (1972) pernah menulis disertasi berjudul Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Pelacakan Zubaidah menemukan fakta satu unit mesin cetak pernah dibawa ke Nusantara (Batavia?) dari Eropa oleh seorang misionaris DutchReformedChurch pada 1624—masa yang tidak begitu ketinggalan dibandingkan dengan Eropa.

Rencananya, mesin cetak mutakhir itu hendak digunakan untuk mencetak buku pelajaran (textbook) sekolah misionaris yang dikenal sebagai Sekolah Latin—menggunakan dan mempromosikan alfabet Latin, bukan aksara Jawa. Kenyataan yang tragis dan wagu, mesin cetak itu tidak digunakan karena tidak ada seorang pun yang bisa dan ahli mengoperasikannya. Aduh…

Advertisement

Seandainya ada niat menggunakan mesin cetak sebagai modal perniagaan barangkali mesin itu bisa segera mendapatkan seorang operator ahli. Sayang sekali, penerbit resmi pemerintah Hindia Belanda baru berdiri pada 1668 dan kebanyakan hanya mencetak keperluan perkantoran birokrasipolitik seperti mencetak buku undang-undang selain keperluan misionaris.

Baru pada 1815 berdirilah Vereeniging ter Bevordering van de Belangen den Boekhandels (Perkumpulan untuk Promosi Kepentingan Perdagangan Buku) di Belanda. Pedagang buku pertama di Hindia Belanda bernama L.D. Brest van Kempen yang sekaligus menjadi direktur Landsdrukkerij (Government Printing Press).

Ia menjual buku-buku sains dan sastra yang semuanya diimpor dari Netherlands (Zubaidah, 1972: 40). Kemungkinan besar buku-buku itu hanya beredar dan terjual di kalangan orang-orang Eropa. Sangat mungkin kalangan pribumi masih jauh dari jangkauan perniagaan buku hasil teknologi cetak itu.

Alasannya sederhana, huruf Latin yang lebih kompatibel dengan teknologi cetak belum banyak digunakan. Bahasa Melayu masih didominasi huruf Jawa dan baru diusulkan diganti dengan alfabet Latin pada 1860 oleh J. Pijnappel dalam karangan berjudul Over het Arabisch-Maleische Alphabet (Slametmuljana, 1965: 141).

Advertisement

Kenyataan ini tentu saja karena pemerintah Hindia Belanda hanya berhasrat perniagaan dan belum begitu mau masuk dalam dunia pendidikan-pengajaran sampai Politik Etis berusaha dijalankan dengan berdirinya Volkslectuur(Balai Pustaka) tahun 1910.

Di luar pemerintah dan orang Eropa, orang Islam mulai tergoda dan menggunakan teknologi cetak litografi ala Eropa Barat. Tentu awalnya orang Islam menolak karena dianggap tidak religius (bidah), irasional, dan tidak estetis.

Dari Kota Palembang, dengan percetakan sendiri seharga 500 gulden  yang dibeli di Singapura, Kemas Haji Muhammad Azhari mulai mencetak Alquran pada 1854 secara massal. Harga per eksemplar Alquran mencapai 25 gulden.

Harga ini setara biaya membeli manuskrip yang disalin secara profesional. Sudah pasti membuat modalnya kembali dan untung besar. Keberhasilan di Palembang kemudian ditiru di Surabaya dan berbagai kota lainnya (Laffan, 2015: 64). Buku-buku keislaman mencapai puncak kejayaan pada 1980-an dan 1990-an. [Baca selanjutnya: Pangkuan Asia]Pangkuan Asia

Di Indonesia meski sudah ada sekolah modern dan klasik (khususnya pesantren), percetakan pemerintah dan swasta, perniagaan buku yang mulai menguat, pabrik kertas, warga Indonesia tetap tidak menunjukkan semangat yang menggebu.

Jika menggunakan Balai Pustaka sebagai barometer literasi, kita hanya bisa mengatakan sejak 1917 (saat mulai mencetak buku anak untuk bocah-bocah pribumi) sampai 1968 Balai Pustaka hanya berhasil mencetak buku sekitar 2.300 judul.

Advertisement

Secara keseluruhan, penerbit swasta menerbitkan empat juta eksemplar pada 1969; Balai Pustaka menebitkan 7,5 juta eksemplar buku (Zubaidah, 1972: 86, 106). Angka yang sungguh keterlaluan memelas dan mesakke untuk pencerdasan sekitar 90 juta rakyat Indonesia.

Dengan standar apa pun, sungguh angka itu sangat rendah dan merendahkan martabat kemanusiaan warga Indonesia. Siapa yang mau dan berani protes? Menurut pemerintah dan para penerbit, masalahnya sungguh klasik dan sederhana: kekurangan dana, baik dari pemerintah, perusahaan swasta, ataupun dari masyarakat sendiri.

Perniagaan buku termasuk perdagangan yang bergerak dan saling mendukung antara idealisme dan komersialisme yang tak sepenuhnya bisa dipisahkan. Yang menarik tapi sekaligus mengenaskan dari populasi buku di Indonesia, kota-kota berbuku masih tetap sebagaimana pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang.

Menurut Biro Pusat Statistik (1955), seperti bisa diperkirakan, provinsi paling berbuku dengan jumlah percetakan terbanyak adalah Jawa Barat (206 percetakan), Jawa Timur (123 percetakan), lalu disusul Jawa Tengah (111 percetakan).

Di luar Jawa, Sumatra Utara adalah kawasan  berbuku terhebat dengan jumlah percetaka 113 unit, 21 percetakan di Kalimantan, 15 percetakan di Sulawesi, tiga percetakan di Maluku, empat percetakan di Nusa Tenggara (Zubaidah, 1972: 80).

Proporsi dan skala kota berbuku itu sampai sekarang tidak banyak berubah, tentu dengan perubahan angka. Yang perlu diperhatikan barangkali adalah kemunduran (bahkan kemandekan!) Sumatra Utara sebagai pusat percetakan dan perbukuan di Indonesia.

Kota pusat buku di Indonesia selain Jakarta tentu saja adalah Jogja yang menyuplai kebutuhan buku secara nasional sampai sekarang, mengalahkan kota-kota lain di Indonesia. Di Solo pada 1954 ada 20 percetakan, tujuh penerbit, dan 31 toko buku (ada juga yang merangkap sebagai percetakan).

Kalau kita melihatnya di jalan-jalan sekitar Solo dan membandingkannya dengan yang dimuat dalam buku Pekan Buku Indonesia 1954, hampir sebagian besar toko buku dan penerbit tersebut sudah tidak ada lagi.

Toko buku Budi Laksana yang dulu di Jl. Diponegoro sudah hampir tutup. Toko ABC masih tetap bertahan, cuma sudah tidak menjual buku lagi, hanya menjual koran, majalah, tabloid, atlas.

Penerbit dan percetakan Siti Sjamsijah di Secoyudan No. 28 sudah tidak ada lagi. Banyak toko yang sudah tumbang, ada juga yang tumbuh, seperti toko buku Gramedia dan Togamas.

Kebangkitan dan keambrukan kota-kota buku memang melibatkan banyak faktor yang tidak sepenuhnya bersifat ekonomis. Kota-kota di Eropa Barat bangkit sebagai pusat-pusat buku bersama dengan kebangkitan ilmu pengetahuan, perkembangan urban, dan ekonomi politik global.

Begitulah habitat buku di seluruh kota di dunia. Saat ini, kita mulai mendapati tanda-tanda perkembangan ekonomi politik ”kembalinya sejarah” di pangkuan Asia sesuai dengan proporsi populasi penduduknya secara global.

Semua itu belum berarti kota-kota di Asia bakal kembali menjadi kota penuh aksara—selain Jepang. Lihatlah gerak aksara di kota Anda dari rumah sendiri, sebelum ke sekolah, kantor, pasar, mal, stasiun, bandara, taman rekreasi, warung, atau tentu saja ke toko buku dan perpustakaan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif