Kolom
Sabtu, 26 September 2015 - 07:40 WIB

GAGASAN : Krisis dan Paket Kebijakan Ekonomi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Desmon Silitonga (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (25/9/2015), ditulis Desmon Silitonga. Penulis adalah analis senior PT Millenium Capital Management.

Solopos.com, SOLO — Sejumlah kalangan mulai merasakan dampak dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang telah menyentuh level Rp14.730/US$. Industri yang berbasis impor sangat terpukul oleh pelemahan rupiah ini. Beban usaha naik signifikan, padahal penjualan cenderung turun akibat merosotnya daya beli.

Advertisement

Oleh sebab itu, jika tidak ada upaya untuk mengurangi beban industri ini, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akan lebih masif lagi dari yang terjadi saat ini. Menurut Konfederasi Serikat Kerja Seluruh Indonesia (KSKSI), jika nilai tukar rupiah terus melemah, potensi PHK di berbagai daerah bisa mencapai 100.000 orang.

Tentu ini akan mendorong peningkatan pengangguran, padahal sepanjang September 2014-Februari 2015 telah ada tambahan pengangguran baru sebanyak 300.000 orang (BPS, 2015). Yang lebih dikhawatirkan ialah akan mendorong perekonomian masuk ke jurang krisis seperti yang terjadi pada 1997/98.

Sebagai kilas balik, pada 1997/98, perekonomian domestik dihantam krisis yang pemicunya berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah yang sangat dalam. Krisis ini makin besar akibat dua hal.

Advertisement

Pertama, rapuhnya penerapan tata kelola dan manajemen risiko di sektor perbankan yang termanifestasi dari dua kesalahan fatal, yaitu kredit jangka pendek dipakai untuk mendanai proyek jangka panjang (maturity mismatch) dan kredit dalam denominasi valuta asing (valas) dipakai untuk membiayai proyek yang penerimaannya dalam bentuk rupiah (currency mismatch).

Kedua, suburnya praktik korupsi di pusaran elite kekuasaan. Krisis ini memberikan dampak yang sangat buruk pada perekonomian saat itu. Ini dapat dilihat dari besarnya ongkos penanggulangan krisis yang mencapai Rp650 triliun (50% dari produk domestik bruto atau PDB) dan bersumber dari APBN.

Ini merupakan ongkos krisis terbesar di dunia dalam sejarah penanggulangan krisis ekonomi suatu negara. Krisis ini juga efek tularan (contagion effect) dari distabilitas politik dan keamanan serta hancurnya ikatan harmoni sosial kemasyarakatan oleh aksi kriminalitas dan sentimen ras. Krisis ekonomi 1997/98 menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia. [Baca: Fundamen Lebih Baik]

Advertisement

 

Fundamen Lebih Baik
Oleh sebab itu, wajar ketika sejumlah kalangan mengkhawatirkan munculnya krisis seperti 1997/98 akibat pelemahan nilai tukar rupiah yang terus terjadi. Meskipun begitu, jika merujuk pada indikator makroekonomi, fundamen perekonomian domestik saat ini sudah jauh lebih lebih dibandingkan 1997/98.

Ini dapat dilihat dari data berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi saat ini (meski melambat) masih bisa tumbuh positif di level 4,7%-4,9% dibandingkan pada 1998 yang terkontraksi minus 13%. Kedua, pelemahan rupiah saat ini masih sekitar 16% dibandingkan 1998 yang mencapai 572% (dari Rp2.477/US$ menjadi Rp16.650/US$).

Ketiga, cadangan devisa untuk amunisi stabilisasi rupiah saat ini mencapai US$105,35 miliar dibandingkan pada 1998 yang hanya US$17,4 miliar. Keempat, kondisi inflasi saat ini relatif terkendali di level 7% dibandingkan pada 1998 di level 82,4%.

Kelima, suku bunga acuan saat ini di level 7,5% sementara pada 1998 di level 60%. Keenam, posisi utang pemerintah terhadap PDB saat ini di level 24,7% yang berarti jauh lebih rendah dibandingkan pada 1998 yang di level 100%.

Ketujuh, kondisi sektor perbankan saat ini jauh lebih sehat dibandingkan 1998 yang dapat dilihat dari rasio kecukupan modal (CAR) dan net performing loan (NPL).

Kedelapan, ruang fiskal saat ini relatif lebih baik hasil dari penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) senilai Rp221 triliun. Dana tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan roda ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan investasi sosial.

Bukan itu saja, indikator makroekonomi yang positif ini juga ditopang oleh terjaganya stabilitas politik, keamanan, dan sosial. Oleh sebab itu, perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih siap dalam menghadapi gejolak, khususnya dari ketidakpastian eksternal, yakni penundaan kenaikan suku bunga acuan The Fed dan pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang jadi motivasi didevaluasinya mata uang Yuan. [Baca: Paket Ekonomi]

 

Paket Ekonomi
Meskipun begitu, hanya dengan mengandalkan indikator makroekonomi tentu tidak cukup, mengingat tantangan ke depan masih sangat berat. Itulah sebabnya kehadiran paket ekonomi tahap I yang dirilis pemerintah pada 9 September lalu, lima paket kebijakan moneter oleh Bank Indonesia (BI), serta stimulus dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan kemudahan membuka rekening bagi warga negara asing (WNA) dapat memberikan dua hal positif.

Pertama, akan mendorong kepercayaan investor asing yang dalam beberapa bulan terakhir cenderung turun. Ini dapat dilihat dari derasnya aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar modal. Kedua, mengangkat perekonomian yang sedang lesu.

Meski begitu, paket ekonomi ini akan lebih powerful jika dapat dieksekusi secara konkret. Harus diakui bahwa kebijakan ekonomi yang selama ini telah banyak dirilis pemerintah selalu tersendat dalam eksekusinya sehingga tidak memberikan kepastian yang merupakan hal yang diminta investor.

Bukti dari bermasalahnya eksekusi ini dapat dilihat dari lambannya penyerapan belanja pemerintah. Sampai dengan Juli 2015, realiasi belanja pemerintah baru Rp913,5 triliun (46% dari pagu APBN-P 2015 senilai Rp1984,1 triliun). Ini turut berkontribusi pada rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Oleh sebab itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus memimpin langsung implementasi paket ekonomi tahap I ini dan lanjutannya mengingat cakupannya yang luas sehingga membutuhkan koordinasi, kekompakan, konsistensi, dan fokus.

Dalam buku Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998 (Fredy B.L Tobing, 2013) disebutkan bahwa figur personal seorang presiden dalam mengatasi krisis, khususnya ekonomi, lebih menentukan dibandingkan institusinya.

Hingga saat ini, sosok Jokowi masih diapresiasi sebagai sosok yang mengabdi tulus untuk menyejahterakan rakyatnya. Semoga Presiden Jokowi dan seluruh jajarannya mampu menghadapi tantangan perekonomian yang tidak mudah ini, menghelanya dari tarikan krisis, dan mendorong kesejahteraan rakyat yag sesungguhnya. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif