Kolom
Kamis, 14 September 2023 - 20:53 WIB

Kekerasan Seksual dan Citra Pesantren

Imam Yuda Saputra  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Imam Yuda Saputra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kasus  kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan agama atau pondok pesantren kembali menyita perhatian publik di Jawa Tengah. Setidaknya ada dua kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual di lingkungan lembaga pendidikan agama yang terungkap beberapa waktu lalu.

Kasus pertama terjadi di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar. Kasus ini melibatkan pemimpin pondok pesantren itu dengan jumlah korban enam santriwati.

Advertisement

Kasus serupa muncul di Kota Semarang. Kasus di ibu kota  Provinsi Jawa Tengah itu melibatkan pemimpin lembaga pendidikan keagamaan di daerah Lempongsari, Kota Semarang, yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap enam santriwati.

Dua di antgara enam santriwati itu berstatus anak-anak. Kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual di lingkungan pondok pesantren di Jawa Tengah sebenarnya bukan sesuatu yang baru.

Pada April 2023, kasus pelecehan seksual di lingkungan pondok pesantren terjadi di wilayah Kabupaten Batang. Kala itu, Wildan Mashuri Amin, 57, yang merupakan pengasuh pondok pesantren di Kabupaten Batang, terungkap telah melakukan pelecehan seksual kepada para santriwati.

Advertisement

Korban pelecehan seksual dan kekerasan seksual itu puluhan santriwati. Jumlah korban yang cukup banyak itu menyita perhatian Gubernur Jawa Tengah kala itu Ganjar Pranowo.

Ia meminta Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan, salah satunya dengan memverifikasi ulang pendirian pondok pesantren.

Kasus-kasus pelecehan seksual di lingkungan pondok pesantren masih terus terjadi, terus bermunculan. Kasus kekerasan seksual di Kota Semarang yang baru-baru ini terungkap terjadi di sebuah pondok pesantren yang dikatakan ilegal karena tidak mengantongi izin pendirian.

Kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren tergolong banyak. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2015—2020 pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan kedua setelah perguruan tinggi yang paling banyak menjadi lokasi kekerasan seksual.

Advertisement

Hingga Agustus 2020, ada 10 kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Jumlah itu lebih sedikit daripada kasus di universitas atau perguruan tinggi yang mencapai 14 kasus.

Kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren memang mirip fenomena gunung es. Permasalahan itu terlihat sedikit di permukaan, namun bisa jadi sebenarnya sangat banyak, tapi tidak terungkap.

Banyak santri maupun santriwati yang sebenarnya menjadi korban, tapi mereka tidak mau atau malu untuk mengadu. Ada berbagai faktor yang menyebabkan kasus pelecehan seksual terjadi hingga korban tidak berani mengadu.

Salah satunya adalah dalil sami’na wa atho’na yang kerap digunakan para pelaku pelecehan seksual di pesentran untuk memaksakan perbuatan bejat itu kepada korban. Para korban diminta patuh kepada pelaku karena pelaku merupakan pengasuh pondok pesantren atau kiai di pondok pesantren itu.

Advertisement

Para korban sebenarnya sadar perbuatan pelaku itu salah. Meski demikian, doktrin harus patuh karena kiai merupakan wali, orang tua, hingga orang yang saleh, membuat pertahanan korban rapuh.

Korban pada akhirnya menuruti keinginan pelaku. Kasus-kasus pelecehan seksual inilah yang membuat citra pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan tercoreng. Hingga kini masih banyak orang tua yang percaya menitipkan anak mereka di pondok pesantren.

Banyak yang menganggap belajar di pondok pesantren memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan belajar di lembaga pendidikan formal lainnya. Pesantren dianggap tempat yang tepat untuk membentuk karakter dan akhlak anak.

Pesantren juga bisa memberikan pendidikan agama yang kuat kepada anak, anak lebih mandiri, disiplin, bertanggung jawab, dan juga terhindar dari pergaulan bebas. Meski demikian, dengan banyaknya kasus kekerasan seksual maupun pelecehan seksual itu membuat banyak orang tua menjadi waswas untuk menitipkan anak di pesantren.

Advertisement

Para orang tua khawatir anak menjadi korban kekerasan seksual atau pelecehan seksual, terlebih banyak kasus yang terungkap pelakunya berasal dari kalangan pengasuh, pendiri, bahkan pemimpin pesantren.

Situasi ini tentu sangat merugikan bagi citra pesantren. Kepercayaan publik terhadap pesantren yang menjadi lembaga pendidikan favorit akan turun. Selama ini banyak masyarakat yang berlomba-lomba menyekolahkan anak di pesantren.

Mereka rela mengeluarkan uang puluhan juta rupiah agar anak masuk pesantren yang diinginkan. Sebenarnya banyak artikel di media massa yang membahas tentang kiat atau tata cara mencegah kekerasan seksual di lingkungan pondon pesantren.

Salah satu cara itu adalah melibatkan anak dalam proses pencegahan, seperti memberikan edukasi terkait seksualitas kepada anak. Anak harus dibekali pengetahuan agar bisa menjaga tubuh sebelum masuk ke pesantren.

Anak juga harus dilatih bersikap tegas dan tidak meras segan dan sungkan untuk membahas masalah pelecehan seksual yang muncul dalam pemberitaan di media massa. Upaya pencegahan lainnya bisa dilakukan orang tua saat memilih lembaga pendidikan.

Pastikan pesantren yang dipilih adalah lembaga pendidikan yang terpercaya. Fasilitas, biaya, metode belajar, yayasan, legalitas lembaga, hingga asal usul pendidikan guru dan pendirinya harus ditelisik secara detail.

Advertisement

Pemerintah juga harus bersikap tegas dalam pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Pemerintah melalui Kementerian Agama harus benar-benar serius memverifikasi legalitas pesantren.

Jika pesantren memang tidak memiliki izin, sudah seharusnya dilarang beroperasi atau menerima santri. Saat ini kemungkinan banyak pesantren yang tidak mengantongi izin pendirian yang masih beroperasi atau menerima santri, seperti pesantren di Kota Semarang yang baru-baru ini menjadi lokasi pelecehan seksual enam santriwati.

Pesantren yang ketahuan menjadi lokasi kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual sudah semestinya ditutup. Para santri dipindahkan ke lembaga pendidikan yang telah direkomendasikan pemerintah.

Jangan sampai kasus-kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual terjadi lagi di lingkungan pesantren. Itu tidak hanya merugikan para santri, tapi juga citra pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan favorit bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih atas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 September 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif