SOLOPOS.COM - Dosen UKSW Gamaliel Septian Airlanda

Garuda Asia Tenggara kembali bertambah usia, bunyinya mulai terdengar di antero dunia. Cukup lama sang burung perkasa ini tidak menunjukkan keelokannya. Perlu diakui bahwa Indonesia cukup tertinggal dari negara-negara lain. Perubahan telah tampak dari berbagai aspek fundamental.

Seluruh elemen bangsa diharapkan turut ambil bagian, termasuk anak muda. Peran anak muda dari segi kuantitas dan kualitas sangat memengaruhi arah perkembangan bangsa.

Bonus demografi Indonesia tercatat sejak tahun 2010, menurut Kementerian Keuangan di dalam buku laporannya yang berjudul: “Indonesia’s Intergovernmental Transfer: Response on Future Demographic and Urbanization Shifts” menyatakan terjadi 40 juta angka kelahiran dan terus akan berlangsung hingga 2045. Angka ini tentu berpengaruh signifikan bagi jalannya aspek sosial, ekonomi, budaya, politik.

Di sisi lain, angka besar dari bonus demografi ini, akan menjadi petaka jika tidak dikelola dengan baik. Generasi muda memiliki energi, kecepatan berpikir, daya adaptasi yang sangat besar. Mereka adalah aktor kunci dalam sebagian besar perubahan sosial yang akhirnya berdampak pada aspek lainnya.

Belum lagi kecanggihan teknologi masa kini yang membantu mereka bertarung dengan arus perkembangan global. Masyarakat Indonesia sering memahami generasi milenial sebagai anak muda yang hidup di zaman modern dengan perangkat gawai canggih.

Tetapi, PEW Research Center Amerika memberikan sebuah definisi yang lebih detail dan ilmiah. Mereka menyebut generasi milenial sebagai periode peradaban yang mengurangi (bahkan tidak sama sekali) menggunakan pekerjaan tangan atau “un-handiwork” namun mengedepankan produk pikiran dan analisis masa depan dengan bantuan teknologi.

Tidak terkontrolnya informasi membuat jati diri anak muda seolah kabur. Fakta di lapangan menunjukkan berbagai macam situasi seperti kasus kekerasan, presekusi, deskriminasi hingga lunturnya toleransi seolah menjadi dampak pengiring majunya teknologi Indonesia. Muncul sebuah pertanyaan: “apakah keadaan semacam ini wajar terjadi?”.

Antusiasme generasi milenial dalam menggunakan media sosial bergerak sangat pesat. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa, generasi muda Indonesia adalah pengguna aktif internet dengan rincian data: 134 juta orang pengguna layanan internet (browser) dan 130 juta orang aktif di media sosial dari total 265,4 juta penduduk. Jumlah yang sangat besar dan ditunjang dengan lamanya waktu penggunaan media sosial, ternyata tidak lepas dari konten serta peran negatif penggunanya (netizen).

Sudah banyak laporan masyarakat ke kantor polisi terkait dengan penyalahgunaan teknologi semacam ini. Mulai dari kasus ujaran kebencian, kekerasan, pornografi, berita hoaks, hingga kasus kriminal seperti: penculikan dan pemerasan.

Manusia memiliki sifat dasar bersosialisasi dan beretika atau beraturan. Kita cenderung menempatkan sesuatu ataupun kejadian tertentu saling berkaitan antara satu aspek dengan aspek lainnya.

Seperti contoh ketika kita akan makan, tentu tidak terdiri dari satu aspek saja. Kita mengenal uang sebagai hasil buatan manusia lain, mengenal bahan mentah sebagai hasil dari petani, mengenal masakan sebagai hasil usaha koki dan seterusnya. Sungguh naif manusia yang menyatakan bahwa dirinya dapat hidup tanpa orang lain. Tetapi di satu sisi, keadaan ini menimbulkan perbedaan sudut pandang dalam kehidupan.

Penjelasan di atas ingin menyatakan bahwa sekuat apapun orang lain mempengaruhi atau memimpin, dalam diri orang tersebut telah memiliki sudut pandangnya sendiri. Manusia akan cenderung mencari komunitas yang mampu menerima atau memiliki sudut pandang yang sama dengan dirinya.

Ini adalah bukti korelasi antara kebebasan prespektif manusia dengan prinsip manusia sebagai mahkluk sosial. Kepuasan terbesar dari generasi ini adalah penerimaan atas segala yang ada dalam dirinya. Jika kepuasan itu dilanggar, maka akan sering terjadi konflik secara internal dalam dirinya (mudah depresi) atapun eksternal (menyerang).

Dalam konsep komunitas sosial, perlu adanya kemapanan secara pribadi sebelum manusia masuk ke dalam sistem pranata sosial. Dengan demikian, generasi milenial perlu memimpin dirinya sendiri dengan benar, sebagai tahap awal sebelum mereka meyakini orang lain untuk memimpin sebuah komunitas.

Posisi generasi milenial dalam berbangsa dan bernegara perlu mendapat perhatian yang serius. Perlu ada treatment khusus yang diberikan melalui pendidikan berbasis masyarakat. Definisi pendidikan berbasis masyarakat adalah munculnya sebuah kondisi yang berasal dari koherensi kehendak manusia dengan manusia lainnya dalam suatu ikatan.

Terdapat tiga ikatan yang melahirkan pertalian jiwa-pikiran, tempat dan lingkungan. Pertalian jiwa-pikiran akan melahirkan persahabatan (friendship), pertalian tempat akan melahirkan komunitas (community), serta pertalian lingkungan akan melahirkan persaudaraan (neighborhood).

Oleh karena itu, tulisan ini membahas prespektif generasi milenial yang berguna untuk mempersiapkan mereka sebagai pemimpin masa kini. Terdapat tiga hal yang harus dimiliki generasi milenial Indonesia, yaitu:

Paham Dirinya Indonesia

Konteks pengakuan diri terhadap generasi milenial membawa dampak pada ketuntasan identitas. Informasi global yang berkembang dan diterima dengan sangat cepat mampu melunturkan jati dirinya.

Jika seorang anak muda menganggap K-Pop adalah sesuatu yang keren. Maka dirinya akan melakukan duplikasi terhadap tren pakaian, sikap, tutur kata hingga prinsip hidup. Oleh karena itu, memberikan pola pikir bahwa budaya dan tren Indonesia adalah sesuatu yang keren sangatlah penting. Contoh nyata: Bagaimana kita menyatakan budaya Indonesia keren jika di sekolah, siswa yang cas cis cus dengan Bahasa Inggris dianggap lebih pandai daripada siswa lain.

Padahal belum tentu demikian. Hal yang sama muncul ketika orang tua muda memberikan nama pada bayi mereka. Kecenderungan memilih nama kebarat-baratan diidentikan dengan nama yang dianggap keren. Sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis masyarakat, pola pikir yang benar harus ditularkan kepada setiap komponen masyarakat. Dengan demikian generasi milenial Indonesia memiliki keyakinan bahwa budaya Indonesia yang akan terus dipegang kuat sampai kapanpun.

Sebagai bagian dari masyarakat yang wajib mendidik generasi milenial, kita harus bersedia merubah obrolan sehari-hari kita dengan rasa syukur kebanggaan atas suku, adat dan budaya.

Keluhan-keluhan atas ketidaksesuaian janji pemerintah, hidup yang pas-pasan, membandingkan diri dengan kaum yang lebih maju, sudah saatnya dihapuskan. Ini semua perlu dilakukan supaya generasi milenial memiliki rasa optimis hidup dan mengembangkan hidup di negeri ini. Tanpa diminta mereka pasti akan meningkatkan kualitas kehidupan di Tanah Air mereka jika sudah tumbuh kebanggaan menjadi Indonesia. Dari sinilah pemimpin-pemimpin milenial mulai berdiri menunjukkan kehebatannya.

Paham Nilai Unggulnya

Pemahaman manusia milenial Indonesia atas keberagaman adalah modal yang sangat kuat. Kemampuan adaptasi terhadap berbagai macam karakter seharusnya menjadi dasar kita bergaul, berpartisipasi dan membangun komunikasi publik yang luas.

Dengan bekal ini, kita dapat diterima serta memberi dampak secara lebih nyata. Kita akan terbiasa beradaptasi dengan cepat memproduksi berbagai macam solusi.

Dengan demikian pemimpin milenial hendaknya memiliki sifat unggul, seperti: i) keterbukaan dalam berpikir (open minded); ii) jiwa yang sehat sehingga kuat dari berbagai benturan berbagai masalah yang tidak terprediksi sebelumnya; iii) Technology Friendly sehingga teknologi dapat berdaya guna dalam aspek kehidupan secara efektif dan efisien; iv) kritis dan analisis.

Paham harus Seimbang

Generasi milenial cenderung mengarah pada hal yang bersifat instan. Kenyataan ini berdampak signifikan pada mental dan sikap yang ditunjukkan.

Tidak bisa dimungkiri bahwa seluruh fasilitas teknologi membuat mereka mendapatkan segala macam jawaban dari sebuah masalah secara cepat. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, ketika lapar maka aplikasi online pemesanan makanan siap melayani selama 24 jam tanpa henti.

Inilah yang membuat daya juang generasi milenial dalam dunia nyata semakin menurun. Mereka lebih tampak berjuang dalam dunia maya untuk menyalurkan energi mudanya. Sikap dan mental yang muncul dalam kaitannya dengan etos kerja juga mudah sekali surut.

Solusi dari sebuah tantangan selalu diselesaikan dengan bantuan teknologi, bukan dengan otot dan kerja keras. Keadaan ini perlu mendapatkan perhatian dengan cara mendidik mereka melalui pendidikan yang seimbang untuk meningkatkan etos kerja millennial sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing dalam dunia nyata.

Pendidikan berbasis masyarakat membantu negeri ini meneruskan kejayaan peradabannya. Tiga prespektif yang harus dimiliki generasi muda penerus bangsa adalah syarat utama untuk menghadapi arus perkembangan dunia.

Kita harus bersedia berubah dan tidak lagi terjebak dengan khayalan masa lampau ataupun tindakan gegabah yang akan berdampak di masa depan. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang menempatkan pemuda di garis depan, bersedia bersama-sama berjuang dengan mereka dan terus memberi dorongan anak mudanya untuk maju. Dirgahayu Indonesia tercinta.

Artikel ini ditulis oleh Gamaliel Septian Airlanda, Dosen PGSD Universitas Kristen Satya Wacana

Rekomendasi
Berita Lainnya