Kolom
Senin, 7 Januari 2013 - 09:00 WIB

Kisah Mobil Pak Dahlan…

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suwarmin Wartawan SOLOPOS.

Suwarmin, Wartawan SOLOPOS (FOTO/Istimewa)

Dahlan Iskan, Jokowi dan SBY. Apakah artinya deretan nama-nama itu?

Advertisement

Semuanya adalah nama-nama yang sangat menarik perhatian, laksana gula bagi rombongan semut. Semuanya jelas bukan orang sembarangan, semuanya orang besar.

Nama pertama adalah juragan media, sangat kaya sehingga mampu membeli mobil listrik seharga Rp3 miliar dengan duitnya sendiri dan diusung sebagai proyek prestisius bernama mobil listrik nasional. Satunya lagi adalah Gubernur DKI Jakarta, sangat sederhana tetapi seksi untuk dibicarakan, punya merek baju kotak-kotak, seolah bisa disentuh oleh semua orang, orang besar tetapi seperti tetangga di samping rumah. Satunya lagi adalah Presiden Republik Indonesia, orang nomor satu di negeri ini, kalem, santun, rapi, terarah, tersistem. Kesamaan lainnya, mungkin ketiganya sengaja atau tidak sama-sama serba tercitrakan.

Advertisement

Nama pertama adalah juragan media, sangat kaya sehingga mampu membeli mobil listrik seharga Rp3 miliar dengan duitnya sendiri dan diusung sebagai proyek prestisius bernama mobil listrik nasional. Satunya lagi adalah Gubernur DKI Jakarta, sangat sederhana tetapi seksi untuk dibicarakan, punya merek baju kotak-kotak, seolah bisa disentuh oleh semua orang, orang besar tetapi seperti tetangga di samping rumah. Satunya lagi adalah Presiden Republik Indonesia, orang nomor satu di negeri ini, kalem, santun, rapi, terarah, tersistem. Kesamaan lainnya, mungkin ketiganya sengaja atau tidak sama-sama serba tercitrakan.

Jokowi yang kurus ceking itu hobi blusukan. Geraknya selalu cepat dan lincah, sering kali lebih cepat dari pejabat yang menyertainya, bahkan lebih cepat daripada tuan rumah yang mempunyai hajat dan membutuhkan kehadirannya. Saat menjadi panitia acara jalan santai beberapa tahun lalu, pada pagi buta, saat peserta belum banyak berdatangan dan panitia masih satu-dua hadir di lapangan, Jokowi sudah datang duluan dengan sepedanya. Saat acara jalan santai dilaksanakan, kawan-kawan panitia dan pejabat sponsor ngos-ngosan mengiringi langkah-langkah ringan Jokowi.

Ketika sudah menjadi Gubernur DKI, cerita tentang blusukan Pak Jokowi masih berlanjut. Seorang kawan dari agensi iklan di Solo nyeletuk, ”Bahkan Jokowi nengok ke kali kumuh saja jadi foto utama di koran-koran nasional.” Itulah Jokowi, tiada hari tanpa blusukan. Sampai-sampai orang yang tidak suka dengan acara semacam ini mulai gerah. ”Terus kapan orang Solo itu mengurus Jakarta,” kata seorang teman melalui jejaring sosial.

Advertisement

Lalu tiba-tiba ada rasan-rasan bahwa SBY yang tinggi tegap berwibawa itu meniru gaya Jokowi, mengunjungi kampung nelayan yang kumuh, nyaris tanpa pengawalan, tidak menaiki mobil kepresidenan, tanpa protokoler dan seolah-olah serba mendadak. Sampai-sampai Bupati Tangerang yang daerahnya dikunjungi SBY tidak tahu-menahu. Jadi ingat camat di sebuah daerah di Jakarta yang kalah cepat hadir di kantornya dibandingkan kunjungan mendadak Jokowi.

Tetapi SBY tidak sedang meniru Jokowi. Kata Firmansyah, staf khusus presiden bidang ekonomi, seperti dikutip detik.com. ”[Presiden] sudah melakukan langkah seperti itu sejak tahun 2005-2006. Kalau dirahasiakan kan ada persiapan, Pak SBY tidak mau seperti itu,” kata Firmansyah.

Bahkan kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam, SBY akan sering melakukan itu. Tentu, ini bagus bagi rakyat negeri ini. Kalau dulu banyak calon pemimpin atau calon anggota legislatif yang blusukan pasar dan keliling kampung menjelang pemilu, kini saatnya pejabat blusukan kampung saat menjabat. Blusukan menjadi jalan terbaik untuk mengerti rakyat kecil, sehingga SBY pun sempat dicurhati soal sanitasi dan bantuan solar.

Advertisement

 

Mandi Kembang

Jokowi juga pernah memandikan mobil Esemka dengan air kembang. Mobil itu lalu dirayakan kemunculannya hingga menyusuri jalan-jalan Jakarta, beberapa bulan sebelum coblosan Pilkada Jakarta. Saat kembali ke Solo, warga dan anak-anak sekolah menyambut di pinggir jalan, seperti menyambut pahlawan bulu tangkis seusai memenangi Piala Thomas, zaman dulu.

Advertisement

Entah karena mobil bermandikan air kembang itu, karena senyum cerah Jokowi atau karena baju kotak-kotak yang fenomenal itu atau karena sebab lain, Jokowi akhirnya sukses memenangkan ”turnamen” perebutan supremasi kepemimpinan DKI Jakarta, menjadi orang pertama di Ibukota negara.

Hampir setahun kemudian, tak dinyana, kisah mobil bermandikan air kembang kembali berulang. Di kota yang sama dengan kelahiran Esemka, mobil ”Ferrari listrik” Tucuxi milik Dahlan Iskan dimandikan dengan air kembang oleh dalang kondang Ki Manteb Soedharsono. Air kembang itu bukan sembarangan, diambil dari kiblat sekawan, empat penjuru mata air. Tentu Dahlan tidak sedang napak tilas mandi kembang si Esemka yang kini nyaris tak terdengar gaungnya. Dahlan tengah menjalani acara harian keliling negeri, anjang sana anjang sini, menemui kolega-koleganya. Bukankah kini dia pejabat negara, bukan lagi ”orang pabrik”, jadi dia milik siapa saja, semua warga negara.

Tetapi Dahlan seperti selalu diiringi drama. Dulu dia pernah selamat dari kanker hati, kali ini sebuah kecelakaan dahsyat nyaris merenggut nyawanya. Mobil baru dengan warna menyerupai merahnya Ferrari dengan bodi mulus plus semok itu harus ditabrakkannya ke tebing terjal di jalan menurun curam di daerah Plaosan, Magetan, Jawa Timur, gara-gara rem mobil yang tak berfungsi. Bodi depan mobil yang semula mulus kinclong langsung ringsek, tapi Tuhan Maha Besar, Dahlan selamat tak kurang suatu apa. Tentu, Tuhan masih punya rencana masa depan untuk Dahlan.

Blusukan dan air kembang yang disiramkan ke bodi mobil, semuanya adalah packaging, kemasan alias bungkus. Bagi yang sinis, semua adalah pencitraan. Bagi yang tidak percaya, tidak ada magis di sana. Segala sesuatu yang hendak dicitrakan harus diberi arti lebih atau dilebihkan, ditokohkan, disakralkan. Semuanya akan berdampak lebih panjang, lebih jauh, lebih besar. Magnitude impact-nya lebih terasa. Media exposure-nya lebih berwarna.

Memasuki tahun baru 2013, semakin dekat ke tahun pemilu 2014, kita akan menikmati banyak drama. Long live Indonesia…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif