Kolom
Kamis, 18 Januari 2024 - 09:55 WIB

Jangan Terjebak Mala-adaptasi

Redaksi  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pekerja industri kawasan pelabuhan mendorong motor yang mogok menembus banjir limpasan air laut ke daratan atau rob yang merendam kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (20/6/2022). (Antara/Aji Styawan)

Pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall di pantai kawasan Jakarta dan pantai kawasan Kota Semarang, Jawa Tengah, kembali mengemuka. Wacana pembangunan tanggul raksasa sebagai penahan rob atau air pasang dari laut yang masuk ke daratan di dua kawasan itu sudah lama mengemuka.

Langkah membangun tembok raksasa sebagai benteng bagi Kota Jakarta dan Kota Semarang dipromosikan menjadi solusi atas banjir rob. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim menilai rencana membangun tembok pantai adalah strategi mala-adaptasi terhadap realitas alam, lingkungan, dan iklim.

Advertisement

Kelompok dan organisasi masyarakat sipil peduli kawasan dan lingkungan pantai menyebut rencana ini tidak akan efektif, cenderung membuang-buang biaya, dan tidak ramah lingkungan. Pemerintah menyebut konsep giant sea wall dilandasi studi ekologi yang memperhatikan lingkungan.

Pola pikir mala-adaptasi juga diterapkan di banyak urusan lingkungan lainnya di kawasan nonpantai. Kritik terhadap rencana ini adalah sekaligus kritik terhadap gejala umum merespons dan mengelola lingkungan yang justru tidak ramah lingkungan.

Potensi mala-adaptasi dalam rencana pembangunan giant sea wall ini adalah tidak sampai ke akar masalah. Banjir rob kian mengancam akibat perubahan iklim, yaitu pemanasan global, sehingga permukaan air laut naik. Pada saat yang bersamaan, di daratan terjadi penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah secara masif.

Advertisement

Di Jakarta penurunan permukaan tanah mencapai 0,04 sentimeter hingga 6,30 sentimeter per tahun. Di Kota Semarang mencapai sembilan sentimeter per tahun. Pada saat yang bersamaan kenaikan air laut global mencapai tiga hingga lima milimeter per tahun.

Penurunan muka tanah lebih masif karena sekitar 30 kali lebih besar dibandingkan kenaikan air laut. Pemerintah seharusnya fokus ke persoalan penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, berkurangnya daerah tangkapan air, serta berkurangnya imbuhan di cekungan air tanah (CAT).

Bila masalah ini tidak dituntaskan, benteng raksasa itu bukan tidak mungkin akan sia-sia karena saat muka tanah turun, konstruksi giant sea wall akan ikut turun. Belum ada teknologi yang menjamin tembok yang dibangun tidak akan turun ketika permukaan tanah terus turun seperti yang terjadi di pantai di Jakarta, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak.

Advertisement

Pembangunan tembok pantai tidak relevan dengan realitas alam. Strategi yang dipilih seharusnya beradaptasi dengan alam. Ini jelas lebih murah dan berkelanjutan, yaitu menghentikan atau meminimalkan eksploitasi air tanah dan moratorium pembangunan kawasan komersial dan hunian di kawasan pantai utara Jawa.

Strategi ini akan mendorong strategi-strategi serupa di kawasan lain, termasuk di kawasan nonpantai, ketika menghadapi fenomena alam yang merugikan manusia dan lingkungan tempat hidup mereka.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif