Kolom
Kamis, 18 Januari 2024 - 11:55 WIB

Indonesia Siaga Bencana

Fajar Ruddin  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fajar Ruddin (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Hari-hari ini media kita dipenuhi dengan beragam berita bencana. Banjir, angin kencang, longsor, hingga gempa adalah bencana yang hilir mudik mengisi ruang berita. Akhir dan awal tahun memang seperti masa yang paradoksal.

Pada satu sisi kita antusias menyambut masa yang baru, tapi di sisi lainnya kita juga cemas akan bencana yang mengintai. Belum lekang dari memori kita tentang bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada pengujung 2004.

Advertisement

Kita juga masih ingat amukan Gunung Merapi pada awal November 2010 yang abu vulkaniknya terbang hingga Jawa Barat. Yang belum lama terjadi, tsunami yang menghantam pesisir Banten pada akhir 2018.

Semua bencana ini bagaikan pengondisian (conditioning) agar kita selalu siap siaga ketika memasuki pergantian tahun. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 mendefinisikan kesiapsiagaan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

Sebagai negara perlintasan ring of fire, kesiapsiagaan memang sangat penting sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat. Kapasitas yang tinggi diharapkan dapat mengurangi risiko bencana.

Advertisement

Kesiapsiagaan yang kita perlukan sebagai bangsa yang tinggal di negeri sarat bencana rasanya masih jauh dari harapan. Walaupun dihantam bencana berkali-kali, masyarakat masih menyikapi dengan paradigma responsif yang menekankan pada upaya tanggap darurat ketika terjadi bencana.

Hal ini jauh dari paradigma pengurangan risiko yang didefinisikan United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) yang mengutamakan pengelolaan berkesinambungan sejak pra hingga pascabencana.

Berkaca pada Jepang, kesiapsiagaan Indonesia dalam menghadapi bencana memang jauh tertinggal di belakang. Kita bisa membandingkan dengan kejadian gempa di Ishikawa pada 2 Januari 2024 lalu yang viral di media sosial.

Dalam bencana tersebut, dunia menyaksikan Jepang memenuhi semua prasyarat untuk disebut sebagai bangsa yang siap siaga, mulai dari teknologi hingga sumber daya manusia.

Advertisement

Kejadian gempa Ishikawa menunjukkan kepada kita tentang teknologi early warning system (EWS) membantu masyarakat menyelamatkan diri atau melakukan evakuasi sesaat sebelum terjadi gempa.

Sistem peringatan dini itu terhubung ke semua smartphone masyarakat dan akan berbunyi sebelum gempa terjadi. Dalam satu tangkapan layar diketahui bahwa sistem memberikan sinyal bahaya 18 detik sebelum kejadian gempa.

Dengan waktu selama itu, jangankan untuk menyelamatkan diri, untuk menyelesaikan hajat di kamar mandi pun rasanya masih sempat. Saya masih ingat 10 tahun lalu seorang pakar kebencanaan mengatakan bahwa gempa mustahil dideteksi sehingga tidak bisa diterapkan EWS.

Dengan kemajuan teknologi dan ilmu kebencanaan, Jepang membuktikan EWS gempa bukan sesuatu yang mustahil untuk diterapkan. EWS gempa menjadi terobosan yang sangat signifikan manfaatnya karena gempa adalah salah satu bencana yang paling berisiko menimbulkan korban jiwa.

Advertisement

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono, mengatakan dalam akun X bahwa EWS yang serupa sedang diujicobakan di Indonesia. Pada kejadian gempa Sumedang 31 Desember 2023, EWS BMKG berhasil mendeteksi gempa 11 detik sebelum kejadian.

Sistem ini masih diuji coba dan belum jelas kapan bisa dipakai masyarakat luas. Kalaupun sudah siap, ada beberapa hal yang berkaitan dengan psikologi masyarakat yang perlu diperhatikan supaya alat ini efektif sebagai sistem peringatan dini.

Pertama, pemerintah perlu menyiapkan mental masyarakat untuk menerapkan EWS ini. Mereka perlu diberi edukasi tentang bagaimana menyelamatkan diri dari gempa sehingga masyarakat tidak panik ketika alarm EWS berbunyi. Bayangkan jika sistem tersebut diterapkan tanpa edukasi sebelumnya.

Kepanikan akibat bunyi alarm akan menciptakan kekacauan dan bencana sekunder, apalagi jika alarm itu berbunyi di tempat tertutup seperti mal, sekolah, dan perkantoran. Jangankan di tempat tertutup, di tempat terbuka saja sudah menimbulkan kekacauan.

Advertisement

Kasus hoaks menara Masjid Sriwedari roboh pada 2022 yang membuat panik warga di arena car free day bisa kita jadikan permisalan. Jika merujuk pada kejadian gempa Ishikawa beberapa waktu lalu, kita dapat melihat ketenangan orang-orang Jepang dalam menghadapi bencana.

Ketenangan ini tentu bukan dihasilkan dari sekali atau dua kali edukasi, tapi dari proses yang sangat panjang. Sejak anak berusia di bawah lima tahun atau balita mereka sudah diajarkan.

Selain karena edukasi yang berkelanjutan, mereka juga memiliki prakondisi lain yang membuat mereka tenang meski alarm meraung, yaitu konstruksi bangunan yang tahan gempa.

Jepang dikenal sebagai negara yang sangat peduli terhadap konstruksi bangunan. Dengan konstruksi yang adaptif, kita bisa melihat di banyak video tentang gedung-gedung di Jepang meliuk-liuk ketika terjadi gempa sehingga bangunan tetap berdiri tegak meski diguncang gempa bermagnitudo besar.

Hal ini setidaknya meminimalisasi kepanikan yang timbul karena khawatir gedung ambruk bagi orang-orang yang berada di dalam. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mendambakan konstruksi yang meliuk-liuk seperti di Jepang sepertinya masih terlalu muluk-muluk, apalagi biaya konstruksi tahan gempa tidaklah murah.

Dengan konstruksi abal-abal saja generasi milenial sudah menjerit karena harga rumah yang tidak terjangkau, apalagi ditambah embel-embel tahan gempa? Maka tidak mengherankan banyak bangunan ambruk walau hanya disenggol gempa berkekuatan kecil karena konstruksi yang rapuh

Advertisement

Jikalau membayangkan konstruksi bangunan tahan gempa yang menyeluruh terlalu muluk-muluk, minimal bangunan publik harus dibuat seresistan mungkin. Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726:2019 yang mengatur tata cara perencanaan bangunan tahan gempa, tinggal implementasinya saja yang perlu selalu diawasi.

Selain mengedukasi masyarakat tentang upaya menyelematkan diri, hal kedua yang perlu diperhatikan adalah agar EWS bencana itu bisa awet terpasang di tempatnya. Bukan rahasia lagi bahwa banyak alat EWS yang raib dicuri.

Saya ingat dulu di suatu kuliah, seorang pakar bencana longsor mengeluhkan EWS longsor yang baru dipasang beberapa pekan hilang dicuri. Ini sangat ironis. Alat yang seharusnya bisa menekan jumlah korban, hanya dimaknai seperti besi kiloan.

Supaya hal yang sama tidak terus-menerus terulang, pemerintah dan para stakeholders perlu meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat terhadap ancaman bencana, di samping mengupayakan pemasangan EWS di tempat dan cara yang paling aman. Dengan kesadaran yang terbangun, diharapkan masyarakat bisa bersama-sama melakukan pengawasan sehingga tindakan pencurian bisa ditekan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Januari 2024. Penulis adalah pengampu kuliah Psikologi Kebencanaan di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif