Kolom
Jumat, 3 Juni 2016 - 07:02 WIB

GAGASAN : Pancasila, Tionghoa, dan Bung Karno

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hendra Kurniawan (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (1/5/2016), ditulis Hendra Kurniawan. Penulis adalah dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Tanggal 1 Juni 1945 menjadi hari yang bersejarah. Pada tanggal tersebut Bung Karno menyampaikan pidatonya mengenai dasar negara di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Advertisement

Dalam pidato itu Bung Karno mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yang diberi nama Pancasila. Secara genealogis historis, 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Usul Bung Karno ini mendapat sambutan hangat dari para anggota BPUPKI.

Anggota BPUPKI berjumlah 60 orang yang diketuai dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Anggota BPUPKI terdiri atas tokoh-tokoh organisasi politik, keagamaan, etnis, dan golongan.  Kalangan etnis Tionghoa diwakili empat orang tokoh, yakni Liem Koen Hian, Oie Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoie, dan Tan Eng Hoa.

Advertisement

Anggota BPUPKI berjumlah 60 orang yang diketuai dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Anggota BPUPKI terdiri atas tokoh-tokoh organisasi politik, keagamaan, etnis, dan golongan.  Kalangan etnis Tionghoa diwakili empat orang tokoh, yakni Liem Koen Hian, Oie Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoie, dan Tan Eng Hoa.

Dalam pidato 1 Juni 1945 itu Bung Karno mengungkapkan dasar Nationalstaat sebagai satu kesatuan dari ujung Sumatra sampai Papua. Nationalstaat atau kebangsaan Indonesia ini bersifat bulat dan utuh.

Bukan lagi kebangsaan Jawa, Sumatra, Borneo (Kalimantan), Selebes (Sulawesi), Bali, atau lainnya. Dasar kebangsaan Indonesia ini secara mufakat disetujui oleh semua anggota BPUPKI.

Advertisement

Kosmopolitanisme menganggap semuanya menscheid, perikemanusiaan menjadi yang utama dan tidak ada entitas kebangsaan. Ini berbeda dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia yang menyadari status dan masa depannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Ketika itu tampillah tokoh-tokoh Tionghoa nasionalis yang mengajak masyarakat Tionghoa untuk sepenuhnya mendukung perjuangan meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Pemikiran ini muncul diawali semangat modernisasi Tiongkok atau nasionalisme Tiongkok yang dicetuskan dr. Sun Yat Sen. [Baca selanjutnya: Tumbuhnya Nasionalisme]Tumbuhnya Nasionalisme

Menjelang awal abad ke-20, bersamaan dengan kekalahan Tiongkok atas Jepang, mulai bangkit rasa nasionalisme Tionghoa. Hal ini memengaruhi kaum Hoakiau, termasuk masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Advertisement

Kali pertama muncul gerakan kaum muda Tionghoa atau Jong Chineesche Beweging. Gerakan ini memprotes aturan diskriminasi zona tempat tinggal Pecinan (wijkenstelsel) dan aturan surat jalan (passenstelsel) yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat Tionghoa.

Berikutnya pada 17 Maret 1900 di Batavia berdiri Tionghoa Hwee Koan (THHK) yang membuka sekolah-sekolah Tionghoa. Berdirinya THHK disusul lahirnya berbagai surat kabar Tionghoa dalam bahasa Melayu Tionghoa.

Surat kabar itu seperti Li Po (1901) di Sukabumi, Pewarta Soerabaia (1902) dan Loen Boen (1903) di Surabaya, Djawa Tengah (1909) di Semarang, serta Sin Po (1910) di Batavia. Ini semakin memperkuat rasa persatuan Tionghoa di Hindia Belanda.

Advertisement

Kesadaran nasionalisme Indonesia pun mulai tumbuh di kalangan Tionghoa. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang digelar di rumah seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong juga dihadiri empat pemuda Tionghoa, yakni Kwee Thiam Hong, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie.

Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI), pada masa pergerakan menegaskan bahwa Indonesia merupakan tanah air bagi golongan Tionghoa. Berbagai latar belakang ini kemudian mendorong masyarakat Tionghoa mendukung gagasan kebangsaan Indonesia. [Baca selanjutnya: Semua Buat Semua]Semua Buat Semua

Bung Karno mengakui pemikirannya tentang kebangsaan terinspirasi pula dari dr. Sun Yat Sen. Tahun 1918, dr. Sun Yat Sen dalam tulisannya berjudul San Min Cu I atau The Three Peoples Principles menanggalkan pemikiran kosmopolitanisme.

San Min Cu I adalah tiga prinsip pokok rakyat atau Trisila, yakni Min Chu (nasionalisme), Min Chuan (demokrasi), dan Min Seng (keadilan sosial). Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada tokoh modernisasi Tiongkok itu.

Bung Karno menempatkan Tionghoa sebagai bagian dari sejarah berdirinya negara Indonesia. Banyak tokoh Tionghoa nasionalis yang berperan dalam upaya mencapai kemerdekaan.

Selanjutnya dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) juga terdapat perwakilan Tionghoa, yakni Drs. Yap Tjwan Bing yang ikut mengesahkan UUD 1945 (dan Pancasila ada di dalamnya). Jejak mentifact dan sociofact ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara keberadaan masyarakat Tionghoa dengan Bung Karno dan Pancasila yang menjadi buah pikirnya.

Sadar akan bahaya nasionalisme yang berlebihan (chauvinisme), Bung Karno menegaskan bahwa my nationalism is humanity. Kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang menyendiri. Selain itu dalam kebangsaan tersebut, berbagai perbedaan yang kodrati sebagai manusia (sunatullah) dihargai sebagai keniscayaan.

Bung Karno sejak awal telah menyatakan negara Indonesia yang berdiri saat ini didasarkan atas prinsip semua buat semua. Dengan Pancasila, Indonesia ada bukan untuk kelompok, agama, atau golongan tertentu namun Indonesia buat Indonesia!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif