Kolom
Senin, 5 Februari 2024 - 11:55 WIB

Kembali ke Filosofi Bakso

Hijriyah Al Wakhidah  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hijriyah Al Wakhidah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Siapa yang tak mengenal bakso? Makanan ini umumnya terbuat dari campuran daging giling dan tepung tapioka. Dalam pembuatan bakso masyarakat Indonesia kerap menggunakan daging sapi.

Ada pula yang memakai variasi bahan daging ayam atau ikan. Bakso telah menjadi penggerak ekonomi kerakyatan. Di Indonesia, jumlah pedagang bakso menurut Asosiasi Pedagang Mie Bakso (Apmiso) Nusantara mencapai 12 juta orang.

Advertisement

Artinya, angka ini mencapai 20% jika dibandingkan dengan data seluruh usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM pada 2023, yang tercatat sebanyak 67 juta menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

Kemampuan menggerakkan ekonomi kerakyatan ditunjukkan para pedagang bakso. Mereka adalah usaha kecil dan menengah (UKM) informal, namun mereka mampu bekerja mandiri dan menciptakan lapangan kerja secara mandiri.

Advertisement

Kemampuan menggerakkan ekonomi kerakyatan ditunjukkan para pedagang bakso. Mereka adalah usaha kecil dan menengah (UKM) informal, namun mereka mampu bekerja mandiri dan menciptakan lapangan kerja secara mandiri.

Ekonomi sirkular dari bisnis bakso cukup besar. Semangkuk bakso mampu menggerakkan ekonomi sektor lain, seperti perdagangan bahan baku seperti tepung terigu, sayuran, tepung tapioka, saus, kecap, hingga bisnis penggilingan daging.

Ini artinya kekuatan ekonomi para pebisnis bakso tidak main-main. Pada 2007, perputaran uang dari bisnis bakso secara nasional mencapai Rp180 miliar per hari atau Rp5,4 triliun per bulan dengan asumsi enam juta pengusaha mi dan bakso dapat menjual 10 porsi per hari dengan harga Rp 3.000 per porsi.

Advertisement

Yang pertama, menengok sejarah terciptanya bakso pada abad ke-17 di Tiongkok, menu ini tercipta dari wujud bakti seorang anak kepada ibunya. Bakso kali pertama dibuat oleh seorang lelaki bernama Meng Bo asal Fuzhou.

Ia hidup berdua bersama ibunya yang lanjut usia. Meng Bo setiap hari harus mengurus ibunya dan menyiapkan segala kebutuhan, termasuk membuatkan makanan. Ibunda Meng Bo sudah sangat kesulitan memakan daging.

Setiap ada hidangan daging, si ibu tidak bisa makan banyak. Meng Bo mencari solusi agar ibunya bisa makan dan akhirnya dia menggiling daging dan dibuat bola-bola kecil kemudian dimasak dengan kuah kaldu menjadi sajian menu yang sangat lezat.

Advertisement

Apa yang dilakukan Meng Bo kepada ibunya menjadi salah satu pelajaran yang bisa kita ambil dari makanan bernama bakso. Berbakti menjadi kata kunci pertama dari filosofi bakso.

Pelajaran lain dari bakso adalah tentang semangat yang luar biasa dari para tukang bakso keliling. Mereka adalah sosok yang terus melangkah di tengah ketidakpastian kehadiran pembeli.

Nilai kegigihan dari para tukang bakso ini patut dicontoh, bahkan saat hujan turun. Mereka justru semakin bersemangat karena peluang pembeli akan lebih banyak saat cuaca dingin.

Advertisement

Mereka pedagang yang pantang pulang sebelum dagangan habis. Kegigihan adalah kunci kedua dari filosofi bakso. Belakangan menu bakso menjadi topik utama dan disebut hampir di semua media, setidaknya dalam dua atau tiga hari terakhir.

Bakso menjadi tren saat dua tokoh nasional, Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan yang juga calon presiden Prabowo Subianto, menyantap bakso di pinggir jalan di Magelang, Jawa Tengah.

Pilihan menu menjadi sorotan utama media saat menurunkan artikel tentang aktivitas dua tokoh itu. Menu bakso diangkat sebagai judul hampir di semua artikel. Publik tidak disuguhi makna dari pemilihan menu bakso atau bagaimana perasaan si tukang bakso saat didatangi dua tokoh nasional itu atau lebih jauh lagi: bakso makanan favorit dua tokoh itu.

Publik lebih banyak dibawa ke dalam pesan politik dari acara makan siang bersama dua tokoh itu. Publik yang menonton aktivitas dua tokoh itu melalui media televisi maupun media sosial dibawa ke dalam makna bahwa itu adalah sinyal dukungan Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden.

Dalam kacamata politik, agenda makan siang bersama itu bukan aktivitas makan siang biasa. Ada makna tersirat yang ingin mereka tunjukkan. Simbol dukungan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto semakin kuat, terlebih momentum itu beriringan dengan momentum Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa presiden boleh berkampanye.

Sebuah pernyataan kontroversial yang menuai banyak kritik, terlebih pernyataan itu disampaikan saat berdiri bersanding dengan salah satu calon presiden. Kendati dukungan politik ini disangkal oleh Presiden Joko Widodo, keakraban menjelang sejenis belum ditunjukkan Presiden Joko Widodo kepada calon presiden atau calon wakil presiden yang lain.

Pertemuan simbolis sembari makan bakso itu pada akhirnya menguntungkan salah satu calon presiden: Prabowo Subianto. Bakso yang biasa dinikmati bersamaan dengan aneka macam bahan pelengkap dalam satu sajian mangkuk punya makna walaupun berbeda-beda, bermacam-macam cita rasa, tetapi tetap bisa bersatu.

Bakso adalah menu yang dapat diterima oleh siapa pun, kapan pun, serta bisa dinikmati di mana pun. Persatuan adalah filosofi paling kuat dari bakso. Seharusnya filosofi inilah yang dikedepankan.

Membangun simbol-simbol dan semangat persatuan menjadi hal yang penting untuk menyambut Pemilu 14 Februari 2024. Seluruh kontestan Pemilu 2024 harus mengedepankan narasi persatuan agar Indonesia mampu menghadapi berbagai tantangan dan ujian pada masa depan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Februari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif