Kolom
Rabu, 26 Juli 2023 - 20:21 WIB

Ketika Privasi Tak Ada Lagi

Anik Sulistyawati  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Sebuah  video pendek di beranda Instagram menarik perhatian saya. Di situ digambarkan sepasang suami istri masuk gedung bioskop, siap-siap menonton film. Bukan film yang dipertontonkan, melainkan video mematorfosis anak kecil perempuan yang menjadi dewasa dalam waktu singkat.

Tokoh dalam tayangan itu kemudian mengaku dirinya adalah ”manusia” buatan artificial intelligence (AI). Dia berpesan kepada dua orang tuanya yang sedang menonton tayangan itu bahwa dirinya yang sudah dewasa karena campur tangan AI merasa tidak bahagia.

Advertisement

Ia merasa terancam dengan konten-konten kehidupan masa kecil yang telah dibagikan atau oleh kedua orang tuanya di media sosial. Dia seolah-olah menjadi bahan atau objek yang dieksploitasi secara digital tanpa dia sadari dan dia inginkan.

Iklan ini menyentil mereka yang suka mengunggah atau membagikan segala sesuatu di media sosial, termasuk foto diri, foto keluarga, dan aktivitas lainnya.  Sah-sah saja membagikan foto atau video momentum atau kisah apa pun di ranah publik melalui beragam jenis media sosial hingga terjebak pada tindakan overposting dan oversharing.

Advertisement

Iklan ini menyentil mereka yang suka mengunggah atau membagikan segala sesuatu di media sosial, termasuk foto diri, foto keluarga, dan aktivitas lainnya.  Sah-sah saja membagikan foto atau video momentum atau kisah apa pun di ranah publik melalui beragam jenis media sosial hingga terjebak pada tindakan overposting dan oversharing.

Overposting  mengacu pada tindakan mengunggah terlalu banyak konten atau informasi secara berulang-ulang dan berlebihan di media sosial. Ini bisa mencakup segala hal, mulai dari pembaruan status, foto, video, hingga opini dan pikiran mereka sehari-hari.

Overposting dapat menyebabkan kemunculan konten dari satu individu yang sangat dominan di feed atau timeline media sosial orang lain. Overposting bisa menjadi masalah karena dapat menyebabkan kelelahan informasi pada audiens.

Advertisement

Terlalu sering membagikan informasi atau opini pribadi dapat membuat orang lain merasa terganggu atau bosan. Oversharing merujuk pada perilaku berbagi informasi pribadi yang sangat terperinci atau terlalu detail di media sosial atau platform online lainnya.

Ini termasuk mengunggah perincian kehidupan sehari-hari, masalah pribadi, hubungan dengan orang lain, kesehatan, atau informasi keuangan yang seharusnya bersifat privasi atau bukan konsumsi publik.

Oversharing juga berpotensi menimbulkan masalah karena mengancam privasi individu dan menempatkan diri pada risiko. Dengan membagikan informasi terlalu pribadi secara terbuka, individu dapat menjadi rentan terhadap pencurian identitas, penipuan, atau penyalahgunaan informasi.

Advertisement

Masalah Serius

Kecerdasan buatan atau AI memang membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kehidupan sehari-hari, pendidikan, gaya hidup, industri, ekonomi, hingga layanan publik.

Penggunaan AI yang semakin meluas juga menimbulkan tantangan etika dan masalah privasi yang cukup serius. Dulu pernah marak penipuan dengan modus minta pulsa atau telepon gelap yang mengatanamakan polisi dan mengabari ada anggota keluarga kecelakaan.

Kini modus penipuan berubah mengikuti perkembangan zaman. Orang atau pihak tak bertanggung jawab bisa memanfaatkan celah mereka yang overposting atau oversharing.

Advertisement

Lemahnya perlindungan data di Indonesia mengakibatkan maraknya kebocoran data. Terbukti dengan sering terjadinya kasus kejahatan siber, seperti hacking (peretasan) maupun cracking (pembajakan) media sosial yang berujung pembobolan data pribadi, pemerasan, hingga penipuan.

Sering kita dengar kasus kebocoran data personal yang dialami individu maupun secara kolektif yang terjadi di lembaga keuangan, bahkan lembaga pemerintah. Terbaru adalah dugaan 337,2 juta data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri telah diretas dan dijual di darkweb.

Data tersebut berupa nomor induk kependudukan, nama, nomor kartu keluarga, jenis kelamin, tanggal lahir, nama ibu kandung, nomor kartu tanda penduduk ibu, nama ayah, nomor kartu tanda penduduk ayah, alamat, dan lain-lain.

Semakin kompleksnya teknologi AI dan segala implikasinya memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab hukum. Jika AI melakukan kesalahan atau menyebabkan kerugian, siapa yang bertanggung jawab? Apakah para pengembang, pemilik perusahaan, atau AI itu sendiri?

Mengatasi implikasi etika dan privasi dalam pengembangan AI adalah tantangan yang kompleks, tetapi sangat penting untuk menciptakan lingkungan teknologi yang lebih adil, aman, dan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.

Diperlukan kolaborasi antara para pengembang, perusahaan, pemerintah, dan ahli etika untuk mencari solusi yang tepat dan mengintegrasikan nilai-nilai etika dalam setiap tahap pengembangan AI.

Hanya dengan pendekatan ini kita dapat memastikan AI digunakan untuk mendukung kesejahteraan, kenyamanan, dan kemajuan sosial tanpa mengorbankan etika dan privasi. Undang-undang dan regulasi perlu diperbarui untuk mencerminkan perkembangan teknologi AI dan menetapkan kerangka hukum yang jelas.

Perlindungan data pribadi bisa dimulai dari diri sendiri. Kita mungkin sering mendengar atau membaca tentang cara-cara melindungi data pribadi di dunia digital, seperti menggunakan kata sandi yang kuat dan berbeda, mengaktifkan autentifikasi dua faktor, perbarui perangkat lunak secara berkala, dan sebagainya.

Tak kalah penting adalah menahan diri agar tidak overposting dan oversharing di ranah digital, terutama di media sosial. Kita tidak tahu yang akan terjadi pada kemudian hari. Hal yang bisa kita lakukan saat ini adalah berhati-hati untuk melindungi diri, keluarga, dan orang-orang yang kita sayangi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Juli 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif