Kolom
Sabtu, 31 Desember 2022 - 09:22 WIB

Guru dan Murid

Heri Priyatmoko  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pernikahan anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, membetot perhatian publik untuk mengerti Jawa. Sepanjang jalan dari Loji Gandrung hingga Pura Mangkunegaran yang dijadikan rute kirab bak etalase pengetahuan tentang budaya Jawa.

Meminjam perspektif sejarah mentalitas yang dikembangkan sejarawan Kuntowijoyo untuk membaca psikologi Paku Buwono X yang suka kirab (2006), yang dilakukan Presiden Joko Widodo laksana ”raja Jawa” yang menyemburkan serpihan pengetahuan Jawa ke jagad internasional.

Advertisement

Terlepas dari perdebatan penafsiran, yang disuguhkan mantan Wali Kota Solo itu adalah Jawa yang terus dinamis dan tentu masih seksi di mata peneliti asing. Dalam sejarah pengetahuan Jawa di Kota Solo, kita tidak bisa menepikan peran kaum indolog.

Tak semua bisa dipukul rata bahwa kaum peneliti Eropa menjadi kaki tangan penjajah dan bekerja untuk memuluskan kekuasaan kolonial. C.C. Berg, W.F. Stutterheim, dan Th. Pigeaud adalah contoh indolog yang malah mencerdaskan pemuda bumiputra, alih-alih memenuhi nafsu majikan (Eropa) mengerdilkan pemikiran siswa-siswanya.

Kebetulan, tempo doeloe tiga tokoh ini sering kali ”memangkal” di Museum Radya Pustaka yang berada di kompleks Taman Sriwedari, Kota Solo. C.C. Berg, W.F. Stutterheim, dan Th. Pigeaud adalah pendidik mumpuni di Algemmene Middelbare School (AMS) A1 bidang Sastra Timur di Kota Solo periode 1926-1932.

Advertisement

Lembaga pendidikan ini setingkat sekolah menengah atas (SMA). Pengajar bergelar doktor itu turut menggemakan Kota Solo sebagai ruang intelektual yang terbuka untuk disinggahi oleh siapa pun. Disokong oleh Kasunanan dan Mangkunegaran, wilayah Kota Solo di mata mereka bak sumur pengetahuan yang tak pernah kering ditimba.

Mereka tak hanya berhenti mengajar di kelas dan berkunjung ke istana. Mereka meramaikan Museum Radya Pustaka sesudah diboyong dari kompleks Kepatihan. Kaum cerdik pandai memandang institusi tersebut bukan hanya berfungsi untuk menyimpan barang kuno, melainkan sebuah lembaga pengetahuan yang memikul tugas memproduksi dan menyebarkan kawruh.

Bak universitas yang memancarkan aura positif, Museum Radya Pustaka berhasil menjadi pusat pemikiran dan tempat berkumpul kaum intelektual dari dalam negeri dan mancanegara. Orientalis yang disebut di atas turut asyik menggumuli pengetahuan yang digodok di gedung itu.

Mereka berdiskusi memerkarakan kebudayaan Jawa. Warisan mereka sampai detik ini masih bisa kita baca. Yang menarik, Museum Radya Pustaka setiap Minggu dibuka dan pada Senin libur. Kala itu sudah muncul kesadaran sektor pelayanan publik bahwa Minggu adalah hari uang dipakai masyarakat untuk rekreasi.

Advertisement

Museum Radya Pustaka di Kebon Raja Sriwedari melengkapi menu wisata edukasi untuk para murid AMS A1. Museum yang menyimbolkan taman kapujanggan dan pustaka ini menjadi jujugan para guru dan siswa dalam program ekskursi atau darmawisata.

Dengan model pembelajaran ekskursi, tumbuh kesadaran nasionalisme kebudayaan dalam diri peserta didik, selain juga kebanggaan atas warisan leluhur yang meninggikan derajat intelektual. Salah seorang murid terbaik AMS A1 yang bergerak di bidang nasionalisme kebudayaan berkat didikan tiga indolog tersebut adalah Mohammad Yamin.

Ia salah satu dinamo penggerak Kongres Pemuda yang menginjeksi spirit para pemuda hingga berani berikrar Sumpah Pemuda. Kisah diawali usaha mempersatukan pemuda dalam wadah yang lebih besar dan tunggal terus berjalan dan tak mengenal henti. Pada awal 1928 aneka pendekatan lebih banyak bersifat pribadi antara tokoh-tokoh pemuda.

Ikatan Intelektual

Pada 3 Mei 1928 dan 12 Agustus 1928 di gedung Indonesia Clubgebouw yang juga sering disebut Indonesische Clubhuis di Jl. Kramat Raya No. 106, Jakarta, diselenggarakan rapat penyusunan pengurus kerapatan pemuda-pemuda Indonesia II.

Advertisement

Disepakati bahwa Soegondo Djojopuspito dari PPPI sebagai ketua; Djoko Marsait dari Jong Java sebagai wakil ketua; Moh. Yamin dari Jong Soematra Bond sebagai sekretaris. Yamin mencecap pengetahuan di AMS A1 tatkala berlokasi di Kota Solo dalam rentang waktu 1926-1932.

Periode setelahnya, institusi ini dibedol ke Jogja lantaran pemerintah kolonial Belanda khawatir jika sekolah itu berada di Kota Solo semakin banyak melahirkan “singa Nusantara”.

Upaya penghematan akibat krisis pada 1930 dijadikan dalih kaum kulit putih untuk memboyong lembaga pendidikan yang menekuni kebudayaan Timur tersebut. Kita ketahui, Kota Solo merupakan kota pergerakan yang dinamis, itu ikut memengaruhi jalan pemikiran para pemuda dan aktivis.

Kurikulum AMS A1 yang dijalani Yamin turut memengaruhi pemikiran dan kiprahnya selama mengikuti kongres tersebut. Tanpa pemahaman mendalam mengenai “bahasa Melayu” serta “sejarah kebudayaan Indonesia” yang menjadi mata pelajaran pokok di AMS A1, bisa dipastikan Yamin tak mulus dalam membabar materi yang dibawakan di pertemuan agung itu.

Advertisement

Perlu ditengok misi dari Kongres Pemuda II adalah hendak melahirkan cita-cita semua perkumpulan para pemuda Indonesia; membicarakan beberapa persoalan perihal pergerakan pemuda Indonesia; memperkuat perasaan kebangsaan Indonesia; dan memperteguh persatuan Indonesia.

Pada sidang pertama 27 Oktober 1928, Yamin membawakan pidato berjudul Persatuan dan Kebangsaan Indonesia. Dua pokok persoalan yang dibahas Yamin ialah arti persatuan dan hubungan antara persatuan dengan pemuda.

Pendekatan yang dipakai Yamin adalah sejarah. Dari uraian kesejarahan yang dibeberkan Yamin, ada lima faktor yang dapat mempersatukan kekuatan bangsa Indonesia, yakni sejarah, bahasa, kemauan, pendidikan, dan hukum adat.

Selepas para tokoh pemuda berpidato, Yamin merumuskan segenap pokok pemikiran dalam kongres. Sebelum menutup kongres, ketua sidang mempersilakan Yamin memberikan penjelasan atas rumusan yang dibuatnya.

Setelah itu, secara aklamasi rumusan itu diterima/disahkan diiringi dengan tepuk tangan dan pekik “hidup persatuan” (Anonim, Pemuda Indonesia: Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa, 1985).

Demikianlah, ikatan intelektual guru Eropa dan murid bumiputra yang dianyam di Kota Solo. Jika sejarah taat pada unsur kausalitas (sebab-akibat), fenomena historis yang dikemukakan di atas merupakan peristiwa yang memiliki korelasi historis, sekalipun tidak secara langsung.

Advertisement

Pelacakan genealogi intelektual di muka membuktikan hal itu. Barisan peneliti sering kali luput menangkap genealogi pengetahuan kebudayaan yang pernah ditimba dan berpusat di Kota Solo. Kini saya sedang meneliti aspek itu untuk disertasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 Desember 2022. Penulis adalah dosen Ilmu Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan founder Solo Societeit)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif