SOLOPOS.COM - Gamaliel Septian Airlanda, dosen PGSD Universitas Kristen Satya Wacana. (Istimewa)

Tahun ini di Indonesia, Hari Kasih Sayang di Tahun 2024 dirayakan dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Inilah cara melepas pro dan kontra netizen yang sering meributkan Valentine Day budaya siapa dan patut ditiru atau tidak.

Jangan salahkan netizen +62 yang maha kuasa berkomentar, karena sudah diakui dunia bahwa Indonesia memanglah negara berjuta budaya. Bicara tentang budaya, negara ini juga memiliki budaya gonta-ganti kurikulum ketika ganti menteri pendidikan.

Nah, budaya yang satu ini juga harusnya tidak lepas dari pengamatan netizen maha tau. Kondisi ini memicu kegelisahan para praktisi pendidikan, termasuk saya, ketika Pemilihan Umum (Pemilu) tiba. Siapa menteri pendidikannya?

Perlu diakui, pendidikan di Indonesia merupakan produk politik yang memuat kepentingan. Secara positif adalah kepentingan kemajuan bangsa, namun secara negatif adalah kepentingan penguasa yang merasa mengetahui mana yang benar menurutnya.

Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia kini masih menganut paham ganda, yaitu: Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. Keduanya masih diterapkan pada sekolah-sekolah di seluruh wilayah Nusantara.

Dalih penyempurnaan kurikulum dalam menghadapi krisis pascabencana luar biasa Covid-19 menjadi bumbu di Buku Saku Kurikulum Merdeka. Di sisi lain, istilah Student Centered Learning atau pembelajaran yang mengedepankan siswa sebagai tokoh utama adalah rayuan untuk mengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Lebih kritis dari alasan-alasan ini adalah dokumen Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) ditandatangani oleh pejabat yang berbeda setiap ganti kurikulum.

Menurut orang seperti saya adalah keinginan para pejabat ini membubuhkan nama dan tanda tangannya di dokumen negara. Apakah dokumen negara berupa standar kelulusan dan standar proses pada kurikulum adalah bentuk lain dari wall of fame?

Dua kurikulum yang kini eksis di Indonesia merupakan adopsi pemikiran gaya barat yang masih secara prematur untuk diterapkan. Buktinya, adalah istilah-istilah asing yang menghiasi rangkaian penerapan kurikulum tersebut yang juga membuat para guru di lapangan pusing gak keruan.

Istilah Higher Order Thinking Skills (HOTS), Project Based Learning (PjBL), Outcome Based Learning, Problem Based Learning (PBL), Scientific Approach, Critical Thinking, Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) dan masih banyak lagi.

Istilah asing ini layaknya hamburger, spaghetti, pizza, pasta, steak yang dimakan secara bersamaan dalam satu waktu. Tanpa sadar kita tidak lagi makan mendoan, tempe bacem, arsik, sei, rendang yang justru jauh lebih nikmat di lidah orang Indonesia. Lama kelamaan kita tidak doyan makanan itu dan akhirnya kehilangan cita rasa nusantara.

Pendidikan Menjadi Produk Politik

Sama halnya dengan paradigma barat yang dibawa serta merta dengan beranggapan akan meningkatkan potensi anak. Pendidikan gaya barat memiliki sudut pandang untuk mengembangkan kemampuan individu secara maksimal.

Namun, apakah ini menjawab permasalahan negara komunitas besar seperti Indonesia? Kenyataannya, guru kesulitan menerapkan Kurikulum Merdeka dengan jumlah siswa 20-28 per rombongan belajar (rombel).

Pengembangan tersebut lebih cocok untuk kelas dengan jumlah siswa 10-15 anak. Bagaimana dengan kelas-kelas di negara kita? Akankah menteri yang akan menjabat paham hal ini?

Tulisan ini pun ingin mengungkapkan kegelisahan saat pendidikan menjadi produk politik yang akhirnya mengarah pada pejabat terpilih penentu kurikulum di Indonesia. Rangkaian argumen telah diungkapkan tentang perlunya sinkronisasi arah pendidikan dengan karakter bangsa.

Hal ini yang perlu dipikirkan calon menteri pendidikan untuk Indonesia di masa depan. Harapan besar bagi para pemimpin yang akan berkuasa pasca -Pemilu 2024. Kiranya pendidikan Indonesia semakin maju sesuai dengan nilai-nilai yang sesuai bukan mengikuti standar pendidikan gaya barat.

Pengembangan individu adalah pusat pembelajaran gaya barat. Sedangkan tujuan pendidikan nasional kita adalah pengembangan karakter. Filosofi tokoh Ki Hajar Dewantara seolah dikorbankan untuk dipaksakan masuk dalam Kurikulum.

Padahal, pengembangan pendidikan individual sangatlah berbeda dengan yang dimaksud Bapak Pendidikan Indonesia. Pengembangan karakter tidaklah berbanding lurus dengan pembelajaran individual. Karakter haruslah dilatih dan diterapkan bersama komunitas bukan individu.

Karakter adalah tabiat yang membedakan seorang dengan yang lain atau akhlak (sumber KBBI daring). Dengan demikian untuk mengembangkan dan mengetahui karakter, maka siswa harus selalu bersinggungan dengan siswa lain serta beraktivitas di dalam komunitas.

Semakin banyak siswa mengembangkan kemampuan individunya, maka semakin rendah irisan korelasi dengan komunitas apalagi di dunia serba canggih seperti saat ini.

Hipotesis saya akan menjadi diskusi pro dan kontra yang apik oleh praktisi pendidikan. Justru itulah yang perlu kita pikirkan bersama, ke mana arah kita mendidik generasi penerus bangsa? Ke arah barat? Atau mau kembali memahami nilai bangsa majemuk ini?

Capaian pembelajaran yang terbit melalui Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 008/H/KR/2022 memiliki Kata Kerja Operasional (KKO) kognitif saja. Guru diminta untuk mengembangkan sendiri aspek yang lain.

Salah satu tokoh pendidikan, Kartini, pernah menyampaikan bahwa untuk memajukan pikiran anak tidaklah cukup untuk membentuk karakter. Berikut kutipan surat Kartini 21 Januari 1901 untuk Mr. Abendanon:

“Bila si goeroe sekadar memboekakan pikiran si anak itoe sadja, beloemlah ia boleh dikatakan tjoekoep melakoekan kewajibandja. Ja demikian poela beloem boleh dipandang tjoekoep; karena si goeroe itoe wadjip poela membentoek boedi si anak itoe.”

Pernyataan ini semakin memperjelas ketidaksinkronan arah adopsi pendidikan gaya barat dengan karakter bangsa yang diperjuangkan oleh pendahulu kita sejak lama. Kartini pun memberikan pernyataan tegasnya pada perbedaan pendidikan gaya Belanda dan pendidikan yang diperlukan Bangsa Djawa (karena saat itu belum ada Indonesia).

Artikel ini ditulis oleh Gamaliel Septian Airlanda, dosen PGSD Universitas Kristen Satya Wacana.

Rekomendasi
Berita Lainnya