Kolom
Rabu, 3 Juni 2015 - 06:55 WIB

KOLOM : Setelah Sanksi FIFA Dijatuhkan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (1/6/2015), ditulis wartawan Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Banyak pro dan kontra setelah badan sepakbola dunia (FIFA) menjatuhkan sanksi untuk Indonesia. Sanksi itu membuat Indonesia bukan lagi menjadi bagian FIFA. Dengan demikian, semua tim bentukan PSSI, baik Timnas Garuda Senior maupun Garuda Muda tidak bisa tampil di ajang internasional.

Advertisement

Sebagian orang menganggap sepakbola Indonesia kiamat. Timnas mati suri, pemain sepakbola Indonesia pun terancam kehilangan pekerjaan hidup. Namun, tak sedikit pula yang menganggap justru inilah saat yang tepat untuk memperbaiki sepakbola Indonesia. Caranya, merombak PSSI, memperbaiki tata kelola kompetisi, menata manajemen klub, dan menyediakan infrastruktur kompetisi yang sehat. Setelah segalanya lebih baik, kita kembali mengajukan keanggotaan kepada FIFA. Ya, kelihatannya hanya sesederhana itu. Namun, situasi di lapangan tidaklah sesederhana itu.

Memang, di Indonesia, sepakbola nyaris tak berbeda dengan politik. Bahkan pengelola sepakbola Indonesia adalah para elite politik. Orang kuat PSSI Nirwan D. Bakrie adalah adik kandung Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang masih dalam sengketa dengan Ketua Umum Partai Golkar versi lain, Agung Laksono. Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti adalah Wakil Bendahara DPD Golkar Jawa Timur, Wakil Ketua Umum PSSI Hinca Panjaitan kini Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, dan banyak tokoh partai di level daerah merupakan pengurus atau pengelola tim Liga Indonesia. Jadi tidak mengherankan jika diskusi tentang nasib PSSI cenderung menjadi konten siaran yang mengisi banyak space di media televisi, terutama televisi yang menjadi basis politik para pengelola PSSI. Isu PSSI dibahas dan di-framing seperti berita pemilu presiden.

Advertisement

Memang, di Indonesia, sepakbola nyaris tak berbeda dengan politik. Bahkan pengelola sepakbola Indonesia adalah para elite politik. Orang kuat PSSI Nirwan D. Bakrie adalah adik kandung Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang masih dalam sengketa dengan Ketua Umum Partai Golkar versi lain, Agung Laksono. Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti adalah Wakil Bendahara DPD Golkar Jawa Timur, Wakil Ketua Umum PSSI Hinca Panjaitan kini Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, dan banyak tokoh partai di level daerah merupakan pengurus atau pengelola tim Liga Indonesia. Jadi tidak mengherankan jika diskusi tentang nasib PSSI cenderung menjadi konten siaran yang mengisi banyak space di media televisi, terutama televisi yang menjadi basis politik para pengelola PSSI. Isu PSSI dibahas dan di-framing seperti berita pemilu presiden.

Pengaruh politik ini pula yang membuat sepakbola Indonesia terasa rumit. Profesionalisme pengelolaan tim menjadi kredo yang kadang bisa dipakai namun jika desakan politik sedang bermain, kredo itu bisa luntur. Fungsi pengawasan dan evaluasi pengelolaan klub sering kali hanya sekadar main-main karena penilaian kinerja manajemen bermuara pada perkoncoan politik.

Setelah sanksi FIFA dijatuhkan, kendali kini bisa jadi berada di tangan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi. Harus diakui Imam tergolong berani menantang hegemoni PSSI yang sebelumnya nyaris tak tersentuh. Namun, sebagai penantang PSSI, langkah Imam cenderung berkesan lambat, kurang sigap, dan tidak strategis. Dia cenderung banyak memberi delay sehingga memberi kesempatan kepada PSSI untuk bermanuver.

Advertisement

Menpora sebenarnya tak perlu ragu dalam melangkah. Bukankah dia mendapat dukungan dari Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa inilah momentum pembenahan PSSI. “Kita ini hanya ingin ikut event internasional atau ingin prestasi? Kalau hanya ingin event internasional tapi selalu kalah. Saya tanya, lalu kebanggaan kita ada di mana? Kita ikut terus event internasional, kualifikasi Piala Dunia, di tingkat Asia, ASEAN tapi kita malu terus, kalah lagi, kalah lagi, kalah lagi. Yang ingin kita lakukan adalah pembenahan total,” kata Jokowi [Solopos, Minggu (31/5)]. [Jepang dan India]

 

Jepang dan India
Jadi, inilah saatnya mengelola sepakbola Indonesia mulai dari pangkalnya, yakni pengelolaan klub. Klub yang sehat adalah klub yang mampu menghidupi dirinya sendiri, mampu membangun tim senior, tim junior, dan semua tim kelompok umur tanpa menggunakan pendekatan politik atau kekuasaan. Jika dua pendekatan itu dipakai, keberlangsungan pengelolaan klub masih dipertanyakan. Hari ini sebuah klub mempunyai tim kuat namun jika sang penguasa daerah lengser, segalanya bisa berakhir.

Advertisement

Kita bisa menengok cara Jepang dan India dalam menata kompetisi sepakbola. Jepang yang kini memiliki liga sepakbola terbaik di Asia memulai era profesional dengan 10 klub pada Mei 1993. Sebanyak 10 klub itu didirikan perusahaan besar di Jepang dan masing-masing berhak atas perolehan sponsor yang sama dari otoritas pengelola J League. Jepang lebih mementingkan kompetisi yang sehat daripada kompetisi yang besar.

Negeri Sakura bahkan pernah menggunakan sistem tanpa hasil seri sampai dengan musim 1999 untuk menyesuaikan dengan karakter bangsa Jepang yang menginginkan pemenang dalam setiap pertarungan.  Kini J League berkembang menjadi liga profesional yang sebenarnya dan Timnas Jepang selalu menjadi tim papan atas di Asia, bahkan sanggup bersaing dengan tim-tim lain di dunia. Sebagai gambaran ketatnya persaingan Liga Jepang, pemain Timnas Indonesia Irfan Bachdim saat ini rela bermain di klub Divisi II J League, Consodale Sapporo, meski lebih sering sebagai pemain cadangan.

India juga memperbaiki kompetisi dalam beberapa tahun terakhir dengan memutar kompetisi hanya pada bulan Oktober hingga Desember. Sejumlah nama tenar pernah tampil di ajang Indian Super League antara lain Allesandro Del Piero, David Trezeguet, Robert  Pires, Fredrik Ljungberg, Joan Capdevilla, Luis Garcia, dan Marco Materazzi.

Advertisement

Indonesia tentu berbeda dengan Jepang dan India. Di Jepang, sepakbola bukan olahraga nomor satu. Bisbol menjadi olahraga paling favorit di negeri itu sementara di India, sepakbola kalah pamor dibandingkan kriket. Justru seharusnya hal ini akan lebih mudah bagi Indonesia jika ingin membangun liga yang profesional. Penonton sepakbola Indonesia tumpah ruah, daya tarik sponsor relatif tinggi dan rating sepakbola di televisi selalu masuk peringkat atas. Tinggal butuh kemauan keras dan konsistensi tinggi untuk memperbaiki sepakbola negeri ini.

Setelah sanksi dijatuhkan oleh FIFA, terlalu mahal harganya jika Menpora gagal memanfaatkan kesempatan ini untuk membenahi PSSI dan sepakbola Indonesia. Mumpung telanjur dikenai sanksi, momentum ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk melakukan apa yang disebut revolusi mental sepakbola Indonesia. Jika Menpora tidak sigap atau bahkan kehabisan energi, kekuatan lama akan kembali merebut posisi. Dan dunia akan menertawakan pemerintah Indonesia yang tidak sanggup membangun kompetisi sepakbola yang baik dan profesional.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif