Kolom
Rabu, 31 Januari 2024 - 09:55 WIB

KDRT sebagai Urusan Publik

Redaksi  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Dok)

Tragedi kematian bocah berumur tiga tahun di Kabupaten Boyolali, Salsabila Nadifa, karena dianiaya ayah tirinya adalah kejadian kali kesekian yang meniscayakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kini harus dimaknai sebagai urusan publik.

Bocah berusia di bawah lima tahun atau balita itu, berdasar hasil penyelidikan aparat Polres Boyolali, setidaknya dalam tiga bulan terakhir menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan ayah tirinya.

Advertisement

Kematian bocah itu tentu saja bisa dicegah apabila tindak kekerasan yang dilakukan ayah tirinya itu ketahuan sejak dini. Ketahuan dan orang di luar keluarga itu memahami bahwa tindak kekerasan itu bukanlah urusan privat, bukan urusan rumah tangga.

Pemahaman bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi sebatas urusan privat rumah tangga harus menjadi kesadaran bersama agar tragedi demikian tidak terjadi lagi. Basis masalah yang menyebabkan tragedi kematian bocah perempuan umur tiga tahun itu adalah kekerasan dalam rumah tangga.

Sang ayah tiri pernah menikah dan kemudian bercerai karena urusan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Ketika menikah lagi, ternyata lelaki itu melakukan tindak kekerasan kepada sang anak tiri.

Advertisement

Memaknai kekerasan dalam rumah tangga sebagai urusan publik, bukan lagi urusan privat—rumah tanggga, adalah pemaknaan secara holistik dari pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau UU PKDRT.

Menurut catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, dalam sejarah gerakan perempuan, UU PKDRT adalah buah gerakan dan terobosan hukum yang memberi perlindungan terhadap subjek-subjek yang sebelumnya dianggap berada di ruang privat.

UU PKDRT melindungi perempuan, anak perempuan, pekerja rumah tangga, relasi lainnya dalam perkawinan, relasi kekerabatan, dan siapa saja dalam lingkup rumah tangga yang sebelumnya dianggap tidak dapat dicampuri oleh negara.

Advertisement

UU PKDRT menyatakan semua bentuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga, atau  disebut ranah privat, sebagai sebuah tindak pidana. Undang-undang ini juga menjangkau kekerasan seksual  oleh suami terhadap istri.

Penyajian sudut pandang baru sekaligus pembaruan hukum lainnya adalah sanksi tambahan berupa konseling, hukum acara khusus seperti perintah perlindungan, keterangan seorang saksi korban sebagai salah satu alat bukti yang sah apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, hak-hak korban, peran serta masyarakat, dan kewajiban negara.

Berbasis pemberlakuan dan pemahaman tentang UU PKDRT, isu kekerasan dalam rumah tangga menjadi urusan publik dan tidak lagi menjadi urusan privat. Orang lain—di luar keluarga yabn terjadi kekerasan—berhak, bahkan wajib, turut campur menghentikan tindak kekerasan yang terjadi.

Melalui terobosan-terobosan hukum tersebut diharapkan tujuan UU PKDRT dapat tercapai, yaitu mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dengan melibatkan publik—orang lain—yang mengetahui, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif