Kolom
Kamis, 2 Juni 2016 - 01:00 WIB

GAGASAN : Pohon Cemara dan Kota Kita

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Guntur Wahyu Nugroho (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (31/5/2016), ditulis pemerhati dinamika Kota Solo Guntur Wahyu Nugroho.

Solopos.com, SOLO — Apabila Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo memberikan izin terhadap rencana penebangan delapan batang pohon cemara di jalur jalan kota kawasan ruang terbuka hijau (RTH) Manahan maka kisah pahit cemara menjadi tumbal bagi berdirinya Plaza Soekarno akan membekas di memori kolektif masyarakat Solo.

Advertisement

Yang memunculkan rasa miris adalah paduan suara para wakil rakyat yang sulit menghilangkan kesan bahwa mayoritas anggota DPRD Kota Solo tidak lebih sebagai petugas hubungan masyarakat (humas) pemerintah kota, corong sekaligus alat propaganda pihak eksekutif yang efektif dan efisien.

Secara umum, argumentasi yang coba dibangun oleh pihak-pihak yang mendukung penebangan pohon cemara di kawasan Manahan bertumpu  pada  Perda No. 10/2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama Pasal 56 ayat (1) dan (2).

Bunyi Pasal 52 ayat 1 adalah ”Setiap orang dapat mengajukan permohonan penebangan pohon dan/atau tanaman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) kepada SKPD yang membidangi kebersihan dan pertamana”.

Advertisement

Sedangkan bunyi Pasal 56 ayat (2 )adalah ”Setiap orang yang mengajukan permohonan penebangan pohon dan/atau tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menanam pohon dan/atau tanaman pengganti sejenis paling sedikit 10 (sepuluh) kali dari jumlah pohon dan/atau tanaman yang akan ditebang dengan tinggi tanaman pengganti paling pendek tiga meter”.

Yang menarik adalah klausul yang tercantum dalam ayat-ayat berikutnya yang menegaskan penebangan tersebut diperbolehkan setelah  mendapatkan persetujuan dari Wali Kota Solo.

Secara implisit, penebangan pohon dan/atau tanaman bisa jadi tidak diperbolehkan karena Wali Kota Solo tidak mengeluarkan atau memberikan ijin terkait permohonan itu.  Lalu, atas dasar apa Wali Kota memutuskan mengeluarkan izin maupun tidak?

Dasarnya adalah rekomendasi dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi lingkungan hidup, dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Solo. Bagaimana pula tata cara dan tata kerja BLH dalam mengkaji untuk menilai layak tidaknya pohon dan/atau tanaman ditebang?

Advertisement

BLH berpedoman pada peraturan Wali Kota Solo mengenai tata cara  pemberian rekomendasi. Bisa saja BLH memberikan rekomendasi pohon cemara di Manahan tidak layak ditebang dan Wali Kota Solo tetap mengeluarkan izin penebangan pohon-pohon tersebut atau juga bisa berlaku sebaliknya.

Mungkin BLH malah bersikap asal bapak senang (ABS) dengan mengeluarkan rekomendasi sesuai yang dikehendaki wali kota. Pada skenario pertama keputusan wali kota berdasarkan pada kepentingan ekonomi–politik semata, bukan kepentingan publik.

Sedangkan pada skenario kedua, BLH berlaku tidak profesional dengan memilih melempar bola panas kepada wali kota dan bermain aman. Ketika suatu produk rekomendasi yang berdasarkan kajian dibuat karena pesanan maka rekomendasi tersebu manipulatif dan membohongi publik.

Tentu publik berharap pada skenario ketiga, yaitu BLH memaparkan secara transparan hasil kajiannya dan mengajak publik untuk berdialog untuk menepis prasangka dan spekulasi. Siapa tahu kalau pun toh hasilnya adalah penebangan, publik dapat memberikan solusi alternatif membangun tanpa menebang. [Baca selanjutnya: Kebanalan Kekuasaan]Kebanalan Kekuasaan

Advertisement

Apabila kita menjadikan Pasal 56 ayat (1) dan (2) sebagai mantra yang ampuh memuluskan penebangan dan berasumsi tidak ada masalah mengganti setiap pohon untuk ditebang dengan 10 pohon baru, maka akan habislah pohon di Kota Solo.

Keputusan seperti itu buah dari sesat pikir akibat membaca teks-teks hukum secara parsial dan positivistik dengan mengabaikan semangat zaman, konteks, makna, serta keterkaitan perda dengan produk-produk hukum yang lainnya.

Produk hukum lainnya itu khususnya UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang secara hierarkis lebih tinggi yang menjadi dasar acuan PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Perda Kota Solo No. 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Solo Tahun 2011–2031, dan Perda Kota Solo No. 10/2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Interpretasi tersebut apabila ditelanjangi lebih jauh ternyata menyembunyikan kedok banalitas kekuasaan yang ingin memonopoli kota sekaligus menjauhkan atau menyingkirkan publik untuk turut memikirkan kotanya.

Advertisement

Bahwa urusan kota adalah urusan eksekutif dan legislatif serta SKPD atau birokrat terkait, padahal perda yang sama pada Pasal 63 secara eksplisit mengakomodasi peran masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, memberikan saran, usul, pendapat, keberatan, informasi, bahkan pengaduan dengan tujuan meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sangat tidak masuk akal apabila hanya karena masalah estetika, menghalangi pandangan, atau hal-hal yang tidak prinsip, pohon cemara harus dikorbankan. Kecuali memang pohon tersebut setelah dikaji dinyatakan membahayakan keselamatan umum, rapuh, dan rawan tumbang.

Mengapa demikian? Undang-undang mengamanatkan kepada  pemerintah kota untuk menambah ruang terbuka hijau (RTH) publik menjadi minimal seluas 20% dari total luas wilayah kota.

Artinya,  Pemerintah Kota Solo masih harus bekerja keras untuk mengejar kekurangan 10,83%. Data ini dari Sistem Informasi Geografis atau SIG tahun 2015 yang dipakai oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Solo dalam laporan akhir Penyusunan Dokumen Peta Tutupan Vegetasi & Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Surakarta.

Dengan luas RTH publik yang sampai saat ini  berada di angka 9,17% akan sangat naif apabila permohonan penebangan pohon dikabulkan dan tidak berdasarkan pada kegawatdaruratan dan pertimbangan keselamatan publik.

Semakin naïf apabila melakukan justifikasi dan rasionalisasi penebangan pohon cemara di Manahan terkait dengan kepentingan pembangunan Plaza Soekarno.

Advertisement

Eksekutif dan legislatif selayaknya membuka diri terhadap masukan, kritik, dan partisipasi  dari publik sebagaimana semangat yang dieksplisitkan dalam Perda Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan.

Bisa saja pemerintah kota bersikap kepala batu dan tidak mengindahkan kritik, masukan, dan saran dari publik dengan “membiarkan” pohon cemara di Manahan ditebang, namun pemerintah kota perlu terus-menerus diingatkan bahwa pohon bukanlah hak milik pemerintah.

Pohon merupakan milik publik, milik bersama. Orang-orang yang terbiasa berkuasa dan berada di lingkaran kekuasaan supaya menyadari bahwa kota terlalu besar dan kompleks untuk hanya diurus oleh eksekutif, legislative, dan birokrat. Kota tidak bisa lagi hanya didefinisikan dan dimaknai oleh penyelenggara kota zonder partisipasi warga kotanya sendiri.

Isu tentang penebangan pohon kelihatan pinggiran dan remeh namun mampu mendinamisasi sebuah kota dengan keterlibatan aktif warga kota menyuarakan isu tersebut. Ini belum menyentuh isu-isu kota lainnya seperti kemacetan, banjir, saluran air, dan lain-lain.

DPRD Kota Solo sebagai lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan kota sebetulnya tidak kekurangan bahan untuk  jadi sparing partner dengan pemerintah, namun entah kenapa lebih memilih menjadi stempel kebijakan pemerintah kota.

Bukankah dengan kondisi yang demikian menjadi wajar dan masuk akal apabila mulai banyak warga kota yang gerah dan kemudian mengekspresikan kecintaan terhadap kotanya secara kreatif dan dengan demikian  mendinamisasikannya?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif