Kolom
Minggu, 5 Juni 2016 - 09:10 WIB

GAGASAN : Trafficking Mengintai Keluarga Kita

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Eko Setiawan (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (3/6/2016), ditulis Eko Setiawan. Penulis adalah peneliti trafficking anak di Jawa Tengah Direktur Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (Kompip) Solo.

Solopos.com, SOLO — Beberapa hari lalu Solopos memberitakan 19 remaja asal beberapa daerah di Soloraya menjadi korban perdagangan anak (child trafficking) di Kalimantan Timur. Mereka rata-rata seusia siswa SMP dan SMA.

Advertisement

Mereka dipekerjakan di sejumlah tempat hiburan malam di kawasan Barong Tongkol, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Selain bekerja memandu tamu laki-laki yang karaoke atau menemani berbincang-bincang, mereka juga dibayar untuk melayani hasrat seksual para tamu dengan terlebih dahulu menenggak minuman keras.

Bayaran sebagai pemandu karaoke Rp70.000/jam, kalau mau minum minuman keras ditambah Rp50.000/jam. Anak-anak tersebut mengaku tak berani pulang. Mereka diawasi ketat. Mereka juga takut keluar karena lokasi kafe di tengah-tengah hutan.

Kisah di atas menambah daftar kasus perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Baru-baru ini kita disuguhi berita-berita di televisi, media online, koran, tentang maraknya kekerasan seksual terhadap anak.

Advertisement

Presiden Joko Widodo mengategorikan kejahatan ini sebagai kejahatan luar biasa dan meresponsnya dengan menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Anak adalah yang orang yang berusia di bawah 18 tahun. Definisi ini mengacu UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Definisi yang sama tercantum dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Definisi perdagangan dan migrasi anak merujuk UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Pasal 1, 2, 3, 4, dan 17.

Perdagangan dan migrasi anak adalah perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seorang anak dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsauan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasinya anak tersebut.

Indonesia telah meratifikasi Protokol Palermo (disahkan PBB pada 15 November 2000) mengenai  pencegahan, penindakan, dan penghukuman perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak dalam bentuk UU No. 14/2009.

Advertisement

Suatu tindakan dikategorikan sebagai perdagangan (dan migrasi) anak apabila telah cukup memenuhi dua unsur pokoknya saja, yakni proses dipindahkannya si anak dan tujuan perpindahannya untuk dieksploitasi, sedangkan mengenai caranya bisa diabaikan.

Ini sesuai dengan UU No. 14/2009 khususnya Pasal 3(b) yang menekankan cara-cara bagaimana anak yang menjadi korban perdagangan itu dijebak, ditipu, atau dikelabui untuk dipindahkan atau dimigrasikan bisa dianggap tidak perlu lagi digunakan.

Kasus trafficking adalah fenomena gunung es. Data di permukaan tampak kecil akan tetapi banyak kasus tersembunyi dan belum terungkap sebab data resmi yang diperoleh dari lembaga-lembaga terkait adalah data permukaan atau berdasar pada kasus yang dilaporkan atau yang telah diproses hukum.

Kenyataannya kerap kali terjadi para korban trafficking tidak melapor karena takut, malu melaporkan, atau keluarga sendiri tidak berani melaporkan kasusnya karena dianggap aib dan akan mencemarkan nama baik keluarga.

Advertisement

Menurut data International Organization for Migration (IOM), jumlah perdagangan manusia atau human trafficking  di Indonesia periode Maret 2005 hingga Desember 2014 menempati posisi pertama, paling banyak di antara negara-negara tempat terjadinya human trafficking di dunia.

Pada periode itu di Indonesia ada 6.651 orang atau sekitar 92,46% dari kasus human trafficking di dunia dengan perincian korban perempuan usia anak 950 orang dan perempuan usia dewasa 4.888 orang. Sedangkan korban lelaki usia anak 166 orang dan lelaki dewasa 647 orang.

Dari sejumlah 82% adalah perempuan yang bekerja di dalam dan di luar negeri untuk eksploitasi tenaga kerja. Sedangkan sisanya (18%) merupakan lelaki yang mengalami eksploitasi sebagai anak buah kapal (ABK) pencari ikan atau buruh lainnya, termasuk di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, Sumatra, Papua, dan Malaysia.

Dari sisi daerah tempat terjadinya tindak pidana pedagangan orang (TPPO) di Indonesia, Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dengan jumlah korban 2.151 orang atau 32,35%. Posisi kedua Jawa Tengah dengan korban 909 orang atau 13,67%. Disusul Kalimantan Barat dengan korban 732 orang atau 11%.

Advertisement

Data trafficking (dewasa dan anak) dari instansi-instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat di Jawa Tengah berbeda-beda. Laporan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3AKB) Jawa Tengah menujukkan kasus trafficking yang ditangani dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2010–2015) adalah 49 kasus.

Korban trafficking 158 orang. Korban dewasa 100 orang dan korban anak-anak 58 orang. Semuanya perempuan. Pelaku trafficking 31 orang (21 laki-laki dan 10 orang perempuan). Kasus terbanyak pada 2010 dengan 16 kasus dan 2014 dengan sembilan kasus.

Paling sedikit terjadi pada 2013, yaitu lima kasus. Pada tahun tersebut korban trafficking terbanyak, yaitu 55 orang, yang mencakup korban dewasa 31 orang dan korban anak 24 Orang. Catatan Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang menunjukkan dalam kurun waktu 2012-2015 tercatat 49 kasus trafficking di Jawa Tengah dengan jumlah korban 85 orang.

Korban dewasa dan anak hanya ada pada 2013 dan 2014 saja, yaitu 85 orang  (korban dewasa 39 orang dan anak 46 orang dari 39 kasus). Dari data perdagangan orang/anak yang dilaporkan/ditangani Polda Jawa Tengah dalam kurun waktu 2013–2015 terdapat 12 kasus trafficking yang ditangani/dilaporkan dengan koban 50 orang (33 dewasa dan 17 anak) dan telah ditangkap 20 pelaku.

Sebaran kasus eks Karesidenan Pekalongan, eks Karesidenan Banyumas, eks Karesidenan Kedu, eks Karesidenan Pati, dan eks Karesidenan Surakarta. Dari data tersebut mayoritas trafficking bertujuan eksploitasi seksual. [Baca selanjutnya: Penyebab Umum]Penyebab Umum

Penyebab umum atau modus trafficking anak biasanya iming-iming gaji besar, membantu ekonomi keluarga, kebutuhan untuk makan sehari-hari, karena sudah tidak ada perhatian dari keluarga, membantu membayar utang orang tua, ketidaknyamanan di rumah, anak korban pemerkosaan, pelecehan seksual, karena merasa sudah tidak suci lagi sehingga merasa tidak masalah untuk masuk ke pelacuran anak dan kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup (hedonisme).

Advertisement

Perkembangan teknologi Internet, seperti media sosial, semakin memudahkan interaksi dengan berbagai individu secara global. Bentuk kejahatan perdagangan anak ini memang cukup rumit dan kompleks, dari yang terselubung hingga yang kasatmata, baik terorganisasi (sindikat) maupun tidak, dan dapat terjadi di berbagai tempat di perkotaan, perdesaan, atau lintas negara (cross border).

Sering terjadi perbedaan pemahaman terhadap tindakan/perbuatan masuk kategori perdagangan anak atau bukan. Menurut A.E. Priyono (LP3ES)  ada lima lapis untuk melihat fenomena perdagangan anak dari yang terselubung (belum terungkap) hingga yang tampak di permukaan (yang ditangani aparat penegak hukum).

Pertama, fenomena laten/tersembunyi (fenomena anak jalanan, pengemis, pengamen jalanan). Kedua, ruang privat (korban kekerasan domestik seperti anak menjadi pembantu rumah tangga). Ketiga, tenaga kerja (perburuhan anak, seperti pekerja anak di sektor industri/formal). Keempat, sindikasi pelacuran (sex exploitation). Kelima, fenomena tampak permukaan (yang ditangani aparat penegak hukum).

Tujuan tindak perdagangan anak (child trafficking) dapat dibagi menjadi dua, yang pertama antarnegara (cross border) dan yang kedua dalam negara. Untuk dalam negeri bisa dalam satu provinsi maupun antarprovinsi/antarpulau.

Regulasi maupun kebijakan di tingkat pusat hingga tingkat daerah  tidak menjamin bisa mengurangi kejahatan perdagangan anak kalau tidak didukung peran serta semua pihak (pemerintah, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum) hingga level keluarga.

Hal ini terkait pemahaman dan kesadaran bersama akan bahaya kejahatan perdagangan anak yang bisa saja dialami oleh keluarga kita. Hal yang paling utama adalah menekan akar masalah klasik kejahatan ini, yaitu kemiskinan.

Anak-anak dari rumah tangga miskin lebih rentan mengalami ketimpangan di berbagai dimensi hidup (Bartlett 2011, Susenas 2013). Faktor kemiskinan ini kerap kali menjadi latar belakang utama terjadinya trafficking anak.

Beratnya tuntutan untuk mencukupi kebutuhan hidup dalam sebuah keluarga mengakibatkan sering kali anak  menjadi korban. Anak harus membantu ekonomi keluarga. Akhirnya putus sekolah.

Rendahnya pendidikan menyebabkan terbatasnya pengetahuan serta pilihan pekerjaan. Pilihan hanya menjadi kuli bangunan, buruh kasar, dan yang sejenis. Kondisi ekonomi ini kerap kali menjadi pintu masuk anak diperdagangkan.

Perdagangan anak ini dilakukan oleh perorangan atau oleh mafia perdagangan anak. Mereka dieksploitasi secara ekonomi, seperti untuk pelacuran anak, buruh anak, dan lain-lain.

Menurunnya fungsi keluarga (disorganisasi) sering menjadi penyebab yang lain sehingga anak menjadi korban perdagangan manusia.  Anak yang kurang kasih sayang dan perhatian orang tua biasanya akan lari mencari perhatian di dunia luar dan ini menjadi pintu masuk ke pergaulan bebas, terjebak pada kelompok kejahatan, salah satunya trafficking anak.

Faktor budaya juga berkontribusi terhadap trafficking pada anak, seperti perkawinan dini serta konsumerisme (hedonisme). Dalam konteks trafficking anak, penegakan hukum sangat penting sebab sering terjadi perbedaan persepsi dalam menerapkan UU dan proses pembuktian yang masih konvensional.

Pelaporan dengan UU No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), tapi dalam proses persidangan yang terbukti adalah Undang-Undang Perlindungan Anak atau Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Kerap kali vonis bagi pelaku perdagangan orang tidak memenuhi ekspektasi pelapor dengan rendahnya vonis pengadilan atas kasus trafficking dengan korban anak dan pelaku trafficking dihukum dengan pidana yang ringan sehingga kurang memberikan efek jera bagi pelaku trafficking.

Advertisement
Kata Kunci : Gagasan Gagasan Solopos
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif