Kolom
Kamis, 14 Desember 2023 - 20:35 WIB

Hiruk Pikuk adalah Budaya Kita

R. Bambang Aris Sasangka  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa pekan lalu saya dan keluarga mudik ke kampung halaman di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, untuk menengok orang tua. Dalam perjalanan pulang kami singgah di sebuah tempat wisata yang memanfaatkan perkebunan teh.

Tempat wisata itu dikelola pemerintah desa setempat. Tempatnya memang asyik. Ada pemandangan pegunungan di sekitarnya dengan panorama lembah-lembah dan lereng-lereng gunung yang hijau.

Advertisement

Tentu saja hamparan tanaman teh yang seperti karpet membentang luas memanjakan mata. Udara yang sejuk cenderung dingin membuat suasana makin nikmat. Sayangnya, di lokasi itu malah ada panggung musik dengan organ tunggal.

Suara lagu dangdut, campursari, dan sebagainya menggema di sekujur perkebunan. Si pembawa acara juga mengundang para pengunjung untuk mampir menyumbangkan suara. Alamak!

Advertisement

Suara lagu dangdut, campursari, dan sebagainya menggema di sekujur perkebunan. Si pembawa acara juga mengundang para pengunjung untuk mampir menyumbangkan suara. Alamak!

Terus terang saya heran. Banyak objek wisata yang pengelolanya menurut saya suka sekali menyetel lagu keras-keras untuk “meramaikan” suasana. Entah apa maksudnya. Mungkin niatnya untuk mengundang banyak pengunjung, biar objek wisata itu tidak berkesan sepi.

Di sebuah akun media sosial bertema pendaki gunung juga pernah ada lontaran keluhan soal rombongan pendaki yang justru berisik, menyetel musik keras-keras, dan sebagainya. Bukankah seharusnya objek wisata, apalagi wisata alam, justru dibiarkan bersuasana tenang?

Advertisement

Kata orang, kalau berjumpa dengan alam, suasana batin dan pikiran bakal menep, emosi menurun. Untung masih banyak masyarakat yang suka ketenangan, bahkan ada yang berupaya mengembalikan suasana alami.

Lihat saja yang dilakukan masyarakat Desa Sekaran, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, seperti diberitakan Solopos belum lama ini. Masyarakat di desa itu sepakat menjadikan lingkungan ramah bagi burung liar.

Pemburu dan penangkap burung dilarang masuk. Secara rutin mereka melepasliarkan burung-burung. Coba yang seperti ini ditiru di wilayah-wilayah lain, apalagi di kawasan perkotaan, wah, pasti sangat luar biasa efeknya.

Advertisement

Kembali ke soal ketenangan. Sayangnya, sepertinya hiruk pikuk memang budaya kita. Dalam hal apa pun, apalagi kalau di alam media sosial, dan terlebih pada masa kampanye politik saat ini. Semua hal bakal disaut lalu diolah dan lantas disebarkan biar suasana gaduh.

Isu soal format debat calon presiden dan calon wakil presiden misalnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan debat khusus calon wakil presiden tetap ada. Formatnya sedikit diubah, yaitu bahwa di semua debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden hadir bareng.

Mereka akan berbicara sesuai porsi. Kalau pas debat calon presiden, ya calon presiden yang dominan berbicara. Kalau pas debat calon wakil presiden, ya calon wakil presiden yang akan bicara. Sebenarnya klir, tapi ya bukan politik kalau semua hal tidak dibikin berisik.

Advertisement

Isu-isu digoreng ke sana-sini. Soal Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta misalnya. Dalam RUU yang dilontarkan oleh DPR itu ada konsep gubernur bakal ditunjuk langsung oleh presiden dengan mempertimbangkan saran dan usulan DPRD.

Eh, ya langsung dibikin ribut di mana-mana. Ada yang bilang “kembali ke Orde Baru” dan sebagainya. Sebenarnya itu baru konsep, baru usulan, bisa didiskusikan jalan terbaiknya dengan kepala dingin demi kemaslahatan demokrasi.

Dengan bertameng demokrasi, semua keberisikan itu dilontarkan dan diramaikan. Begitulah politik, yang definisinya adalah “banyak cara untuk mencapai satu tujuan.” Kalau tidak berisik, tidak bakal diperhatikan.

Ya, sudahlah, mungkin kita perlu memaklumi kata-kata pembawa acara organ tunggal di tengah kebun teh,”Bagi para pengunjung yang ingin menyumbangkan suara, mari silakan, biar gayeng!” Ouuuuwwkeeeeeeeiiiiiyyhhhh!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Desember 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif