Kolom
Sabtu, 14 September 2013 - 08:57 WIB

GAGASAN : Negeri Subur untuk Paradoksal

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Al. Waryono aloyswaryono@yahoo.co.id Guru SMKN 2 Klaten Alumnus Pascasarjana Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung

 

Al. Waryono
aloyswaryono@yahoo.co.id
Guru SMKN 2 Klaten Alumnus Pascasarjana Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung

Advertisement

Menyebalkan bahkan memuakkan jika kita menyaksikan lagi dan lagi perilaku koruptif penyelenggara negeri ini. Seandainya para pahlawan kusuma bangsa bisa bangkit kembali pasti akan menangis sedih menyaksikan keadaan  negeri ini. Kemerdekaan yang diraih dengan harta benda, jiwa, raga, dan darah yang suci ternyata di mana-mana telah dikianati dan diisi sesuka hati.

Negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi, kaya raya tanah airnya ternyata rakyatnya tetap miskin dan  menderita. Negeri yang dikenal toleran dan relegius ternyata perselisihan, kekerasan, bahkan pembunuhan atas nama perbedaan terus mewarnai perjalanan bangsa. Negeri yang luhur ajarannya, mulia cita-citanya, dan kaya semangat kesatria, ternyata miskin pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab yang patut dilihat untuk dijadikan teladan.

Yang ada ternyata para penguasa atau raja-raja kecil yang egois, manja, lebih banyak meminta, mengambil, bahkan merampok daripada memberi untuk kebaikan negeri ini. Setiap upacara bendera, Pancasila sebagai dasar negara dibacakan dan ditirukan semua peserta. Lagu Indonesia Raya berkumandang di seantero Nusantara. Sang Saka Merah Putih dikibarkan di mana-mana, mulai dari Istana Negara, Gedung DPR, kantor-kantor pemerintah dan swasta. Dalam setiap amanat mereka, para pemimpin begitu bersemangat, terlihat baik, bijaksana, kata-katanya begitu indah, menggema, membuat semua peserta upacara berdecak penuh kekaguman.

Advertisement

Mereka berjanji bahkan bersumpah bahwa hidup hanya untuk kepentingan rakyat. Tetapi rakyat yang mana? Mengapa karut-marut aneka persoalan politik, hukum, ekonomi, dan sosial bangsa seolah-olah tak pernah berujung? Demikian juga moralitas Jawa dan semua agama selalu mengingatkan bahwa hidup di dunia ini ibarat mung mampir ngombe, tidak lama. Hidup di alam madya hanyalah titipan, dan sewaktu-waktu pasti akan diambil-Nya.

Apa yang dilakukan manusia dalam persinggahan yang singkat dan fana ini akan menentukan nasib dan arah perjalanan selanjutnya. Setiap orang akhirnya akan ngundhuh wohing panggaw, memetik buah sesuai apa yang ditanamnya, itulah hukum karma. Tuhan Sang Maha Adil telah menyediakan hadiah surga bagi yang takwa dan hukuman neraka bagi yang jahat. Tetapi mengapa korupsi terus menggurita dan di mana peran agama?

Sudah 68 tahun merdeka, rakyat kecil negeri ini masih sulit membedakan mana masa perjuangan dan mana masa menikmati kemerdekaan. Dari dulu sampai sekarang rakyat masih harus berjuang dan terus berjuang. Lawan mereka bukan lagi kolonialis asing melainkan pasukan keangkuhan, kerakusan, keserakahan, kesewenang-wenangan dari para pemimpinnya sendiri.

Hakikat pemimpin sebagai pelayan di mana-mana dijungkir balik sesuka hati. Kesempatan yang dimiliki dioptimalkan untuk memenuhi ambisi. Rakyat hanya dijadikan alat untuk menggapai prestasi, gengsi, citra diri, meski diraih dengan penuh kebohongan. Rakyat didekati ketika dibutuhkan (pemilihan umum atau pemilu). Setelah terpilih, segera terbang tinggi sibuk dengan jati dirinya, yakni kepentingan pribadi atau golongannya.

Advertisement

Hampir setiap hari dapat disaksikan lagi dan lagi, pelbagai kasus penyelewengan wewenang baik lokal sampai tingkat nasional. Anehnya, negeri yang terkenal tinggi tingkat korupsinya tidak ada yang merasa bersalah. Yang korupsi jutaan rupiah masih merasa bersih, suci, dan merasa sedikit yang diambil dan kemudian ikut menghujat yang korupsinya miliaran rupiah.

Demikian pula yang korupsi miliaran rupiah masih merasa baik dan merasa toleran dibandingkan yang triliunan rupiah. Apalagi hasil korupsinya sebagian juga disumbangkan untuk membangun tempat ibadah, lembaga pendidikan, membantu orang sakit, panti asuhan, fakir miskin, dan program kerakyatan. Rasanya hidup di negeri ini tidak ada yang kurang dan salah apalagi Tuhan Maha Pengampun.

Maka prinsip hidupnya hanya satu: thegas=thethek ora nggagas. Tak peduli sumpah atau janji. Tak peduli potret sejarah zaman ini kelak akan ditempel, diceritakan, dan dikecam sebagai zaman yang penuh kemunafikan dan kebusukan. Tak peduli perilaku korupsi akan berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan  rakyat kecil yang tidak tau apa-apa harus ikut menanggungnya.

Tak perduli perilakunya akan dijadikan model tunas-tunas muda harapan bangsa. Tak peduli dengan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kemanusiaan, dan ketuhanan, semua terasa lenyap dari dalam dirinya. Inikah zaman yang pernah diramal dan digelisahkan para pujangga yang berlahan tapi pasti akan terjadi negeri ini? Zaman edan.

Advertisement

Zaman di mana ketika ora ngedan ora keduman. Atau, zaman kalabendhu, zaman dengan ungkapan luhur kang ginayuh ananging asor kang pinanggih. Atau, zaman kleptolitikum, zaman yang secara kasatmata keserakahan, kerakusan, dan ketamakan telah membutakan mata hati dan membatukan nurani. Kleptomania adalah gangguan kejiwaan. Berakar dari diksi Yunani kleptein=mencuri, serta mania=kegemaran. Penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk tidak mencuri atau korupsi.

Di zaman ini siapa yang mau menghormati orang yang jujur dan sederhana hidupnya? Bahkan orang seperti itu malah dianggap bodoh dan gagal hidupnya. Sukses kebendaan kini menjadi budaya, lambang, bahkan agama baru yang harus diperjuangkan. Satu-satunya nilai yang terus membayanginya adalah bagaimana sukses, kaya, dan berkuasa selama-lamanya, entah bagaimana cara meraihnya.

Tak peduli etika, moral, dan agama. Kalau perlu korupsi, kolusi, dan nepotisme, atau menjual harga diri, yang penting tidak ketinggalan dengan yang lainnya. Di zaman ini terkenal mendadak, sukses tiba-tiba, dan kaya di luar sistem kerja di Indonesia dianggap wajar dan bahkan dianggap memang seharusnya begitu.

Mungkinkah para pemimpin yang sedang mabuk kemewahan dan kedudukan betul-betul memikirkan rakyat? Mungkinkah para penguasa yang secara matematika hanya pandai menghitung, mengalikan, menambah, dan menerima  tetapi tidak punya hati untuk berbagi betul–betul memikirkan rakyatnya? Mungkinkah para elite yang sedang terbuai kemewahan dan kenikmatan dunia sungguh-sungguh mau memikirkan dan mendekati rakyat kecil yang kotor, miskin, dan menderita?

Advertisement

 

Split Personality

Menurut Abdul Munir Mulkhan, para elite/pemimpin negeri ini sedang mengalami split personality. Di satu sisi kelihatan begitu baik, alim, suci, cerdas, pandai, arif, dan bijaksana ketika berbicara soal undang-undang, pasal, hukum, etika, moral, dan agama. Apalagi kalau berbicara dan berdebat tentang program-program kerakyatan.

Ide-ide mereka terus mengalir deras tidak pernah berhenti. Semangat dan tenaga mereka terus berlimpah-limpah. Untaian kata-kata mereka begitu indah dan memesona. Mereka bersumpah seluruh hidup mereka hanya akan dicurahkan demi dan untuk kesejahteran seluruh rakyat Indonesia, tetapi sayangnya semua ucapan mereka tidak disikapi sendiri secara kritis.

Yang terjadi adalah kontradiksi, paradoks, paradoksal tumbuh subur. Antikorupsi ternyata terjerat korupsi. Antipornografi ternyata hobi mengoleksi dan menikmati hal-hal yang berbau porno. Semangat membela rakyat bersamaan dengan semangat memeras rakyat. Ahli hukum, tetapi senang mempermainkan hukum.

Ketika rakyat kecil sedih atas apa yang harus dimakan, bingung karena lahan kehidupan digusur paksa demi modernisasi kota, pusing dengan biaya pengobatan dan biaya pendidikan, para pemimpin malah semakin gemuk berlemak karena tamak. Terhadap berita-berita tentang penderitaan, kemiskinan, penggusuran, gelandangan, kekerasan, dan kematian, yang mulia hanya bisa maklum. Maklum demi pembangunan dan modernisasi.

Advertisement

Semua itu secara simbolis memberi gambaran tentang suatu peradaban yang menyepelekan rakyat. Sementara pengendali rasionalitas adalah para pemimpin yang tak pernah mau merasakan sengsaranya menjadi orang kecil, tak peduli beratnya orang kecil mempertahankan hidup untuk mengais sesuap nasi.

Ketika para elite terjerat kasus korupsi, tindak asusila, penipuan, dan mempermainkan hukum yang mulia ini tiba-tiba sakit lupa, berbohong, dan menjadi pengecut, tidak mau mengakui kesalahannya. Sebaliknya kompromi-kompromi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terus dilakukan demi keselamatan bersama.

Kontrol sosial dari luar atas perilaku berdasarkan kebenaran, kejujuran, rasa kemanusiaan, analisis ilmu pengetahuan atas dampak perilaku dianggap enteng dan tak akan digubris. Karakter bangsa saat ini menurut Komarudin Hidayat sedang terusik oleh perilaku-perilaku koruptif yang dilakukan oleh sebagian anak-anak bangsa ini.

Yang menyedihkan lagi banyak di antara pelaku korupsi ternyata rajin menjalankan ibadah puasa sunah Senis dan Kamis. Lebih menyedihkan lagi, para koruptor tersebut sebagian besar intelektual yang pemahaman agamanya sangat mumpuni. Ini menunjukkan bahwa antara tingkat ketaatan formal agama tidak berbanding lurus dengan perilaku-perilaku positif.

Agama yang semestinya menjadi landasan, etika, dan spirit dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara sering dijadikan alat politik untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Negeri yang didasari Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata sulit meng-Esa-kan Tuhan. Tuhan seakan-akan hanya ada di tempat ibadat dan upacara-upacara keagamaan semata.

Di luar sana, di gedung, kantor, hotel, mobil mewah, tempat perjudian, pelacuran, dan di aset-aset milik negara seakan-akan Tuhan tidak ada lagi sehingga bebas berbuat sesuka hati termasuk korupsi.

Maka, kalau para pahlawan kusuma bangsa menangis sedih menyaksikan perilaku koruptif para elite dan keadaan negeri ini, sebaliknya Sigmund Freud, sang tokoh ateis, dan para pengikutnya  tertawa bangga. Ajarannya yang ditentang dan dihujat para rohaniwan ternyata lebih disukai, dihayati, dan dinikmati, bahkan tumbuh sumbur di negeri yang luhur ajarannya ini.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif