Kolom
Jumat, 29 September 2023 - 09:35 WIB

Intelijen, Demokrasi, dan Pemilu 2024

Iqbal Suliansyah  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Iqbal Suliansyah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pada 1955, Amerika Serikat membentuk komite yang dipimpin Herbert Haufer dengan tujuan meneliti kegiatan intelijen. Komite Haufer ini mengajukan definisi intelijen yang menjadi kesepakatan kongres.

Intelijen menurut Komite Haufer adalah proses mendapatkan segala hal yang harus diketahui sebelum melakukan pekerjaan dan itu yang akan menyelesaikan semua masalah yang sebelumnya harus sudah diketahui dalam rangka mengatur rencana pekerjaan.

Advertisement

Dalam perkembangannya intelijen dalam suatu negara dimaknai dalam tiga hal. Pertama, intelijen sebagai suatu organisasi. Kedua, intelijen sebagai aktivitas. Ketiga, intelijen sebagai pengetahuan.

Dalam sejarah di Indonesia, munculnya institusi intelijen berawal dari para pemuda di bidang kemiliteran (Seinen Korenso) saat penjajahan Jepang. Terus berkembang pada 1943 dengan peran Zulkifli Lubis, Daan Mogot, dan Yonosewoyo yang mengikuti kursus Seinen Dojo yang merupakan pendidikan akademi intelijen di bawah Markas Besar Intelijen Jepang.

Setelah Indonesia merdeka para pemuda tersebut membentuk organisasi intelijen yang disebut Badan Istimewa. Organisasi intelijen di Indonesia terus berbenah hingga sekarang berubah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN).

Advertisement

Mendengar kata intelijen jamak menimbulkan banyak persepsi yang tidak jarang seolah-olah menakutkan. Secara asasi keberadaan intelijen membantu mengetahui sesuatu hal yang harus diketahui sebelumnya sehingga melahirkan perencanaan yang baik untuk menjadi pertimbangan pengambilan tindakan atau putusan dan meminimalkan risiko yang akan terjadi.

Melahirkan intelijen yang profesional yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi tentu tidak mudah. Dilema intelijen dan demokrasi terus menjadi perhatian. Aksi penyadapan dan sabotase tentu bisa dilakukan secara sistematis oleh badan intelijen.

Aksi demikian sering memunculkan dugaan dilakukan bertujuan menguatkan posisi politik pemerintah atau untuk melemahkan bahkan membungkam kritik dari masyarakat. Beberapa kasus tercatat dan menjadi perhatiam publik dalam urusan dugaan keterlibatan intelijen.

Kasus tersebut, antara lain, penyadapan rumah dinas Gubernur DKI Jakarta (2014), dugaan keterlibatan intelijen dalam penyadapan telepon genggam mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2017), pelibatan intelijen dalam kasus pelarangan aktivis menghadiri acara tertentu (2018), dan pelibatan intelijen dalam kasus lobi terhadap organisasi masyarakat sipil atau individu yang berpandangan kritis atas suatu rancangan legislasi (2019).

Advertisement

Tentu masyarakat memiliki perhatian besar atas masa depan demokrasi di Indonesia yang selama ini turut mendorong terus terwujudnya reformasi intelijen. Buku Membangun Intelijen Profesional di Indonesia hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggambarkan perkembangan intelijen di Indonesia selama 70 tahun terakhir.

Pengembangan intelijen harus terus dibarengi dengan gelombang demokratisasi dan tuntutan agar lembaga telik sandi mengikuti prinsip demokrasi modern sehingga dapat melahirkan intelijen yang profesional.

Selama ini dorongan perubahan terhadap lembaga intelijen terus mengemuka. Tidak semua dorongan tersebut bertujuan membangun intelijen yang nonpolitis, tetapi justru terkadang semakin mendekatkan intelijen kepada politik penguasa.

Perangkat regulasi seperti Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara sepertinya belum berjalan secara maksimal sehingga selalu muncul peluang politisasi yang dimanfaatkan oleh elite politik dan elite lembaga telik sandi.

Advertisement

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, berkaitan dengan intelijen, mengemuka informasi tentang dokumen intelijen Central Intelligence Agency (CIA) yang menerangkan Amerika Serikat akan ikut campur dalam Pemilu 2024.

Informasi itu menjadi pembicaraan publik. Belajar juga dari peristiwa operasi intelijen yang mengakibatkan Presiden Abdurrahman Wahid lengser yang berjalan lama tanpa diketahui menunjukkan peran intelijen dalam setiap peristiwa memang besar.

Presiden sebagai end user data intelijen diharapkan menjadi semakin bijaksana dengan tidak menggunakan kekuatan lembaga telik sandi untuk kepentingan politik diri pribadi dan partai koalisi pendukung pemerintah.

Kepentingan nasional Indonesia yang terpenting. Periode otoritarianisme Orde Baru melahirkan banyak operasi intelijen yang bermotif politik dan berorientasi pada kepentingan elite.

Advertisement

Prinsip demokrasi dan kepentingan nasional serta penangkalan atas berbagai ancaman terhadap keamanan nasional harus menjadi motivasi utama dalam memutuskan kebijakan operasi intelijen

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 17 partai politik yang berhak menjadi peserta Pemilu 2024. Sempat beredar kabar tentang instruksi dari KPU pusat untuk meloloskan partai politik tertentu sebagai peserta Pemilu 2024.

Informasi itu dibantah keras oleh Ketua KPU Hasyim Asyari. Publik juga dihebohkan dengan beredarnya isu intervensi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Moh. Mahfud Md. untuk meloloskan partai politik tertentu. Mahfud membantah keras dan menegaskan itu hanya hoaks.

Pada pemilu masa Orde Baru selalu muncul rekayasa politik, seperti  tentang Komando Jihad (Pemilu  1977), Peristiwa Woyla (1981), serta Peristiwa Lapangan Banteng. Rekayasa politik menjelang Pemilu 1982 itu adalah hasil  kerja  Operasi Khusus yang dikomandoi Ali Moertopo yang merupakan tokoh intelijen

Jika berbicara tokoh intelijen saat ini, Budi Gunawan (Kepala Badan Intelijen Negara atau BIN) tentu menjadi pusat perhatian. Namanya sempat mencuat untuk menjadi calon wakil presiden. Spanduk bergambar Budi Gunawan sempat beredar di kawasan Jakarta Pusat.

Harapan masyarakat adalah semua lembaga intelijen netral dan bersinergi menjaga keamanan negara. Pernyataan Budi Gunawan beberapa waktu lalu yang mengisyaratkan dukungan kepada salah satu calon presiden mendapat respons beragam.

Advertisement

Kepala Badan Intelijen Negara ini juga disebut menjadi mediator pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada 2019. Para tokoh intelijen dengan akses tidak biasa yang dimiliki tentu bisa menjadi kekuatan positif dan berdampak baik terhadap masa depan demokrasi.

Pada era Presiden Joko Widodo ini gagasan untuk menempatkan Menteri Pertahanan menjadi koordinator intelijen mendapat respons negatif. Merujuk Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, fungsi koordinasi intelijen dijalankan oleh BIN, bukan oleh Kementerian Pertahanan.

Ketika itu Presiden Joko Widodo mengharapkan orkestrasi intelijen untuk memudahkan pengorganisasian informasi yang selama ini berasal dari banyak institusi. Institusi tersebut adalah BIN, TNI, Polri, dan Badan Siber dan Sandi Negara.

Di tengah kekuasaan besar lembaga-lembaga intelijen, Pemilu 2024 harus berlangsung dengan aman, jujur, adil, dan damai. Operasi intelijen jangan sampai menodai hajatan demokrasi itu. Intelijen hanya diabdikan untuk keamanan negara.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 September 2023. Penulis adalah alumnus Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Angkatan I Lemhanas Tahun 2022)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif