Kolom
Kamis, 4 Februari 2016 - 05:00 WIB

GAGASAN : PNS Membebani Anggaran Negara

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mulyanto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (3/2/2016), ditulis Mulyanto. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Kepala  Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah LPPM UNS.

Solopos.com, SOLO — Pada pengujung 2015, pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, disibukkan dengan pengisian data secara online dalam program pendataan ulang PNS secara elektronik (e-PUPNS 2015) yang diadakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Jakarta.

Advertisement

Hingga 31 Desember 2015, ada 106.038 PNS yang belum melakukan e-PUPNS 2015. PNS kategori ini masih diberi kesempatan mendaftar ulang dengan persyaratan tertentu hingga 31 Januari 2016. Apabila sampai batas waktu yang ditentukan, PNS yang bersangkutan belum juga mendaftar dan mengisi e-PUPNS 2015, maka yang bersangkutan dinyatakan tidak berstatus sebagai PNS dan keberadaannya dihapus dari data PNS nasional di BKN.

Data BKN (2015) menunjukkan hingga Juni 2015 jumlah seluruh PNS di Indonesia 4,53 juta jiwa dengan perincian PNS daerah 3,59 juta jiwa (79,23%) dan PNS pusat 0,94 juta jiwa (20,77%) (lihat tabel 1). Komposisi PNS daerah yang dominan membuat keberadaan mereka menggerus anggaran daerah (baca: anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD), khususnya untuk pos belanja pegawai dalam kelompok belanja tidak langsung (BTL).

Advertisement

Data BKN (2015) menunjukkan hingga Juni 2015 jumlah seluruh PNS di Indonesia 4,53 juta jiwa dengan perincian PNS daerah 3,59 juta jiwa (79,23%) dan PNS pusat 0,94 juta jiwa (20,77%) (lihat tabel 1). Komposisi PNS daerah yang dominan membuat keberadaan mereka menggerus anggaran daerah (baca: anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD), khususnya untuk pos belanja pegawai dalam kelompok belanja tidak langsung (BTL).

Sebagai akibatnya alokasi untuk kelompok belanja langsung (BL) yang menyentuh kehidupan masyarakat banyak hanya kebagian porsi yang relatif kecil, yaitu berkisar 25%-40% dari keseluruhan belanja dalam APBD di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.

Kondisi tersebut yang kemungkinan dipakai sebagai dasar oleh  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan & RB), Yuddy Chrisnandi, melontarkan wacana pengurangan PNS hingga satu juta orang sampai dengan 2019. Pernyataan ini kemudian mendapat tanggapan beragam dengan berbagai alasan yang menyertainya.

Advertisement

Tabel 1 dan 2

[Baca selanjutnya: Kontroversial]

Kontroversial   

Advertisement

Pernyataan Menpan & RB yang menyoroti pengurangan PNS hingga satu juta orang sampai 2019 ditanggapi oleh kepala BKN, Bima Haria Wibisana. Ia menyatakan jumlah PNS akan berkurang sedikitnya 500.000 orang secara alamiah karena pensiun hingga 2019.

Solusi lain yang ditawarkan kepada pemerintah untuk mengurangi jumlah PNS adalah dengan menyediakan program pensiun dini bagi PNS dengan bonus yang menarik atau dengan mengadakan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi PNS yang berkinerja rendah.

Data BKN (2015) yang memerinci PNS berdasar pendidikan dan jenis kelamin menunjukan sebagian besar PNS berpendidikan sarjana S1 (1,98 juta orang atau sekitar 43,83%), PNS dengan pendidikan SMA (1,19 juta orang atau sekitar 26,38%),  dan PNS dengan pendidikan diploma (D1 sampai D4) 0,95 juta orang atau sekitar 20,90%. PNS berpendidikan diploma dan sarjana S1 secara umum didominasi PNS berjenis kelamin perempuan (lihat tabel 2).

Advertisement

Program pensiun dini maupun PHK sebaiknya mempertimbangkan tingkat pendidikan maupun jenis kelamin dengan alasan agar PNS yang berkualitas tetap bertahan, sementara yang tidak memberikan kontribusi besar dalam pencapaian tujuan negara melalui peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dikurangi.

Dengan jumlah PNS 4,53 juta jiwa dan jumlah penduduk sekitar 249,9 juta jiwa, secara persentase masih menunjukkan angka sekitar 1,81%. Angka ini menurut ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sofian Effendi, masih jauh dari kondisi ideal sebagaimana di banyak negara, misalnya Singapura, Malaysia, dan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.

Di negara-negara tersebut angka minimal rasio PNS terhadap jumlah penduduk sekitar 2%. Angka ini perlu dicapai untuk menjaga agar gerak pemerintahan dan pelayanan  publik tetap berjalan secara optimal.

Berbagai kontroversi di atas mengisyaratkan PNS di Indonesia perlu ditata agar keberadaan mereka mampu dan dapat memberikan andil bagi pencapaian kemajuan bangsa dan negara melalui peningkatan kualitas pelayanan publik dan tidak sebaliknya, yaitu hanya memberikan beban berat terhadap anggaran publik (baik APBN maupun APBD). [Baca selanjutnya: Penataan  PNS]Penataan  PNS

Dengan rasio ideal tingkat perbandingan antara PNS dan jumlah penduduk sekitar 2%, setiap daerah, khususnya kabupaten/kota, bisa mulai menghitung berapa  rasio yang ada di daerah tersebut. Jika angkanya sudah sekitar 2%, sebaiknya dengan sadar diri tidak usah menambah PNS untuk beberapa kurun waktu mendatang.

Lebih baik berkonsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan aparatur, baik melalui jenjang pendidikan bergelar maupun pendidikan nongelar. Di samping itu, analisis beban kerja (ABK) pegawai juga perlu diterapkan. Inti dari ABK yaitu menentukan ketepatan jumlah pegawai yang disesuaikan dengan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) dan juga tugas pokok dan fungsi (tupoksi).

ABK pegawai yang tepat diharapkan bisa membawa pencapaian visi dan misi daerah secara ekonomis (terkait pemanfaatan dana), efisien (terkait pencapaian keluaran/output), dan efektif (terkait pencapaian hasil/outcome).  Jika ABK berhasil, konotasi PNS menghabiskan anggaran akan dapat dikurangi/diminimalisasi.

Hal yang tidak kalah penting dalam penataan PNS adalah dominasi politik yang dimainkan eksekutif (kepala daerah dan wakilnya) dan legislatif (ketua DPRD dan anggotanya). Dominasi ini harus dikurangi dan digantikan dengan kaidah/pertimbangan kompetensi dalam penempatan pegawai dalam SOTK yang tepat.

Konsep menempatkan orang pada tempat yang tepat (the right man on the right place) harus menjadi dasar/landasar dalam penataan PNS, baik di pusat maupun di daerah. Sebagai catatan akhir, hasil pemilihan kepala daerah 9 Desember 2015 harus menjadi momentum yang tepat bagi para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih untuk menata PNS yang akan dijadikan mesin penggerak birokasi untuk menuju kejayaan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Jika hal ini berhasil, adagium bahwa PNS hanya membebani anggaran tidak akan ada lagi dan diganti dengan pujian bahwa PNS mampu membawa daerah ke arah kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan karena PNS mampu memberikan pelayanan publik yang optimal bagi masyarakat. Apakah semua ini bisa tercapai? Jawabnya terletak pada sejauh mana upaya kita untuk mewujudkanya sebagaimana pepatah “di mana ada kemauan, di situ ada jalan”.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif