Kolom
Selasa, 25 Juni 2024 - 09:55 WIB

Kota-kota Amorf

Redaksi  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Presiden Joko Widodo menanam pohon beringin saat meninjau progres pembangunan Istana Negara, Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Jumat (22/9/2023). (Antara/Sigid Kurniawan)

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan kota-kota di Indonesia umumnya adalah kota amorf, kota yang tidak mempunyai bentuk yang jelas.

Kota-kota di Indonesia bergejala ketika semakin hiruk pikuk dan semakin tinggi mobilitas penduduk menjadi semakin amorf. Ia mengatakan itu dalam acara Sustainable Development Goals (SDGs) Center Conference 2024 di Jakarta pada Rabu (20/6/2024).

Advertisement

Kota adalah akumulasi aktivitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ini berujung kompleksitas kehidupan perkotaan. Kota adalah sekumpulan relasi atau sebuah jaringan yang terhubung dengan wilayah lainnya. Perkembangan spasialitas perkotaan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan model produksi.

Faktor ekonomi menjadi yang paling dominan dalam gagasan-gagasan pengelolaan perkembangan kota. Pengembangan kota-kota kontemporer, termasuk Kota Solo tentu saja, makin dikuasai oleh model struktur ekonomi. Kini hampir seluruh kota utama di dunia dikelola sebagai kota neoliberal. Gejala ini menular ke kota-kota yang lebih kecil.

Advertisement

Faktor ekonomi menjadi yang paling dominan dalam gagasan-gagasan pengelolaan perkembangan kota. Pengembangan kota-kota kontemporer, termasuk Kota Solo tentu saja, makin dikuasai oleh model struktur ekonomi. Kini hampir seluruh kota utama di dunia dikelola sebagai kota neoliberal. Gejala ini menular ke kota-kota yang lebih kecil.

Pembangunan kota tidak berdasarkan masterplan, tetapi berdasarkan desakan-desakan kepentingan ekonomi atau komersial. Gejala demikian juga sangat kelihatan di Kota Solo. Kepentingan ekonomi dan komersial menjadi acuan utama pembangunan dan pengembangan kota.

Kota-kota amorf niscaya meninggalkan jati diri kultural. Perkembangan kota makin lama makin menjauh dari jati diri budaya sebagai akar muncul dan tumbuhnya kota itu. Kebijakan pembangunan kota tidak lagi berlandasan keberlanjutan kultur dan sejarah kota, tetapi makin mementingkan aspek ekonomi dan komersial, makin mementingkan kepentingan investor.

Advertisement

Setiap kota pasti menghadapi urbanisasi, kemiskinan, penurunan kualitas lingkungan, keamanan dan ketertiban, kapasitas pemerintah kota dalam urusan pengembangan dan pengelolaan, pertumbuhan antarkota yang tidak seimbang, dan globalisasi.

Aneka masalah—secara umum—itu membutuhkan perumusan solusi yang sangat mungkin berbeda-beda untuk tiap kota. Sains, kultur, dan partisipasi warga kota seharusnya menjadi bagian penting dari desain dan strategi pembangunan kota.

Pengkajian secara ilmiah berbasis data konkret dan aktual serta faktual menjadi keniscayaan untuk mengelola pertumbuhan kota agar tidak lepas dari jati diri kultural dan sejarahnya, misalnya Kota Solo yang punya slogan Solo Past is Solo Future.

Advertisement

Membangun kota dengan mengacu SDGs sebenarnya meniscayakan pembangunan kota yang berbasis aspek kultural dan sejarah sehingga menjadi kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.

Jalan mewujudkan ini, sekaligus menghentikan gejala amorf, adalah menjalankan perencanaan kebijakan pembangunan kota yang bersifat partisipatif. Kelompok-kelompok masyarakat terdampak pengembangan kota dilibatkan dalam proses desain.

Ini adalah model pengelolaan kota yang berakar pada upaya memberikan ruang bersuara kepada semua pihak yang terdampak. Kota yang didesain dan dikelola untuk warganya. Kota yang memanusiakan manusia warga kota itu. Kota yang menolak menjadi amorf.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif