Kolom
Rabu, 11 Oktober 2023 - 09:35 WIB

Kesehatan Jiwa sebagai Hak Asasi Universal

Adriesti Herdaetha  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Adriesti Herdaetha (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kesehatan  adalah salah satu hak fundamental manusia pemberian Tuhan dan harus dijaga secara hukum. Tiap-tiap negara merekognisi kesehatan sebagai modal dasar meraih kesejahteraan bersama, beriringan dengan hak dasar lainnya.

Kesehatan bersifat holistik dan eklektik. Ketika kita berbicara tentang kesehatan tidak mungkin mengabaikan  kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa adalah kondisi kesehatan mental yang memungkinkan seseorang mengatasi stres kehidupan, menyadari kemampuan mereka, bekerja dan belajar dengan baik, serta berkontribusi dalam masyarakat.

Advertisement

Kesehatan jiwa adalah hak asasi manusia (HAM) dasar dan merupakan unsur penting pada individu, masyarakat, dan pembangunan. Kesehatan jiwa meliputi gangguan jiwa, disabilitas kognitif, disabilitas psikososial, dan kondisi mental yang berhubungan dengan distres, gangguan fungsi harian, dan risiko menyakiti diri sendiri.

Memiliki masalah gangguan jiwa bukan alasan menghilangkan hak asasi seseorang atau tidak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan terkait kesehatan mereka. Hingga saat ini di seluruh dunia orang dengan gangguan jiwa masih mengalami berbagai pelanggaran hak asasi.

Banyak yang tersingkir dari komunitas dan mengalami diskriminasi. Banyak pula yang tidak punya kesempatan mengakses pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan. Hak atas kesehatan jiwa bersifat universal, mencakup hak untuk dilindungi dari risiko kesehatan jiwa, hak untuk mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, serta hak untuk bebas, hidup mandiri, dan produktif dalam masyarakat.

Advertisement

Negara wajib memenuhi hak asasi manusia setiap warga negara, tanpa kecuali. Salah satu kewajiban warga negara adalah membuat legislasi tentang kesehatan jiwa. Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa pertama di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014. Selanjutnya dilebur menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Kesehatan jiwa dinyatakan dalam Pasal 74-85. Pasal 4 ayat (1) menjelaskan setiap orang berhak hidup sehat secara fisik, jiwa, dan sosial. Kewajiban negara berikutnya adalah menghormati, berupa kewajiban menjamin akses mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa untuk seluruh masyarakat.

Negara melarang pemasungan dalam bentuk apa pun terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Pemasungan menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sangat membantu masyarakat mendapatkan pengobatan gangguan jiwa.

BPJS Kesehatan menjamin biaya perawatan di rumah sakit dan ketika ODGJ menjalani pengobatan rawat jalan. Walakin, belum semua modalitas terapi untuk ODGJ ditanggung BPJS.

Advertisement

Modalitas terapi untuk gangguan jiwa bukan hanya obat-obatan, tetapi ada terapi tambahan lain, misalnya terapi kejang listrik, terapi dengan stimulus magnet, akupuntur, dan psikoterapi.

Hidup sehat secara kejiwaan adalah keadaan kesejahteraan mental dan spiritual yang memungkinkan seseorang menyadari kemampuan diri, mengatasi tekanan hidup, mampu belajar dan bekerja dengan baik, serta mampu memberikan kontribusi terhadap komunitasnya.

Sayangnya hal ini terhambat dengan stigma dan diskriminasi. Stigma adalah perbuatan memberikan label sosial terhadap gangguan jiwa sehingga gangguan jiwa dipandang sebagai sesuatu yang negatif.  Misalnya, gangguan jiwa adalah sesuatu yang memalukan, ODGJ tidak bisa melakukan apa-apa, berkunjung ke psikiater artinya gila.

Ini menghambat seseorang mencari pengobatan ketika mengalami gangguan jiwa. Stigma pada akhirnya memunculkan diskriminasi. Diskriminasi ini terlihat nyata dalam dunia kerja. Pemerintah harus menjamin hak ODGJ untuk bekerja sebagai kewajiban menghormati (obligation to respect) dari negara.

Advertisement

Pada saat melamar sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau melamar di pekerjaan lain  diwajibkan melampirkan surat keterangan sehat jiwa. Ini menjadi momok bagi pengidap gangguan jiwa yang hendak melamar sebagai ASN.

Tidak semua pengidap gangguan jiwa mengalami gangguan fungsi. Pengidap gangguan jiwa ringan sampai sedang, yang menjalani pengobatan secara teratur, umumnya dapat menjalankan fungsi sosial, pekerjaan, dan akademik dengan baik.

Hal ini yang belum sepenuhnya dipahami oleh penyedia lapangan kerja. Menyedihkan apabila perusahaan langsung memecat karyawan yang tengah atau pernah menjalani pengobatan kejiwaan. Tidak selamanya ODGJ berat dirawat di rumah sakit. Suatu saat ia akan kembali ke masyarakat.

Di sinilah masyarakat berperan menjamin hak mereka untuk bekerja. Pekerjaan yang diberikan bisa disesuikan dengan kemampuan mereka. Ketika para ODGJ itu merasa mampu menghasilkan sesuatu, harga diri dan efikasi mereka akan meningkat.

Advertisement

Perasaan bahwa diri mereka bermakna secara psikologis akan membantu mempertahankan kesembuhan mereka dan memberi motivasi mereka untuk sembuh. Perlu edukasi terus-menerus kepada masyarakat awam bahwa ODGJ bisa produktif.

Tahun 2019, kali pertama dalam sejarah, negara melibatkan ODGJ sebagai peserta pemilu. Ini harus diapresisasi. ODGJ (penyandang disabilitas mental) adalah bagian dari kelompok masyarakat penyandang disabilitas.

Aturan ini dinyatakan secara jelas dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

ODGJ  mendapat jaminan perlindungan atas hak-hak mereka, termasuk dalam pesta demokrasi bernama pemilihan umum. Salah satu yang diakui secara universal adalah hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, termasuk untuk didaftar sebagai pemilih.

Secara medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir).

Artinya, penyandang disabilitas mental seperti pengidap skizofrenia, bipolar, atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.

Advertisement

Penyandang disabilitas mental dengan disfungsi kognitif yang berat akan memengaruhi kemampuan kapasitas, tetapi fungsi kognitif tetap dapat ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan. Umumnya penyandang disabilitas mental bersifat kronik dan episodik (kambuhan).

Jika periode kambuhan terjadi pada hari pemilu, khususnya pada waktu pencoblosan surat suara, tentu tidak mungkin memaksa datang ke tempat pemilihan suara untuk berpartisipasi memberikan suara. Di luar periode episodik, pemikiran, sikap, ingatan, dan perilaku mereka tetap memiliki kapasitas untuk memilih.

Kelompok ODGJ rentan mendapatkan salah perlakuan, yakni menjadi sasaran empuk dogma patuh pada kelompok politik tertentu. Mudah-mudahan hak mereka untuk memilih tetap tertunaikan pada Pemilu 2024.

Saya berpendapat pemenuhan hak ODGJ saat ini lebih baik dibandingkan beberapa dekade lalu, namun demikian memartabatkan ODGJ adalah proses yang panjang dan tidak mudah. Sulit, tapi bukan mustahil untuk dilakukan melalui sinergitas antara pemangku kepentingan di semua sektor.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Oktober 2023. Penulis adalah Doktor Promosi Kesehatan Universitas Sebelas Maret dan psikiater di RSJD dr. Arif Zainudin, Kota Solo)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif