Kolom
Rabu, 2 Desember 2015 - 09:00 WIB

GAGASAN : Politik Kepala Desa

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (1/12/2015), ditulis M. Fauzi Sukri. Penulis adalah peminat kajian ekonomi politik, pendidikan, dan filsafat.

Solopos.com, SOLO — Namanya Wirahmat. Dia adalah sekretaris desa pada 1953 sampai 1957, lalu naik pangkat menjadi kepala desa periode 1957-1960, dan sekali lagi menjadi kepala desa pada 1981-1990.

Advertisement

Ia juga menjabat di Lembaga Masyarakat Desa (LMD),  Ketua Kehormatan Golongan Karya (Golkar), dan  menjabat pula di Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).

Masa jabatan yang begitu lama itu dilakoninya di desa yang oleh seorang peneliti disebut Desa Sariendah, Majalaya, Jawa Barat. Wirahmat adalah orang terkaya di Desa Sariendah, keturunan Subana yang pada 1930-an memiliki ratusan hektare tanah di Majalaya.

Pada masanya, Wirahmat memiliki lima hektare sawah yang disewakan atau bagi hasil, 3,3 hektare sawah bengkok, kebun buah yang luas, dan penggilingan beras. Wirahmat tentu saja manusia yang paling berkuasa dan yang terpandang secara ekonomi dan politik.

Advertisement

Dalam masa kepemimpinannya, Desa Sariendah pernah mendapatkan penghargaan sebagai desa teladan. Seperti dikisahkan dan dianalisis Han Antlov (2002: 242) dalam Negara dan Desa Patronase Kepemimpinan Lokal, dalam perjalanannya ini pada dasarnya Wirahmat melangkah dari seorang pejuang yang melindungi desanya menjadi seorang pejabat rendahan di birokrasi Indonesia.

Wirahmat melangkah dari seorang tokoh suri teladan rakyat desanya menjadi anasir pinggiran administrasi negara. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, Wirahmat adalah pejuang untuk kepentingan warga desanya.

Semuanya mulai berubah sejak penguasa negara mulai merangsek ke wilayah kekuasaanya di desa melalui sistem birokrasi pemerintahan dan partai politik, juga modal asing.

Perlahan, Wirahmat mulai berubah mengikuti arus modernisasi desa yang dijalankan Orde Baru. Rezim Orde Baru memberinya kekuasaan yang sangat besar dan tak terkontrol dalam sistem budaya politik desa.

Advertisement

Korupsi mulai menjangkiti pemerintahan desa yang sayangnya bukan  hanya terfokus di desanya, tapi berjaringan secara hierarkis dan birokratis ke tingkat yang lebih atas.

Sering terjadi uang pembangunan desa senilai Rp1,5 juta dari pemerintah pusat hanya sampai Rp1,3 juta ke tangan pemerintah desa, sebagian hilang dalam perjalanan dari kantor kebupaten dan kantor camat. Kepala desa tetap diharuskan mempertanggungjawabkan dan melaporkan Rp1,5 juta.

Kepala desa sesekali harus mengembalikannya dengan mengambil dari uangnya sendiri. Tentu saja kepala desa juga sering mengorupsinya (juga) dengan berbagai laporan manipulatif untuk menutupi biaya kampanye pemilihannya dan demi kemakmurannya sendiri.

Wirahmat tentu saja bukan hanya satu tokoh, tapi laku Wirahmat hampir menjadi kelaziman dalam sistem mikropolitik lokal di desa. Banyak analisis perihal perilaku kepala desa yang telah dilakukan pada masa pembangunanisme Orde Baru, baik yang akhirnya menjadi kritik atau menjadi anjuran bagi kebijakan pemerintah.

Advertisement

Sebagian besar analisis yang berakhir menjadi anjuran, khususnya yang paling disukai pemerintah Orde Baru, adalah memerhatikan pola kerangka modernisasi yang terutama dijalankan para kepala desa.

Modernisasi telah merombak budaya desa secara besar-besaran di seluruh Indonesia, dimasukkan dalam sistem birokrasi negara sebagai pemantapan derap pembangunan. Tak cukup dengan itu. Golkar masuk desa—plus “ABRI masuk desa” yang mengesankan zaman perang (lagi), selain “koran masuk desa”—membentuk pola hubungan baru dalam politik desa, menjadi sangat hierarkis dan birokratis, juga militeristik.

Secara umum, hasilnya hampir persis dengan kebalikan dari niat modernisasi. Sebagian desa mungkin berhasil, tapi sebagian besar begitu rentan terhadap politisasi kepala desa dan begitu riskan terhadap kapitalisasi modal-modal desa yang sudah terlanjur dibuka bahkan untuk perusahaan internasional.

Uang yang semula dimaksudkan untuk membangun desa malah hanya menjadi alat pengeruk kekayaan desa. Uang itu begitu cepat bergerak ke kota, dan dari kota-kota di Indonesia mengalir ke pusat-pusat kuasa ekonomi dunia.

Advertisement

Inilah yang kemudian membuat gagasan ekonomi struktural begitu keras dan kuat mengkritik dan menghantam dasar paradigma modernisasi ekonomi. Kemiskinan, kemelaratan, kejumudan, dan keterbelakangan bukanlah disebabkan kebodohan warga dalam mengelola ekonomi dan politik, tapi akibat keculasan struktur ekonomi yang hanya mau mengisap kekayaan desa.

Campur tangan negara di dalam urusan-urusan desa, kata Han Antlov (2002: 242), melalui birokrasi negara, partai politik penguasa, dan modal asing telah menghasilkan kepala desa yang tidak mampu memerintah tanpa perlindungan pemerintah.

Kepala desa seperti Wirahmat yang pernah menjadi kepala desa kebanggaan berubah dari kepala desa yang cakap, cekatan, peduli, menjadi kepala desanya pemerintah-penguasa, bukan kepala desa warga desa, dan akhirnya musuh bersama warga desanya.

Dia juga kehilangan budaya kepemimpinan yang pernah dibanggakan warga desa. Rumah Wirahmat yang dahulu menjadi ”ruang publik” warga untuk urusan ekonomi dan politik desa kemudian menjadi ruang yang menakutkan, juga tak bisa diharapkan lagi sebagai ruang penolong kesusahan.

 

Patron Baru
Tentu saja kisah politik Wirahmat sudah sedikit banyak berbeda sejak Orde Baru dengan Golkar sudah tidak lagi menjadi pelaku monopoli birokrasi di desa-desa. Sekarang  penguasa Orde Baru bisa dianggap sudah berakhir, namun gagasan-gagasannya tak sepenuhnya terakhiri.

Advertisement

Malah sering yang terjadi hanya semacam pergantian pemain saja dengan sistem yang tak begitu banyak berubah secara mendasar. Yang terutama mengambil alih kekuasaan desa adalah partai politik, juga sistem ekonomi internasional yang mulai mengukuhkan kekuasaannya di desa-desa.

Yang agak ironis, hampir sebagian besar kepala desa malah berkeinginan menjadi birokrat atau pegawai negeri. Sejak reformasi 1998 dengan perubahan sistem pemilihan kepala daerah yang begitu drastis, kepala desa mulai membentuk patron baru dalam perilaku politiknya.

Kepala desa tidak lagi berpatron penguasa yang berhierarkis dalam sistem birokrasi, tapi sudah beralih kepada partai politik yang berkuasa di wilayahnya. Reformasi memang membuat partai politik harus bergerak ke masyarakat, termasuk di tingkat desa, yang membuatnya begitu kuat dalam peta kuasa politik.

Terjadilah perebutan suara warga desa oleh calon-calon kepala daerah melalui jalur birokrasi desa yang menganggap kepala desa bisa memerintah warga desa. Sekarang penguasa merasa (dan memang cukup hanya merasa saja!) mereka mampu mengucurkan uang ke desa, padahal uang itu secara konstitusional wajib diserahkan kepada warga desa untuk kemajuan pembangunan desa dan warga desa.

Kuasa hierarki dan uang hendak dipadukan untuk menguasai warga desa.

Mungkin kepala desa, juga calon pemimpin daerah itu, lupa bahwa warga desa sejak Orde Baru sering memprotes kepala desa mereka. Pada tahun 1980-an dan yang terus terjadi sampai tahun 2000-an ini, banyak pemilihan kepala desa yang dimenangi kotak kosong.

Sejarawan Kuntowijoyo (1994: 153) menilai kemenangan kotak kosong atas calon kepala desa adalah protes terhadap status quo kepemimpinan sentralistik yang lebih memihak dan menguntungkan para elite politik lokal dan nasional.

Warga desa bukan sekelompok manusia goblok yang bisa dikibuli begitu saja. Mereka bisa memprotes bahkan melawan politik kepala desa (Solopos, 28 November 2015). Kita seharusnya sadar bahwa kita hidup di zaman yang meminta segala keterbukaan (transparansi) kuasa politik dan kebebasan berpolitik.

Kita berharap demokrasi di tingkat lokal desa/kampung tidak berubah menjadi arena kekerasan fisik akibat politisasi birokrasi pejabat pemerintahan desa/kampung. Era kepala desa seperti Wirahmat sudah seharusnya berakhir.

Kita juga berharap kepala desa, calon kepala daerah, juga pemimpin di tingkat nasional, tidak melakukan cara-cara yang licik dan munafik ndalam berpolitik, termasuk penyanderaan dana desa yang menjadi hak warga desa.

Demokrasi yang kita dambakan bukanlah demokrasi kekanak-kanakan yang penuh dengan ancaman dan tipu muslihat. Kehidupan desa, pembangunan ekonomi dan politik desa, serta kemajuan budaya desa membutuhkan demokrasi yang berjalan damai dan bermartabat.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif