Kolom
Jumat, 3 Mei 2024 - 20:34 WIB

Ketika Korupsi Dikorupsi

Firman Situmeang  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Firman Situmeang (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Korupsi merupakan masalah klasik di Indonesia. Sejak negeri ini merdeka sampai hari ini para pejabat di negeri ini tak pernah takut untuk korupsi. Hal ini dibuktikan dengan banyak kasus korupsi yang membuat pembangunan di negeri ini menjadi terhambat.

Sepanjang 2023 saja, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima  5.079 laporan masyarakat dengan 161 kasus dalam penyidikan, Kejaksaan menangani 6.601 perkara korupsi dengan 1.462 kasus dalam penyidikan, dan kepolisian menangani 431 kasus.

Advertisement

Maraknya kasus korupsi di Indonesia berdampak pada buruknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Menurut data terbaru peringkat IPK, Indonesia kembali mengalami penurunan dari urutan ke-110 pada 2022 menjadi urutan ke-115 pada 2023 dengan 34 poin.

Kondisi tersebut membuat masyarakat berharap banyak agar pemerintah lebih serius dan tegas dalam melawan korupsi. Alih-alih menjawab keresahan tersebut, penegak hukum dan pemerintah justru mempertontonkan sikap yang membuat masyarakat harus mengelus dada.

Sebut saja para koruptor yang rata-rata hanya divonis dua tahun penjara, pemberian remisi kepada narapidana korupsi, hingga eks narapidana kasus korupsi diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif atau caleg.

Advertisement

Seakan-akan tak puas mengecewakan rakyat, pemerintah kembali mengeluarkan keputusan yang memberikan karpet merah kepada koruptor. Pada 2 Januari 2023 pemerintah bersama DPR mengesahkan KUHP baru yang secara terang benderang menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap koruptor.

Pasal 603 tentang tindak pidana korupsi dalam KUHP baru tersebut mengurangi hukuman minimal koruptor dari yang awalnya  empat tahun menjadi dua tahun penjara dan denda dari minimal Rp200 juta menjadi Rp10 juta. Sebuah perubahan yang tentu saja ditolak banyak pihak, terutama gerakan antikorupsu

Mengerdilkan Korupsi

Ada tiga alasan mengapa KUHP baru direspons negatif oleh masyarakat. Pertama, pengaturan tentang korupsi dalam KUHP baru secara otomatis akan mengubah status korupsi dari yang awalnya pidana khusus menjadi pidana umum.

Asas lex specialis derogat legi generalis dalam tindak pidana korupsi ditinggalkan. Ini akan memunculkan dua konsekuensi, yakni korupsi bukan lagi extraordinary crime, melainkan setara dengan kejahatan lain seperti pencurian, dan kewenangan penegak hukum, khususnya KPK, dalam penanganan kasus korupsi menjadi kabur.

Advertisement

Dampak berikutnya adalah memungkinkan terjadi konflik antarpenegak hukum tentang siapa yang layak mengurus korupsi yang pada akhirnya akan berdampak pada terhambatnya pemberantasan korupsi.

Guna mengatasi hal tersebut sebenarnya pemerintah bisa menambahkan klausul khusus untuk membagi kewenangan penegak hukum, misalnya untuk korupsi perseorangan ringan diserahkan kepada kepolisian dengan berkoordinasi dengan KPK.

Kemudian korupsi perseorangan sedang atau berat ditangani KPK yang berkoordinasi dengan kejaksaan dan korupsi korporasi diurus kejaksaan dengan bantuan KPK bila dibutuhkan. Sayangnya pemerintah tidak menganggap eksistensi perangkat hukum dalam penanganan korupsi penting adanya.

Kedua, sebelum KUHP baru disahkan pemerintah sudah terlebih dahulu mengesahkan UU Pemasyarakatan yang memungkinkan para koruptor mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Advertisement

Dengan adanya penurunan hukuman bagi para koruptor, mereka akan semakin merajalela. Dengan ancaman hukuman minimal empat tahun penjara saja banyak pejabat dan politikus korupsi karena rata-rata vonis yang diterima para koruptor hanya dua tahun.

Dengan ancaman kurungan minimal dua tahun maka ke depan tidak mengejutkan apabila angka kasus korupsi akan meroket karena mereka yakin hanya akan dipenjara kurang dari setahun atau bahkan dibebaskan secara bersyarat.

Ketiga, tidak dicantumkan uang pengganti korupsi. Sebagaimana diketahui setiap tahun puluhan triliun rupiah uang negara lenyap karena dikorupsi. Oleh karena itu para koruptor seharusnya dituntut mengembalikan kerugian negara.

KUHP baru sekali lagi menunjukkan betapa pemerintah terlalu toleran terhadap koruptor. Pennghapusan label kejahatan luar biasa pada korupsi tentu saja menjadi ironi dan membuat kita kembali mempertanyakan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Advertisement

Ketika negara-negara Skandinavia  yang dikenal antikorupsi menerapkan hukuman berat bagi tindak korupsi, Indonesia yang notabene rumahnya koruptor justru bertingkah seperti negara bersih sehingga memperlakukan koruptor sedemikian ramah.

Negara sebagai Panglima

Dewasa ini ada anggapan keliru oleh pemerintah bahwa ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia adalah KPK. Anggapan tersebut tercermin dari tindakan pemerintah yang cenderung menormalisasi korupsi.

Ketika banyak pejabat di BUMN terindikasi korupsi, pemerintah tidak tampak berupaya merestrukturisasi BUMN agar antikorupsi. Begitu pula ketika para koruptor diberi vonis rendah dan mendapatkan remisi, pemerintah tak sekalipun memberikan atensi akan hal itu.

Kondisi ini tentu saja memprihatinkan. Apabila kita berkaca pada keberhasilan negara lain dalam mengatasi korupsi, kita dapat melihat bahwa negaralah yang justru menjadi panglima tertinggi dalam pemberantasan korupsi.

Sebut saja Finlandia yang tahun lalu didaulat sebagai negara antikorupsi untuk kali kedua di dunia. Keberhasilan negara Skandinavia tersebut bukan karena ada lembaga antikorupsi, mereka tidak memiliki lembaga khusus untuk itu, namun karena campur tangan negara dalam membangun sistem antikorupsi di berbagai lini dan sektor.

Mulai dari kewajiban memublikasikan pekerjaan atau keputusan pejabat publik, mengategorikan penyembunyian informasi publik sebagai bagian dari korupsi, melarang menteri maupun anggota DPR memangku jabatan lain selain di pemerintahan, pembagian kewenangan yang jelas dalam penanganan korupsi, definisi korupsi yang jelas dan tegas, dan independensi aparat penegak hukum.

Advertisement

Kegagalan pemerintah sebagai panglima pemberantasan korupsi diperparah dengan buruknya kinerja lembaga penegak hukum. Dalam beberapa tahun terakhir kita dipertontonkan dengan tingkah laku dan keputusan aparat penegak hukum yang terkesan pro koruptor.

Sebut saja Mahkamah Agung yang pernah membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 pada 2021 yang berdampak pada banyak koruptor mendapatkan pembebasan bersyarat, memperbolehkan eks narapidana kasus korupsi mencalonkan diri dalam pemilihan anggota legislatif, memangkas hukuman para koruptor, hingga membebaskan para koruptor atas nama keadilan.

Hal serupa ditunjukkan oleh pengadilan negeri di berbagai daerah yang kerap kali membebaskan terdakwa korupsi. Kolaborasi pemerintah, anggota DPR, dan lembaga penegak hukum dalam membentangkan karpet merah kepada koruptor pada akhirnya membuat cita-cita negara memberantas korupsi harus menemui jalan buntu.

Para wakil rakyat yang katanya ingin menyejahterakan rakyat justru berselingkuh dengan koruptor, bersama-sama menyengsarakan rakyat. Inilah salah satu yang membuat agenda reformasi yang menjadi amanat gerakan massa rakyat pada 1998 hanya jalan di tempat, bahkan malah mundur.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 April 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang, Serang, Banten)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif