Kolom
Sabtu, 7 November 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Menanti Gebrakan APBN 2016

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Desmon Silitonga (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (6/11/2015), ditulis Desmon Silitonga. Penulis adalah senior analis pada PT Millenium Capital Management.

Solopos.com, SOLO — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen yang dimiliki pemerintah untuk memengaruhi siklus perekonomian. Menurut Musgrave (1989), APBN memainkan peran dalam tiga hal, yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Advertisement

Keberhasilan Indonesia melewati tekanan krisis keuangan global 2008 dan bisa tumbuh positif pada 2009, pada saat seluruh kawasan global mengalami kontraksi, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan pemerintah saat itu memainkan peran APBN, khususnya dalam memegaruhi daya beli (konsumsi) agar tetap tumbuh.

Bagaimanapun, konsumsi yang merupakan mesin utama (main engine) pertumbuhan harus tetap berkinerja baik, apalagi ketika krisis terjadi. Itulah sebabnya, peran APBN 2016 sangat dinantikan gebrakannya, khususnya dalam memitigasi dampak ketidakpastian eksternal dan sekaligus menstimulasi mesin pertumbuhan.

Harus diakui tekanan yang terjadi pada mesin pertumbuhan sepanjang tahun ini tidak dapat dilepaskan dari tidak maksimalnya peran APBN. Asumsi dasar makroekonomi di APBN 2016, yaitu pertumbuhan ekonomi di level 5,3%, inflasi di level 4,7%, SPN 3 bulan di level 5,5%, nilai tukar rupiah di level Rp 13.900/US$, ICP di level US$50/barel, lifting minyak bumi 830.000 barel per hari (bph), dan lifting gas 1.155 ribu barel setara minyak per hari.

Advertisement

Adapun postur APBN ialah total penerimaan Rp1.820,5 triliun (naik 3,34% dari APBN-P 2015). Penerimaan ini akan diperoleh dari penerimaan perpajakan Rp1.546,66 triliun (naik 3,86%) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp124,9 triliun (turun 54%).

Sementara itu, total belanja mencapai Rp2.095,72 triliun (naik 5,63%). Belanja ini akan dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat Rp1.325,55 triliun (naik 0,45%) dan alokasi dana transfer daerah dan desa Rp770,17 (naik 15,88%)

Dengan postur seperti ini maka APBN 2016 masih akan mengalami defisit neraca primer (jumlah belanja lebih besar dari penerimaan di luar pembayaran utang) Rp88,24 triliun. Nilai defisit ini naik dari APBN-P 2015 senilai Rp66,8 triliun.

Advertisement

Tren ini sudah terjadi sejak 2012. Salah satu penyebabnya ialah masih terjadinya pemborosan pada belanja birokrasi dan barang. Dengan desain seperti ini maka defisit sekunder menjadi  Rp273,18 triliun (2,15% dari PDB) atau naik Rp225,1 triliun (1,9% dari PDB).

Dibutuhkan pembiayaan Rp273,18 triliun untuk menutup defisit ini. Dengan kata lain, pemerintah masih belum bisa lepas dari tekanan utang. Sampai September 2015, total nilai outstanding utang pemerintah mencapai Rp3.091 triliun (24,7% dari PDB). [Baca: Perubahan]

 

Perubahan
Jika dicermati lebih jauh, ada beberapa perubahan yang terjadi dalam APBN 2016 ini dibandingkan dengan APBN sebelumnya. Pertama, meningkatnya alokasi untuk belanja infrastruktur menjadi Rp303,3 triliun atau naik 8,3% dari APBN-P 2015.

Meski belanja belum bisa mencapai di atas 5% dari PDB, seperti beberapa negara lain di Asia, namun hal ini patut diapresiasi karena memberi sinyal bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur.

Harus diakui buruknya kondisi infrastruktur menjadi salah satu faktor yang membuat rendahnya daya saing ekonomi domestik. Ini tercermin dari indeks daya saing global yang dirilis World Economic Forum (WEF) 2015-2016 yang menempatkan Indonesia di posisi ke-37 atau turun tiga tangga dari tahun 2014-2015. Peringkat Indonesia masih tertinggal dari Singapura (ke-2), Malaysia (ke-18), Tiongkok (ke-28), dan Thailand (ke-32).

Oleh sebab itu, dengan alokasi belanja infrastruktur yang besar ini, pemerintah harus memastikan dana ini terserap dengan maksimal. Masalah penyerapan ini membuat pembangunan infrastruktur sulit untuk diakselerasi.

Kedua, naiknya alokasi dana transfer daerah dan desa yang mencapai Rp770,17 triliun. Baru tahun ini alokasi dana untuk daerah di atas belanja kementerian dan lembaga. Ini merupakan bentuk komitmen Nawa Cita pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Meskipun begitu, pemerintah harus memastikan bahwa dana yang besar dapat  tersampaikan dengan baik. Harus diakui bahwa hanya sebagian kecil daerah/desa yang dapat memaksimalkan alokasi anggaran ini untuk membangun sektor produktif yang dapat memberikan efek berantai pada perekonomian daerah.

Sebaliknya, dana yang besar ini lebih banyak diparkir di perbankan daerah (BPD) untuk mengharapkan keutungan dari bunga. Sampai September 2015, dana daerah yang menganggur di bank daerah mencapai Rp290 triliun. Untuk itulah, mekanisme reward and punishment harus konsisten dijalankan agar kondisi seperti ini semakin bisa diminimalkan.

Ketiga, terpangkasnya alokasi yang cukup signifikan untuk subsidi energi menjadi Rp102,08 triliun dari Rp137,82 triliun. Penurunan nilai subsidi yang cukup signifikan ini tidak lepas dari berkurangnya subsidi untuk listrik dari Rp73,15 triliun menjadi Rp38,38 triliun.

Sebagaimana diketahui, untuk 2016, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan untuk mencabut subsidi terhadap 20 juta pelanggan rumah tangga golongan daya 450 VA dan 900 VA.

Pencabutan subsidi ini di satu sisi akan mengurangi beban APBN dan PLN dapat mendorong profitabilitas sehingga dapat dialokasikan untuk investasi pembangunan pembangkit (power plant). Langkah ini diharapkan dapat mengejar pertumbuhan permintaan yang terus meningkat tiap tahun.

Di sisi lain, pencabutan subsidi akan menambah beban ekonomi masyarakat, apalagi golongan 450 VA dan 900 VA merupakan golongan masyarakat menengah bawah. Penghilangan subsidi akan menekan daya beli, padahal tahun ini saja kemampuan daya beli masyarakat cenderung tergerus sebagai dampak dari penghapusan subsidi bensin dan tekanan harga kebutuhan bahan pangan.

Itulah sebabnya pemerintah harus cermat mengukur dampak dari pencabutan subsidi listrik ini. Meskipun pemerintah saat ini mengarahkan APBN agar lebih produktif, kondisi jangka pendek (konsumsi) jangan sampai terabaikan.

Bagaimanapun, saat ini konsumsi masih sebagai pilar pertumbuhan. Tentu, indikator keberhasilan pemerintah dalam memainkan peranan APBN terlihat dari apakah kesejahteraan masyarakat mengalami perbaikan atau malah sebaliknya. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif