Kolom
Selasa, 25 Oktober 2022 - 13:00 WIB

Katastrofe Krisis Ekologis

Muhammad Ghufron  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammad Ghufron (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Seorang rasionalis, Rene Descartes, pernah mengumandangkan diktum cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Diktum ini membikin takjub manusia modern. Berkat diktum itu manusia menyatakan diri sebagai subjek dari alam semesta dan menganggap seolah-olah alam semesta merupakan objek yang dipikirkan.

Saat itu pulalah manusia menganggap dirinya sebagai pusat dan merasa punya otoritas atas semesta. Inilah yang digambarkan Al Gore (2006) dalam film An Inconvenient Truth. Politikus Amerika Serikat yang peduli isu lingkungan, dalam filmnya itu, memberikan gambaran ketamakan manusia atas nama kemajuan berpikir.

Advertisement

Suatu kebenaran pahit yang harus diketahui dan dihadapi. Hasrat manusia yang tak mendengar suara alam hanya akan berujung pada nafsu menguasai. The Spiritual Crisis of the Scientific Age anggitan G. D. Yarnold menyoroti  kerusakan alam karena bersemayamnya hasrat eksploitatif di kedirian manusia, yang memandang alam sebagai entitas yang lebih rendah darinya.

Modernitas yang didukung sains memungkinkan penyediaan legitimasi intelektual terhadap eksploitasi alam secara komersial maupun industrial. Paradigma Cartesian-Newtonian menemukan momentumnya di titik ini. Paradigma yang dibangun atas dasar asumsi alam raya merupakan mesin raksasa yang mati, statis, dan tidak bernyawa.

Advertisement

Modernitas yang didukung sains memungkinkan penyediaan legitimasi intelektual terhadap eksploitasi alam secara komersial maupun industrial. Paradigma Cartesian-Newtonian menemukan momentumnya di titik ini. Paradigma yang dibangun atas dasar asumsi alam raya merupakan mesin raksasa yang mati, statis, dan tidak bernyawa.

Bagi Fritjof Capra, seorang fisikawan berkebanggaan Amerika Serikat, krisis-krisis global yang terjadi di muka bumi dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia modern. Cara pandang yang menempatkan dunia sebagai objek, bukan subjek.

Hari ini, krisis ekologis selalu bermula tatkala pandangan mekanistis tentang alam semesta menubuh pada diri manusia. Semuanya bermula tatkala sains menjadi mercusuar baru peradaban kita. Rasionalisme dijunjung hingga realitas yang transendental dikesampingkan. Akal ditakhtakan hingga iman dipaksa tunduk.

Advertisement

Pada akhirnya, penganut antroposentrisme membikin suatu konklusi bahwa segala sesuatu selain manusia hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia (endowment resources). Ia tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Demikianlah alam pada akhirnya didudukkan sebagai objek yang harus memenuhi kebutuhan manusia.

Katastrofe yang menimpa alam Indonesia selama kurun waktu terakhir tampaknya berangkat dari cara pandang masyarakat kita yang cenderung dualistis. Ia sebagai subjek, berhak memolarisasi dirinya dengan alam. Polarisasi semacam ini pada akhirnya menciptakan rivalitas yang mengarah pada pola perusakan dan penguasaan.

Mengeruk pasir sebanyak-banyaknya demi hasrat memegahkan pembangunan. Pohon-pohon ditebang untuk komersialisasi industri. Bumi menjadi ringkih karena kehilangan penyangga. Akibatnya, suplai oksigen untuk keberlanjutan hidup manusia  semakin berkurang.

Advertisement

Data termutakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2022 terjadi 1.926 peristiwa bencana alam. Banjir masih menjadi bencana alam yang paling sering terjadi, 747 kejadian. Disusul 690 cuaca ekstrem, 373 tanah longsor, 92 kejadian kebakaran hutan dan lahan, 12 kejadian gempa bumi, 11 kejadian gelombang pasang, dan satu kejadian kekeringan.

Data tersebut menandakan masyarakat kita mesti terus berbenah ke arah pemuliaan adab ekologi. Katastrofe alam di Indonesia meruah untuk dimartabatkan. Pemartabatan terjadi apabila memandang alam sebagai kawan, bukan lawan yang kudu dibabat habis-habisan.

Menerungku alam dalam kubangan hasrat serakah manusia tak ubahnya menjadikan alam sebagai pelacur; dinikmati tanpa harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Alam merupakan entitas yang sakral.

Advertisement

Menganggap alam sebagai partikel yang tidak suci sama halnya melanggengkan krisis ekologis. Persoalan menjaga dan mengurangi kerusakan lingkungan lebih dari sekadar masalah politis, tapi juga masalah moral. Sangat tidak etis jika membiarkan alam berantakan.

Ekoteologi

Demikianlah formulasi paradigma ekoteologi tampak begitu relevan untuk diaktualisasikan kembali. Suatu paradigma yang mengumandangkan ekologi baru bahwa para penganut agama monoteis yang menjadi pendatang belakangan di muka bumi punya tugas menghindarkan lingkungan hidup dari destruksi.

Ekoteologi hendak menegaskan bahwa merawat lingkungan merupakan bagian dari kesalehan paling sublim dari praksis keimanan manusia. Dalam buku Antara Tuhan, Manusia, dan Alam; Jembatan Spiritual dan Filosofis Menuju Puncak Kebijaksanaan, seorang intelektual Islam cum filsuf kontemporer berkebangsaan Iran, Seyyed Hossein Nasr, mengelih realitas hidup manusia modern yang seyogianya memandang alam sebagai entitas yang sakral.

Bagi Nasr, alam diciptakan sejajar dengan manusia. Kosmos berbicara kepada manusia dan seluruh fenomenanya mengandung makna. Mereka adalah simbol tentang tingkat realitas yang lebih tinggi, yang wilayah kosmisnya menyelubungi sekaligus mengungkapkan.

Struktur kosmos mengandung pesan spiritual bagi manusia. Menelanjangi alam semesta demi pemenuhan syahwat eksploitatif semata sama halnya menutup dimensi pesan itu. Di sinilah dibutuhkan kecintaan terhadap alam. Kecintaan terhadap alamlah yang mampu mengantarkan kita menuju puncak kebijaksanaan.

Kebijaksanaan lantaran kita telah mampu menjaga alam tanpa pamrih komersial berlebihan. Untuk mengontrol pemanfaatan lingkungan, tawaran asketisme baru John B. Cobb barangkali menemukan momentum pada titik ini agar dijadikan pijakan kesadaran merawat lingkungan.

Suatu praktik hidup yang memanfaatkan alam sambil memelihara kelestariannya, memerangi materialisme, konsumerisme, dan perlakuan destruktif lain agar tidak merugikan manusia dan lingkungan. Tidak terlalu muluk sebenarnya panggilan agama terhadap lingkungan hidup.

Cukup dimulai dari kehidupan kita yang sederhana. Mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, memartabatkan tanaman berpamrih melanggengkan penghijauan, serta berbuat adil kepada sesama. Dengan begitu, dimensi keimanan kita tidak hanya bergerak dalam praksis vertikal, namun juga horizontal, dengan memartabatkan lingkungan sebagai entitas tak terpisahkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Oktober 2022. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif